NUSA Dua sedang berubah. Kawasan yang kering dan jarang penduduk
ini sejak beberapa tahun belakangan ini hendak disulap menjadi
sebuah kota kecil, lengkap dengan prasarana modern. Yaitu sebuah
pusat kepariwisataan baru di Pulau Bali.
Nusa Dua terletak di selatan tanah genting bandar udara Ngurah
Rai, Denpasar. Di sini terdapat semenanjung, Semenanjung Bukit
namanya, seluas sekitar 90 kmÿFD. Terletak di dataran rendah,
tanah di semenanjung ini terdiri dari lapisan kapur berhumus
tipis. Mata pencaharian penduduknya bertani, menangkap ikan
dan membuat kopra. Pertanian di sini hanya menghasilkan
singkong dan ketela.
Di ujung timur Semenanjung Bukit terdapat daerah pesisir
berpantai bagus. Di sini juga terdapat 2 buah pulau kecil yang
telah menjadi satu dengan Pulau Bali -- dan karenanya daerah ini
disebut Nusa Dua. Di tempat inilah sekarang Bali Tourism
Development Corporation (BTDC) sedang membangun sebuah kota
modern, pusat baru bagi wisata Bali.
BTDC yang dibentuk 1972 adalah sebuah perusahaan semi
pemerintah. Dalam rencana, badan ini akan menyelesaikan seluruh
pembangunan kawasan ini pada 1992, dengan menyediakan 2.500
kamar hotel mewah. Proyek ini akan menghabiskan biaya US$ 36
juta.
Sejak BTDC mulai menjamah Nusa Dua sekitar 90 kmÿFD tanah
dibebaskan. Areal ini sebagian besar mencakup Desa Bualu, di
samping desa-desa Peminge, Kampial dan Tanjung Benoa
Salah
Tapi setelah dua tahun proyek berjalan, mulai timbul gejolak
sosial. Banyak penduduk yang mulai menanami kembali tanah yang
sudah dibebaskan, atau kembali memetik kelapa dan mengambil batu
koral di kawasan BTDC. Di mata BTDC, perbuatan penduduk ini
dianggap bermaksud sengaja merusak. Berbagai pendekatan dengan
penduduk tak berhasil.
"Ketika itu kami suah menyadari bahwa pendekatan kamikurang
manusiawi. Pembangunan Proyek Nusa Dua selama itu hanya
mengutamakan pembangunan fisik saja," kata Nondon Ganjar, Dirut
BTDC.
Setelah berbagai pendekatan yang dilakukan gagal jug akhirnya
BTDC meminta Lembaga Hsikologi Fakultas Psikologi UI mengadakan
penelitian sosial. Hasilnya memang BTDC melakukan kesalahan
seperti yang umum dilakukan oleh para kontraktor pembangunan
proyek besar untuk jangka panjang. "Yaitu lebih mementingkan
penyelesaian pembangunan fisik dan melupakan pengembangan
manusia dn masyarakat sekitarnya," kata Drs. In1am Santoso dari
Lembaga Psikologi UI kepada TEMPO. Hasil penelitian itu 17 Juni
diangkat sebagai salah satu makalah (paper) dalam panel diskusi
pariwisata di Jakarta yang diselenggarakan Lembaga Studi
Pembangunan bersama Ditjen Pariwisata.
Menurut Imam Santoso, penduduk yang masih polos itu sesungguhnya
tidak sengaja melawan. Mereka merasa sayang melihat tanah luas
yang dibiarkan menganggur karena pembangunan belum dimulai.
Karena itu mereka menanaminya lagi.
"Sekarang gejolak sosial itu sudah mereda," kata Nondon Ganjar
menanggapi makalah Imam Santoso, "soalnya BTDC juga sangat
memperhatikan hasil penelirian lembaga psikologi itu." Katanya
pula, pendekatan kepada penduduk sudah diusahakan lebih baik.
Sabung Ayam
Tapi tampaknya Imam Santoso masih melihat kepincangan-kepincangan.
Bahkan ia meramalkan, akan muncul letupan-letupan sosial.
Terutama antara 1980/1986 yaitu masa berakhirnya pembangunan
prasarana, dan dimulainya pembangunan hotel-hotel. Apalagi l)ila
cara pendekatan dengan penduduk tidak diperbaiki.
Sebab menurut laporan pembantu TMPO di Bali, banyak penduduk
mengeluh. "Tanah dan pohon kelapa saya lenyap, ganri rugi yang
saya terima tidak ,nenghasilkan apa-apa. Sekarang saya
memburuh," kata seorang petani. Tapi menurut Ketut Senin, salah
seorang pamong di sana, tidak semua penduduk mengeluh. "Yang
mendapat ganti rugi sampai Rp 10 juta dan dapat mengatur uang,
kini hidupnya jadi lebih baik. Tapi yang mendapat sedikit dan
dihabiskan di arena sabungan ayam, ya tambah miskin saja," kata
Ketut Senin. Kini, selain menambang kapur atau mencari ikan,
banyak pula penduduk yang menjadi buruh bangunan.
Tapi tampaknya agak sulit bagi mereka mengubah pola hidup dari
petani menjadi buruh kasar. Meskipun sudah ditampung dalam
perkampungan lain. mereka tidak punya tanah lagi yang secara
tradisional merupakan sumber hidup. Lebih dari itu, menurut
Ketut Senin, kini sudah sulit mencari janur untuk upacara adat.
"Karena tanah yang dikuasai BTDC adalah daerah kelapa terbesar
di sini," katanya.
Saran Imam Santoso agaknya perlu diperhatikan. Ia sendiri pernah
melakukan penelitian sosial di Muncar, Banyuwangi. "Ketika itu
saya ramalkan akan terjadi ledakan sosial kalau nasib nelayan
kecil kurang diperhatikan. Ternyata betul. Dan setelah saya cek
kembali, ternyata sebab-sebabnya persis sama seperti praduga
saya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini