IKLAN tak sama dengan propaganda. Tapi tidak, menurut versi Uni
Soviet. Ingin mengelu-elukan kedatangan rombongan Waki Menteri
Soviet Ivan Timofeyevich Grishin di Jakarta, pekan lalu, Badan
Perdagangan kedutaan itu memuat iklan berbau propaganda di koran
sore Sinar Harapan (SH). "Seperti iklan politik," komentar
Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Sukarno kepada
TEMPO.
"Iklan politik" yang dimaksud Sukarno itu terpampang di halaman
12, SH 26 September. Berukuran 2 kali 10 cm kolom, iklan itu
dibuka dengan pernyataan, "Dalam memproduksi barang-barang
konsumsi, Uni Soviet tidak kalah dengan negara kapitalis maju
lainnya, bahkan hasil produksinya dapat melampaui AS dua kali
lipat . . . "
Iklan itu, kalau terbaca orang AS yang ada di sini, tentulah
"memerahkan muka" mereka. laka, bisa dimengerti jika Sukarno
menyebut iklan itu berbau politik. Apalagi muncul di SH, sehari
setelah kedatangan Grishin - yang menurut sebuah sumber
merupakan pejabat Soviet tertinggi yang datang ke Indonesla
selama 10 tahun terakhir ini.
Tentang hal itu, pemimpin redaksi SH belum mau memberikan
komentar. Tapi Abdullah, wakil manajer Biro Iklan Epera, anak
perusahaan Grup Sinar yang mengurus semua Iklan koran itu, tak
merasa begitu.
"Kami menerima iklan tentang mesin bersama dengan artikel itu
sebagai lampirannya. Seharusnya, keduanya dipasang berdekatan.
Tapi, karena soal teknis, jadi terpisah," katanya kepada TEMPO.
Abdullah menjelaskan bahwa artikel sponsor itu datang bersamaan
dengan iklan mesin-mesin pertanian Traktoroexport, buatan
Soviet, yang di Indonesia diageni PT Subari Sejati yang
berkantor pusat di Jakarta. Karena kesulitan di percetakan,
letak kedua iklan itu terpisah: iklan mesin di halaman 3 dan
artikel sponsor di halaman 12.
Ternyata efeknya agak jauh. Artikel sponsor itu, apalagi
ditempatkan dalam boks tebal, jadi terlihat lebih menonjol.
Padahal, reklame mesin Traktroroexport itu, yang tak jelas
memuat keterangan mesin tersebut buatan Soviet, sebelumnya sudah
terpampang di media lain: Kompas, Merdeka, dan TEMPO.
Uniknya, iklan yang tampak ramai dipasang September ini tak
dibuat oleh agen tunggal PT Subari Sejati, tapi langsung diurus
oleh Badan Perdagangan Soviet yang berkantor di Jalan Teuku Umar
60, Jakarta. Badan Perdagangan Soviet menyangkalnya. "Iklan
mesin memang dari kami, tapi artikel sponsor, tidak," kata
Vitaly I Boiko, wakil kepala Perwakilan Badan Perdagangan
kedutaan itu. Tiga kali pertanyaan serupa dikemukakan TEMPO,
namun Boiko tetap kukuh menyangkal. Bahkan A.J. Voronkov,
sekretaris pertama kedutaan yang menangani urusan penerangan,
pun ikut membantah. Sambil tertawa, Boiko akhirnya mengatakan:
"Senang SH mau mempromosikan Soviet." Lalu siapa yang memasang?
Jawabannya ternyata ada di bagian iklan koran Merdeka. Sungkono
Liauw, staf biro iklan itu, mengatakan pasti: baik iklan maupun
artikel sponsor berasal dari Jalan Teuku Umar 60. "Mereka minta
tolong dipasangkan di media lain, setelah pasang di Merdeka,"
kata Sungkono. Cepat menambahkan bahwa tak bermotif apa-apa,
"selain tambahan komisi," dia membenarkan artikel sponsor hanya
ditujukan pada Merdeka dan SH. Media lain, Kompas, TEMPO, dan
Analisa (Medan) memang tak diberi. Dan Merdeka sendiri pada
akhirnya, menurut Sungkono, tak memuat artikel sponsor itu.
"Karena, menurut pimpinan, tak sesuai dengan poliy," kata
Sungkono.
Sungkono enggan menyebutkan berapa ia dibayar. Tapi diakui bahwa
jika artikel sponsor itu dimuat, dia mendapat komisi 5% dari
pembayaran.
Sebuah sumber menyebutkan bahwa artikel sponsor yang bernada
propaganda seperti itu sudah lama dilakukan Badan Perdagangan
Soviet. Dan untuk itu, mereka menyiapkan dana yang tahun ini,
menurut sumber tadi, besarnya sekitar Rp 30 juta.
Abdullah dari Espera tadi pun mengakui, sebenarnya artikel
sponsor itu panjangnya sekitar 4 folio. "Tapi yang dimuat itu
sudah kami singkat," katanya. Dan dia tetap bersikeras bahwa tak
ada "maksud lain" dari pemasangan iklan tersebut.
Sunardi D.M., ketua SPS dan juga anggota Komisi Tata Krama
Periklanan Indonesia menyebutkan, cara beriklan seperti yang
dilakukan Uni Soviet itu tak dapat dibenarkan. Pemimpin redaksi
koran Berita Yudha ini kemudian menunjuk kasus lain, yang
menyangkut koran berbahasa Inggris The New Standard, yang pada
1971 pernah dihebohkan karena memuat pidato Perdana Menteri
Korea Utara Kim Il-Sung, mengenai rencana 6 tahun negeri
sosialis itu. "Sampai Kopkamtib turun tangan, kata Sunardi,
yang waktu itu ikut menegur pimpinan Standard.
Wartawan Warta Harian, Junus Lubis, bahkan sempat diadili
sebelum kasus Standard - juga karena memuat pidato PM negeri
sosialis itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini