Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saya tak suka gebrakan

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAR'IE Muhammad, 49 tahun, bukanlah seorang pendiam seperti yang pernah diberitakan. Ia gesit dan vocal. Sebulan setelah menduduki kursi Direktur Jenderal Pajak, pria yang gemar jogging itu mulai bersuara "menjual pajak". Ternyata, memang itulah salah satu programnya. Pada 26 September lalu, Mar'ie Muhammad tampil sebagai pembicara utama dalam diskusi perpajakan di Bandung. Sehari kemudian, ia menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan Komisi VII DPR-RI. Dalam dua kesempatan itu, semakin jelas terlihat ketangkasannya berdialog dan mengekspresikan gagasan. Jumat pekan silam, Dirjen Pajak itu mengundang pemimpin redaks dari media cetak dan elektronik untuk ikut mempromosikan "dagangannya". Dan janjinya untuk wawancara dengan TEMPO -- yang semula direncanakan baru akan dipenuhi setelah enam bulan ia dilantik -- bisa dipercepat Sabtu lalu. Wawancara berlangsung di kantor Ditjen Pajak, pada saat para karyawan sudah pulang, sekitar pukul 13.00. Waktu itu Mar'ie rupanya belum makan siang dan menawarkan nasi bungkus kepada tiga wartawan TEMPO: Sidartha Pratidina, Suhardjo Hs., dan Max Wangkar. TEMPO menolak dengan sopan, tapi minta agar wawancara segera dilangsungkan. Mar'ie rupanya tldak keberatan. Dengan secangkir teh panas, yang dihirupnya dari piring tatakan, wawancara dimulai. Pada kesempatan itu Dirjen Mar'ie didampingi Direktur Pajak Langsung Wahono, Direktur Pajak Tak Langsung Hutomo, Direktur PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) Karsono Surjowibowo, dan Direktur P3 (Perencanaan, Penerimaan, dan Penagihan) Made Arimade. Petikan dari wawancara itu: Mengapa bunga promes dari lembaga keuangan bukan bank (LKBB) kini dikenai pajak? Jangan-jangan nanti deposito juga dikenai pajak. Direktorat Jenderal Pajak bertugas menegakkan UU Pajak. UU Pajak tidak pernah menangguhkan pajak penghasilan atas promes. Kalau ada yang masih belum mengerti undang-undang, saya juga tidak tahu mengapa mereka sampai tidak mengerti. Undang-undang 1983 sudah menyatakan dengan jelas, kok, penghasilan dari promes terkena PPh. Kenapa selama ini mereka tidak bayar tanyakan saja kepada mereka yang bersangkutan. Sejak Juli '86 kita sudah memberlakukan pajak tersebut pada para pemegang promes. Besarnya 15%. Jadi, kalau sekarang diberi peringatan, bukan berarti kewajiban itu berlaku surut. Dan peringatan itu jangan dikaitkan dengan deposito. Sebab, hal itu akan memberi kesan bahwa pemerintah sewenang-wenang. Peraturan pemerintah No. 37 tahun 1983 jelas menyatakan bahwa PPh (pajak penghasilan) atas deposito, tabanas, dan taska itu ditangguhkan. Apa strategi perpajakan yang akan dilaksanakan dalam Pelita V? Sebelum menjawabnya, saya perlu memberikan penjelasan. Kebijaksanaan perpajakan yang berlaku sekarang merupakan revolusi dari sistem perpajakan sebelum 1984. Dahulu berlaku sistem official assessment, yakni pemerintah yang menghitung besarnya pajak dan menagih langsung dari wajib pajak. Sekarang, pemerintah mempercayakan kepada para wajib pajak untuk menghitung, melaporkan, serta membayar kewajiban-kewajiban pajak mereka. Dalam sistem self assessment, lalu apa tugas aparat pajak? Banyak yang harus dikerjakan. Sebab, program kami yang pertama adalah memantau wajib pajak. Untuk itu, diperlukan sistem administrasi yang up to date. Kedua, para petugas pajak harus memiliki indikator yang dapat dipercaya, untuk mengecek apakah laporan para wajib pajak itu benar dan lengkap. Karena itu, perlu sistem informasi. Informasi itu harus dicari dan dikumpulkan. Untuk menyukseskan misi perpajakan ini, tidak bisa hanya oleh satu instansi Ditjen Pajak ataupun semua aparat pemerintah lainnya, tapi memerlukan keterlibatan secara aktif dari seluruh masyarakat. Ketiga, jika hasil penelitian wajib pajak ada kejanggalan, maka petugas harus melakukan pemeriksaan. Selain itu, masih ada tugas lain, yakni memberikan penyuluhan, pelayanan, kemudahan-kemudahan. Satu tugas lagi, yakni mencari para wajib pajak yang belum memenuhi kewajiban mereka. Jadi, aparat pajak tetap aktif Tapi, dengan self assessment ini para petugas pajak harus menjaga jarak dalam berhubungan dengan wajib pajak. Dahulu, dalam sistem official assessment, hubungan antara wajib pajak dan petugas pajak dekat sekali. Mengapa perlu ada jarak? Bukan rahasia, karena hubungan terlalu dekat, bisa terjadi -- walaupun tidak selalu -- hal-hal yang tidak diinginkan: negosiasi yang merugikan negara. Pelaksanaan self assessment tidak bisa terjamin 100%, tapi setidaknya hubungan-hubungan yang tidak pada tempatnya akan lebih kecil dibandingkan dengan sistem official assessment. Apakah benar pajak yang dibayar itu masuk kas negara? Saya jamin masuk kas negara 100%, selama itu namanya pajak. Dirjen Pajak tidak pernah melihat uang itu, sebab langsung masuk dalam rekening Bendahara Umum Negara (BUN) di Bank Indonesia, bukan ke rekening Dirjen Pajak. Apa sistem self assessment efesien, sebab ada yang mengatakan belum waktunya? Setelah sistem itu dijalankan, ternyata, menunjukkan kemajuan-kemajuan. Setiap tahun, pajak yang terkumpul meningkat rata-rata 31%. Harus saya akui, di sana-sini masih diperlukan penyempurnaan agar berjalan baik. Coverage ratio -- yang menunjukkan perbandingan antara penerimaan pajak dan potensi teoretis pada masyarakat -- belum memuaskan. Potensi di sini tidak hanya jumlah penduduk, tapi juga perkembangan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Bruto. Juga diukur dengan tingkat kepatuhan wajib pajak. Nah, dari situ kira-kira coverage ratio untuk PPN 53%, PPh (orang dan badan) dan PBB sekitar 35%. Sumber-sumber pajak apa lagi yang harus diintensifkan? Semua bidang harus diintensifkan. Kita jangan tertegun pada bidang tertentu. Suatu bidang kan bisa naik dan turun. Misalnya bisnis kayu beberapa tahun lalu down kemudian sekarang up. Demikian pula pada tekstil. Kita tidak tertegun pada hal itu saja. Lebih baik kita tidak bergantung pada kebijaksanaan yang sifatnya sesaat dan reaktif. Anda mengatakan swasta mestinya membayar pajak lebih besar dari BUMN. Bukankah peran BUMN lebih besar ketimbang swasta? Kata siapaaa? (Marie, yang bekas pejabat urusan BUMN Departemen Keuangan itu berdiri dan menghilang sebentar ke ruang kerjanya). Pendapatan BUMN saat ini mencapai Rp 22 trilyun, tidak termasuk penjualan Pertamina sebesar Rp 8 trilyun. PDB kita lebih dari Rp 130 trilyun. Jadi, peran BUMN hanya 17%. Masa omset swasta tidak bisa tiga kali dari jumlah tersebut. Umumnya swasta itu lebih efisien. ICOR (incremental capital output ratio) mereka kan lebih kecil, dengan satu unit modal swasta, harus memberikan output yang lebih daripada BUMN. Sedangkan BUMN, misalnya Krakatau Steel, yang sangat padat modal, ICOR-nya tinggi. Meski efisiensinya disamakan, laba swasta mestinya, sih, tiga kali dari BUMN. Di DPR Anda mengatakan pendapatan dari PBB baru mencapai 5% dari total penerimaan pajak? Apa problemnya? Sistem pendataan PBB kita masih minim dan masih kita intensifkan. Namun, biaya pendataan ini sangat mahal, misalnya biaya foto udara. Saat ini, baik kami maupun agraria belum punya data lengkap. Bila datanya lengkap, kita bisa menetapkan SPOB baru, kemudian kita berikan SPTnya. Bila SPT-nya naik, maka mungkin pendapatan dari PBB akan meningkat. Sementara target PBB tahun 1988/1989 Rp 322 milyar, dan ini optimistis dapat tercapai. Mengapa self assessment terhadap PBB belum diberlakukan? Kalau tarifnya berbeda-beda, bagaimana kami memberlakukan self assessment terhadap PBB. UU Pajak membolehkan untuk tidak memberlakukan self assessment PBB sampai tahun 1990. Dalam hal PPh, apa tiap pengusaha menyetorkan jumlah yang sebenarnya? Itu juga termasuk hal yang sedang kami teliti, belum saatnya saya kemukakan sekarang. Nanti tidak ada hal yang surprised lagi, dong. Saya sendiri tak suka gebrakangebrakan. Lebih baik membuat program ajek, berjangka panjang, dan kontinu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus