Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAI saat ini, Ariffi Nawawi tercatat sebagai pemegang rekor Direktur Utama Pertamina dengan masa jabatan terpendek. Belum genap setahunbaru September 2003 ia memegang tampuk pimpinan perusahaan minyak milik negara ituAriffi sudah harus angkat koper. Ia digantikan Widya Purnamasebelumnya Direktur Utama Indosat.
Rabu pekan lalu, direksi baru dilantik di kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Tapi bukan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, yang juga Komisaris Utama Pertamina, yang melantik mereka, melainkan Deputi Menteri Roes Aryawijaya. Laksamana sendiri tak hadir.
Laksamana menjelaskan, pemerintah ingin kultur Pertamina berubah. Tugas itulah yang dibebankan kepada Widya, yang sudah berpengalaman mengelola perusahaan terbuka besar seperti Indosat. "Susah kalau yang mau melakukan perubahan orang dalam karena di sana banyak temannya," kata Laksamana kepada Poernomo Gontha Ridho dari TEMPO.
Politisi PDI Perjuangan itu juga menepis anggapan bahwa penggantian dilakukan karena Ariffi melakukan kesalahan. Menurut Laksamana, penggantian ditempuh karena perubahan kultur perusahaan tak kunjung terjadi. "Pertamina itu departemen teknis bukan, korporasi juga bukan," katanya. Pemerintah ingin Pertamina gesit bergerak dan mampu bersaing.
Tapi, bagaimanapun, sulit menghindari kesan mendadak dalam penggantian ini. Sumber TEMPO di Pertamina menyatakan, direksi lama baru mengetahui akan ada penggantian sehari sebelumnya. "Hari Selasa, direksi lama dikumpulkan di kantor Menteri BUMN dan diberi tahu akan diganti," kata sumber itu.
Pada hari yang sama pula Widya mengaku mendapat pemberitahuan bakal menjadi Direktur Utama Pertamina. Itu pun hanya lewat pesan pendek di telepon selulernya. Sedangkan Direktur Pemasaran dan Niaga Arie Soemarno mengaku ditelepon seorang pejabat kantor Menteri BUMN dan diminta datang. "Saya bahkan tak tahu akan dilantik," katanya.
Dibandingkan dengan sebelumnya, jajaran direksi Pertamina kali ini terlihat lebih "gemuk". Ada posisi baru, yaitu wakil direktur utama, yang ditempati Mustiko Saleh. Jabatan direktur hilir dimekarkan menjadi direktur pengolahan, yang ditempati Suroso Atmomartoyo, serta direktur pemasaran dan niaga, yang dipegang Arie Soemarno.
Tak seperti Ariffi, yang pernah bergelut puluhan tahun di industri perminyakan, Widya praktis lebih dikenal sebagai orang telekomunikasi. Maka keputusan Laksamana mengangkat Widya, yang miskin pengalaman di bidang perminyakan, tak ayal mengundang pertanyaan.
Memimpin Pertamina yang sedang dirundung banyak masalah jelas bukan perkara gampang. Perusahaan minyak pelat merah itu baru saja diharuskan membayar klaim Karaha Bodas Company sebesar US$ 294 jutasetara dengan Rp 2,7 triliun. Padahal Pertamina sedang terserang penyakit likuiditas.
Perusahaan ini sudah menggih-menggih karena harus menalangi dulu subsidi bahan bakar minyak (BBM) sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 18 bulan. Sedangkan kucuran subsidi BBM dari pemerintah selalu tersendat-sendat. Menipisnya likuiditas membuat Pertamina payah melakukan pengadaan BBM.
Tak sehatnya Pertamina juga tecermin dari rasio keuntungan bersih dibanding penjualannya, yang tahun lalu tercatat cuma 1,9 persen. Hasil itu jauh di bawah Petronasperusahaan minyak Malaysiayang mampu membukukan rasio yang sama sebesar 18,6 persen. Biaya operasional Pertamina juga sangat tinggi. Tahun lalu, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional perusahaan (BOPO) Pertamina mencapai 93,6 persen. Padahal BOPO Petronas hanya 55,8 persen.
Betul, salah satu penyebab tak efisiennya kinerja keuangan Pertamina adalah masih adanya kewajiban menyalurkan BBM ke seluruh pelosok Tanah Air (public service obligation). Tapi berjangkitnya virus korupsi dan campur tangan berbagai pihak tentu ikut memiliki andil atas sakitnya si "Kuda Laut".
Tugas Widya memimpin Pertamina sepertinya bertambah berat karena koleganya justru orang-orang yang dipandang "cacat" di masa lalu. Arie Soemarno, yang tak lain dari kakak kandung Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, misalnya, pernah dihukum berat oleh Direktur Pengolahan Pertamina G.J. Atihuta.
TEMPO memperoleh dokumen yang menunjukkan bahwa pada 1996 Arie pernah dinyatakan bersalah melanggar ketentuan tender saat menjadi Ketua Tim Tender Proyek PGP Bontang, Kalimantan Timur. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyatakan Pertamina menderita kerugian Rp 1,2 miliar akibat pelanggaran itu.
Atas kesalahan tersebut, Arie mendapat peringatan pertama dan terakhir. Namun Arie tak pernah meneken surat peringatan yang disampaikan Kepala Divisi Gas dan Petrokimia, Hadiono Sutarto. Di bagian atas salinan surat itu, yang mestinya ditandatanganinya, tertera kalimat, "Tidak bersedia menerima peringatan ini."
Direktur lain yang "bermasalah" adalah Suroso Atmomartoyo. TEMPO juga memiliki dokumen yang memperlihatkan Suroso pernah dihukum dengan penurunan golongan satu tingkat ketika menjabat Manajer Unit Produksi II Dumai, Riau. Ia dinyatakan bersalah karena menggelembungkan usulan pembangunan WTP-SPK hingga menimbulkan kerugian Rp 2,1 miliar.
Terkait dengan penggelembungan, Suroso meneken berita acara test joint inspection WTP fiktif dan joint inspection boiler fiktif. Ia juga menerbitkan memo yang berisi tekanan kepada eselon di bawahnya untuk ikut memaraf berita acara fiktif itu.
Ada kecurigaan, Laksamana bukannya tak sengaja mengangkat orang yang tak paham bisnis perminyakan atau memiliki "cacat" di masa lalu. Salah satu kekhawatiran yang mencuat adalah direksi baru akan tunduk kepada keinginan Laksamana menjual sebagian saham Pertamina atau anak-anak perusahaannya.
Laksamana menepis kecurigaan itu. Ia menyatakan, keputusannya memilih Widya adalah untuk mengamankan pasokan BBM yang selama ini kerap bermasalah, selain soal perubahan kultur perusahaan. Widya diharapkannya bisa memberantas mafia perminyakan, yang sering menyebabkan BBM hilang di pasaran. "Kalau sapunya kotor, bagaimana kita bisa membersihkan?" katanya.
Widya sendiri meminta waktu 100 hari kepada masyarakat untuk mempersiapkan berbagai perbaikan di Pertamina. Jika didukung 23 ribu karyawan dan seluruh rakyat Indonesia, ia yakin Pertamina akan bisa lebih baik. "Saya ingin Pertamina menjadi salah satu perusahaan terbaik di Asia Tenggara, melebihi Petronas," ujarnya, "Kuncinya adalah integritas dan disiplin."
Ihwal "cacat" masa lalu itu, Arie dan Suroso juga angkat bicara. Arie, yang sebelum ini Direktur Petral, anak perusahaan Pertamina di Singapura, tak membantah pernah menerima sanksi. Tapi, menurut dia, namanya telah direhabilitasi beberapa bulan kemudian. Ia dinyatakan tak bersalah, dan keputusan itu ditarik.
"Saat itu saya sedang dizalimi," kata Arie tanpa penjelasan tambahan. Meng-aku tak punya ambisi apa pun selama berkarier di Pertamina, Arie menjamin tak akan terbelenggu oleh masa silamnya dalam bekerja. "Saya nothing to lose," katanya.
Adapun Suroso hanya mengaku pernah mendapat teguran tertulis dari atasannya. Kasus 1998 itu, menurut dia, bermula dari sengketa proyek. Saat itu timbul pertengkaran dalam menentukan proyek sudah selesai atau belum. Sebagai penanggung jawab, ia mengambil inisiatif menyatakan proyek sudah selesai. "Ada pihak yang tak puas dan menuding saya sengaja membantu kontraktor," ujarnya.
Surat peringatan itu, kata Suroso, tak pernah mengganggu kariernya. Setelah berdinas di Dumai, ia pindah menjadi Manajer Operasi Pertamina Plaju, Sumatera Selatan, kemudian kepala dinas dan kepala divisi di Pertamina Pusat.
Harapan terhadap direksi baru Pertamina datang dari Abdullah Sodik, Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina. Seraya menyatakan tak anti-"orang luar", Sodik mengingatkan direksi baru agar memberikan manfaat kepada pekerja Pertamina dan rakyat Indonesia. Sebuah harapan yang sangat sederhana, sebetulnya.
Nugroho Dewanto, M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo