Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT pertandingan sepak bola, proses restrukturisasi utang Asia Pulp and Paper (APP) kini memasuki injury time. Lebih dari dua tahun restrukturisasi berjalan, sempritan akhir belum juga terdengar. Perjanjian induk restrukturisasi utang (MRA) telah tuntas dirancang, akhir Oktober silam. Tapi APP belum memperoleh cukup suara dari kreditor untuk mengeksekusi MRA itu.
Perusahaan milik keluarga Eka Tjipta Widjaja ini butuh 75 persen suara kreditor. Sejauh ini, kreditor yang membubuhkan tanda tangan paling cuma 40 persen. Mereka adalah Orleans Investments, yang mengambil alih tagihan APP di Badan Penyehatan Perbankan Nasional, lembaga kredit ekspor (export credit agency/ECA), para pemegang obligasi anak perusahaan APP di Indonesia, serta kelompok perusahaan dagang Jepangsemacam Mitsui.
Sebaliknya, para pemegang obligasi APP di luar negeri, yang memegang porsi tagihan cukup besar (nilai total obligasi APP Indonesia yang diterbitkan di luar negeri sekitar US$ 3,39 miliar), belum juga mengulurkan dukungan. "Para pemegang obligasi masih skeptis terhadap tawaran APP," kata seorang perwakilan kreditor APP.
Hal itu terbukti dengan sambutan para pemegang obligasi luar negeri terhadap dokumentasi restrukturisasi utang yang dikirim APP, akhir Juni lalu. Tak mengherankan jika periode penawaran, yang semula dijadwalkan sebulan, diperpanjang dua pekan. "Agar para kreditor dapat lebih memahami tawaran kami," kata Indra Widjaja, seperti dikutip Asian Wall Street Journal.
Putra taipan Eka Tjipta yang mewakili keluarga dalam proses restrukturisasi ini menambahkan, APP berhak memperpanjang periode penawaran. Dan ini bukan pertama kali para pemegang obligasi luar negeri APP bersikap tak peduli. Sumber TEMPO yang mengikuti proses restrukturisasi menyatakan, para kreditor asing itu enggan karena APP bersikap tertutup.
Misalnya pada saat uji tuntas keuangan dua tahun silam. Konsultan keuangan yang mewakili kreditor tak diberi akses membuka laci dan brankas APP. Maka sejumlah kreditor menempuh jalur hukum. Menurut catatan TEMPO, pada 2002, sembilan kreditor asingtermasuk Deutsche Bank, BNP Paribas, Oaktree, dan Gramercymeminta pengadilan Singapura menunjuk pihak independen sebagai pengelola APP. Permohonan judicial management itu belakangan ditolak.
Oaktree, Gramercy, dan GE malah meminta pengadilan Amerika menyita jaminan surat utang yang mereka kuasai. Selain oleh tiga pengelola dana itu, APP juga diseret ke meja hijau oleh US Exim. Bank ekspor impor yang memiliki tagihan US$ 104 juta itu menuntut APP di pengadilan New York, akhir Oktober silam. Di luar yang menggugat, sebagian besar kreditor asing APP lainnya menilai banyak skema restrukturisasi yang tidak mereka setujui. Mengenai jangka waktu pembayaran, misalnya, seluruh utang pemegang obligasi negeri seberang itu masuk ke dalam tranche B dan tranche C. Artinya, utang mereka akan dicicil selama 13 hingga 22 tahun.
Gandhi Sulistiyanto, wakil ketua tim restrukturisasi utang APP, mengakui minimnya minat para pemegang obligasi luar negeri mengikuti skema yang ditawarkan. "Mereka mengeluhkan tidak adanya perlakuan seimbang," kata Sulistiyanto. Para kreditor asing merasa dianaktirikan karena APP masih melakukan pembayaran kupon bunga untuk obligasi rupiah, meski kesepakatan restrukturisasi belum terlaksana.
Pada saat para kreditor APP lain gigit jari, para pemegang obligasi rupiah menerima pembayaran bunga dari anak perusahaan APP di Indonesia, setidaknya Rp 173,5 miliar. Dana pelunasan diambil dari rekening penampung di Bank Mandiri. Entah siapa yang memantik api, rekening penampung itu tengah dibakar spekulasi. Di sebagian kreditor APP beredar kabar, APP menyetop penyetoran dana ke rekening penampung.
Dana di rekening itu sendiri ditujukan untuk melunasi kewajiban pembayaran APP selama enam bulan ke depan (lihat timeline). Selama restrukturisasi belum tuntas, dana di rekening itu hanya digunakan untuk melunasi kewajiban APP ke BPPN, tagihan para konsultan, serta kupon bunga obligasi rupiah. Sulistiyanto membantah berita itu.
Ia menyatakan APP masih tetap menjalankan kewajiban. Saldo rekening itu sekarang, katanya, US$ 610 juta. Sebagian uang, sekitar US$ 200 juta, telah terpakai. Namun Sulistiyanto mengakui ada perubahan dalam rekening penampung. "Dulu hanya di Mandiri, tapi sekarang kami juga membuka rekening penampung di bank lain." Ia menyebutkan BRI, BNI, Mandiri Syariah, Bank Mega, dan BII.
Setelah 30 Juli 2004 terlampaui, APP kini berancar-ancar dapat mengimplementasikan MRA pada September 2004. Jika tak tercapai, garis finish diulur hingga Oktober 2004. Kalau itu pun terlampaui? "Ya, terserah kreditor. Yang penting kami sudah menjalankan tugas hingga program exchange offer." Untuk meyakinkan para kreditor asing, APP telah menyiapkan langkah khusus. Bukan penghentian pembayaran kupon bunga, seperti yang diinginkan para kreditor asing. "Kami akan membuat pembayaran itu benar secara hukum," kata Sulistiyanto.
Sepasukan pengacara yang mewakili APP dan kreditor telah bertemu. Mereka sepakat, pembayaran kepada para pemegang obligasi rupiah bisa dijadikan halal secara hukum. Hanya, APP harus membuat perjanjian wali amanat yang terpisah dengan pemegang obligasi rupiah. "Perjanjian ini tentu tak akan bertentangan dengan persyaratan dan kondisi yang sudah dicantumkan dalam MRA," Sulistiyanto berjanji. Susahnya, jika persoalan ini berlarut-larut, para kreditorlah yang justru dirugikan.
Thomas Hadiwinata
Adu Alot Dua Tahun
RUNDINGAN antara Asia Pulp & Paper (APP) dan para kreditornya telah berlangsung lebih dari dua tahun. Hingga kini, belum ada kata putus tentang bagaimana utang anak perusahaan APP di Indonesia sebesar US$ 6,7 miliar (Rp 60 triliun) harus dibayar.
Maret 2001
APP mengumumkan penghentian pencicilan utang, pokok ataupun bunga (standstill). Perusahaan yang berbasis di Singapura itu mengaku tak sanggup memenuhi kewajiban pembayaran utang dengan merosotnya harga pulp. Saat menyatakan standstill, utang APP US$ 13,9 miliar.
Agustus 2001
BPPN bersama puluhan kreditor anak perusahaan APP di Indonesia membentuk komite pengarah (steering committee) restrukturisasi utang.
September 2001
Komite pengarah menunjuk KPMG menggelar uji tuntas sekaligus mengkaji proyeksi keuangan dari empat unit APP di Indonesia (Indah Kiat, Lontar Papyrus, Pindo Deli, Tjiwi Kimia).
November 2001
Aset Bank Internasional Indonesia (BII) yang terkait dengan APP dialihkan ke BPPN. Keluarga Widjaja memberikan jaminan pribadi.
Februari 2002
APP menyerahkan proposal restrukturisasi pertama. Kreditor menolak karena mereka menilai tak memperoleh akses memadai terhadap keuangan APP.
Juni 2002
Export Credit Agency (ECA) bersama BPPN menandatangani nota kesepahaman tentang prinsip restrukturisasi utang APP.
Juli 2002
BPPN, Komite Pengarah Kreditor, dan Sinar Mas mencapai sejumlah kesepakatan awal, termasuk penetapan tenor pembayaran. Skema pembayaran utang ke dalam tiga kelompok (tranche) mulai diperkenalkan.
September 2002
BPPN dan anak perusahaan APP di Indonesia meneken persetujuan manajemen rekening penampung (escrow account) di Bank Mandiri.
November 2002
Perundingan lanjutan antara APP dan para kreditornya (BPPN dan ECA) di Bali membahas persyaratan yang akan dicantumkan dalam persetujuan restrukturisasi.
Desember 2002
BPPN dan APP menandatangani executed settlement agreement (ESA) di Bali. BPPN menerima pembayaran di muka sebesar US$ 90 juta.
Juni 2003
APP bersama BPPN, ECA, kelompok perusahaan dagang Jepang, serta wali amanat obligasi rupiah menandatangani key commercial terms for restructuring. Mekanisme gagal bayar APP dirumuskan.
Agustus 2003
Skema restrukturisasi utang APP memperoleh persetujuan para pemegang obligasi rupiah. Mayoritas pemegang obligasi Tjiwi Kimia, Pindo Deli, Indah Kiat, dan Lontar Papyrus memberi suara setuju terhadap skema restrukturisasi utang APP dalam rapat umum pemegang obligasi.
Oktober 2003
APP menandatangani perjanjian master restructuring agreement (MRA) dengan BPPN dan ECA. Pada saat itu kreditor yang menyepakati MRA mewakili 40 persen dari nilai tagihan ke APP. Sebelum sampai ke MRA, APP telah menuntaskan "agreement of financial position".
Desember 2003
Perusahaan investasi dari Amerika, Orleans Investment, memenangi penjualan hak tagih pemerintah atas aset kredit APP. Orleans menawar aset senilai US$ 880 juta dengan harga US$ 213 juta. Recovery rate hak tagih atas APP hanya 24,2 persen.
Juni 2004
APP menawarkan kepada para pemegang obligasi dolar anak perusahaan APP di Indonesia untuk turut dalam program restruk-turisasi. APP memperpanjang periode penawaran hingga dua pekan karena dinginnya sambutan para kreditor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo