LUMAYAN panjang juga antrean pembeli Bank Permata. Sejak Perusahaan Pengelola Aset mengumumkan penjualan 71 persen saham bank ini akhir bulan lalu, sejumlah pemilik uang berlomba membeli. Mereka adalah enam bank: Bank Mandiri, BRI, Danamon, Panin, Buana, dan Artha Graha. Dua lagi, Jamsostek dan Astra International. Dari seberang, tercatat empat nama: Standard Chartered Bank Inggris, UOB Singapura, Maybank Malaysia, dan Bank of Philippine Island.
Alasan mereka mudah dipahami. Dari perusahaan rugi, gabungan empat bank ini menjelma menjadi gudang duit. Dengan laba Rp 558 miliar pada 2003, pada kuartal pertama 2004 Permata membukukan keuntungan Rp 125 miliar. Kredit macetnya juga sudah terkendali: dari 27 persen ditekan sampai 11,2 persen. Tahun lalu, tingkat pengembalian modalnya 66 persen, tertinggi di industri perbankan Indonesia.
Kinerja cantik itu masih ditambah kenyataan bahwa Permata menjadi bank terakhir yang sahamnya dijual dalam partai besar. "Pantas kalau banyak yang mengejarnya," kata analis perbankan dari BNI Sekuritas, Fendi Susiyanto. Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, Nimrod Sitorus, mengatakan Permata sangat cocok digabung dengan Mandiri. Kredit konsumernya yang kuat bisa melengkapi bisnis Mandiri yang banyak bermain di korporasi.
Bank Danamon, menurut wakil direktur utamanya, Emirsyah Satar, juga tertarik karena dua bank ini bisa bersinergi. BRI setali tiga uang. Menurut sekretaris perusahaan bank tersebut, Yadi Suprianto, Permata bisa menambal ceruk pasar konsumer mereka yang masih bolong. Tapi, pertarungan tak akan mudah bagi bank domestik. Selain harus berkompetisi dengan investor asing, mereka tersandung batasan maksimum pemberian kredit (lihat tabel).
Bank Mandiri hanya punya dana Rp 1,2 triliun. Pesaing terdekatnya, BRI, punya kemampuan Rp 1,1 triliun. Bank lainnya harus berjibaku mendapat tambahan dana lebih besar karena 51 persen saham Permata akan dijual pada kisaran Rp 1,6-1,7 triliun. Kadung jatuh cinta, Mandiri memohon Bank Indonesia tidak memasukkan pembelian ini dalam perhitungan batas maksimum pemberian kredit. Tapi Bank Indonesia tampaknya bakal tak meluluskan, dan mereka harus mencari sumber pendanaan lain.
Jamsostek muncul seperti oasis di gurun pasir. Menawarkan dana hampir Rp 1 triliun, Direktur Investasi Jamsostek, Samuel Tobing, mengatakan tertarik menanamkan duit di bank tersebut karena potensi pengembaliannya tinggi. Beberapa bank sudah mengajak berkongsi, termasuk Maybank. Samuel mengatakan akan memilih berkongsi dengan bank bermodal kuat, punya teknologi dan platform sama.
Anggota Komisi IX DPR, Rizal Djalil, mengingatkan Jamsostek agar memilih pasangan lokal. Dia melihat masuknya investor asing di beberapa bank Indonesia tak memberi pengaruh signifikan. Fendi Susiyanto mengatakan, bank yang jadi milik asing itu tak banyak berbeda dengan bank lokal. Transfer pengetahuan, teknologi, dan upaya mereduksi ketergantungan pada obligasi pemerintah juga ternyata mengecewakan. Karena itu, katanya, apa salahnya gudang duit terakhir ini diberikan kepada pemain domestik?
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini