Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Nusa Dua, Menyulap Tanah Kapur

Pusat pariwisata baru sedang dibangun di nusa dua oleh btdc (bali tourism development corporation), setelah berjalan ternyata proyek ini kurang memperhatikan penduduk sekitarnya.(dh)

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUSA Dua sedang berubah. Kawasan yang kering dan jarang penduduk ini sejak beberapa tahun belakangan ini hendak disulap menjadi sebuah kota kecil, lengkap dengan prasarana modern. Yaitu sebuah pusat kepariwisataan baru di Pulau Bali. Nusa Dua terletak di selatan tanah genting bandar udara Ngurah Rai, Denpasar. Di sini terdapat semenanjung, Semenanjung Bukit namanya, seluas sekitar 90 kmÿFD. Terletak di dataran rendah, tanah di semenanjung ini terdiri dari lapisan kapur berhumus tipis. Mata pencaharian penduduknya bertani, menangkap ikan dan membuat kopra. Pertanian di sini hanya menghasilkan singkong dan ketela. Di ujung timur Semenanjung Bukit terdapat daerah pesisir berpantai bagus. Di sini juga terdapat 2 buah pulau kecil yang telah menjadi satu dengan Pulau Bali -- dan karenanya daerah ini disebut Nusa Dua. Di tempat inilah sekarang Bali Tourism Development Corporation (BTDC) sedang membangun sebuah kota modern, pusat baru bagi wisata Bali. BTDC yang dibentuk 1972 adalah sebuah perusahaan semi pemerintah. Dalam rencana, badan ini akan menyelesaikan seluruh pembangunan kawasan ini pada 1992, dengan menyediakan 2.500 kamar hotel mewah. Proyek ini akan menghabiskan biaya US$ 36 juta. Sejak BTDC mulai menjamah Nusa Dua sekitar 90 kmÿFD tanah dibebaskan. Areal ini sebagian besar mencakup Desa Bualu, di samping desa-desa Peminge, Kampial dan Tanjung Benoa Salah Tapi setelah dua tahun proyek berjalan, mulai timbul gejolak sosial. Banyak penduduk yang mulai menanami kembali tanah yang sudah dibebaskan, atau kembali memetik kelapa dan mengambil batu koral di kawasan BTDC. Di mata BTDC, perbuatan penduduk ini dianggap bermaksud sengaja merusak. Berbagai pendekatan dengan penduduk tak berhasil. "Ketika itu kami suah menyadari bahwa pendekatan kamikurang manusiawi. Pembangunan Proyek Nusa Dua selama itu hanya mengutamakan pembangunan fisik saja," kata Nondon Ganjar, Dirut BTDC. Setelah berbagai pendekatan yang dilakukan gagal jug akhirnya BTDC meminta Lembaga Hsikologi Fakultas Psikologi UI mengadakan penelitian sosial. Hasilnya memang BTDC melakukan kesalahan seperti yang umum dilakukan oleh para kontraktor pembangunan proyek besar untuk jangka panjang. "Yaitu lebih mementingkan penyelesaian pembangunan fisik dan melupakan pengembangan manusia dn masyarakat sekitarnya," kata Drs. In1am Santoso dari Lembaga Psikologi UI kepada TEMPO. Hasil penelitian itu 17 Juni diangkat sebagai salah satu makalah (paper) dalam panel diskusi pariwisata di Jakarta yang diselenggarakan Lembaga Studi Pembangunan bersama Ditjen Pariwisata. Menurut Imam Santoso, penduduk yang masih polos itu sesungguhnya tidak sengaja melawan. Mereka merasa sayang melihat tanah luas yang dibiarkan menganggur karena pembangunan belum dimulai. Karena itu mereka menanaminya lagi. "Sekarang gejolak sosial itu sudah mereda," kata Nondon Ganjar menanggapi makalah Imam Santoso, "soalnya BTDC juga sangat memperhatikan hasil penelirian lembaga psikologi itu." Katanya pula, pendekatan kepada penduduk sudah diusahakan lebih baik. Sabung Ayam Tapi tampaknya Imam Santoso masih melihat kepincangan-kepincangan. Bahkan ia meramalkan, akan muncul letupan-letupan sosial. Terutama antara 1980/1986 yaitu masa berakhirnya pembangunan prasarana, dan dimulainya pembangunan hotel-hotel. Apalagi l)ila cara pendekatan dengan penduduk tidak diperbaiki. Sebab menurut laporan pembantu TMPO di Bali, banyak penduduk mengeluh. "Tanah dan pohon kelapa saya lenyap, ganri rugi yang saya terima tidak ,nenghasilkan apa-apa. Sekarang saya memburuh," kata seorang petani. Tapi menurut Ketut Senin, salah seorang pamong di sana, tidak semua penduduk mengeluh. "Yang mendapat ganti rugi sampai Rp 10 juta dan dapat mengatur uang, kini hidupnya jadi lebih baik. Tapi yang mendapat sedikit dan dihabiskan di arena sabungan ayam, ya tambah miskin saja," kata Ketut Senin. Kini, selain menambang kapur atau mencari ikan, banyak pula penduduk yang menjadi buruh bangunan. Tapi tampaknya agak sulit bagi mereka mengubah pola hidup dari petani menjadi buruh kasar. Meskipun sudah ditampung dalam perkampungan lain. mereka tidak punya tanah lagi yang secara tradisional merupakan sumber hidup. Lebih dari itu, menurut Ketut Senin, kini sudah sulit mencari janur untuk upacara adat. "Karena tanah yang dikuasai BTDC adalah daerah kelapa terbesar di sini," katanya. Saran Imam Santoso agaknya perlu diperhatikan. Ia sendiri pernah melakukan penelitian sosial di Muncar, Banyuwangi. "Ketika itu saya ramalkan akan terjadi ledakan sosial kalau nasib nelayan kecil kurang diperhatikan. Ternyata betul. Dan setelah saya cek kembali, ternyata sebab-sebabnya persis sama seperti praduga saya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus