Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Belajar mencangkul di tanah jawa

Petani tim-tim dididik ketrampilan bertani di yogyakarta yang merupakan proyek dari Dep. Transmigrasi. petani tim-tim optimis pertanian di daerahnya akan meningkat. (ling)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETANI Timor Timur Joao Pereira Lopes, 50 tahun, terkesima ketika menyaksikan kerbau menarik bajak untuk menggemburkan sawah di Desa Beran, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pemandangan seperti itu tak pernah ia lihat di daerah asalnya. "Kami mengolah sawah juga memakai kerbau, tapi untuk setiap hektarnya diperlukan 30 ekor," katanya. Ia menambahkan, kerbau itu digiring mondar-mandir untuk menggemburkan tanah. Lopes adalah salah seorang dari 30 petani Timor Timur yang dididik keterampilan bertani di Yogyakarta selama sebulan - berakhir 22 September. Ia mengaku, banyak hal yang diperolehnya. "Selain mengolah tanah, saya mendapat bekal pengetahuan membuat genting dan batu bata yang bahan bakunya banyak di sana," ujarnya. Petani yang dikirim ke Yogya ini adalah sebagian dari transmigran lokal yang menempati lokasi di Tunobebe, Kabupaten Maliana. Permukiman ini menampung 100 kepala keluarga transmigran - separuhnya berasal dari Bali. Yogyakarta dipilih karena daerah ini punya persamaan dengan Tim-Tim: ada persawahan tadah hujan, ada persawahan irigasi, dan ada pertanian tanah kering, seperti di Gunung Kidul. Menurut kepala Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi DI Yogyakarta, Soeseno, yang menjadi pimpinan proyek pendidikan, "bahkan Timor Timur itu lebih baik keadaannya dibanding Gunun Kidul." Keadaan provinsi termuda itu memang penuh tantangan. Hanya 20% wilayahnya merupakan dataran yang bisa ditanami dan bukan pula tanah subur. Selebihnya pegunungan kapur, lembah curam, dan sungai yang kering di musim kemarau. Menurut Lopes, ada tiga macam jenis tanah di Tim-Tim. Pertama, tanah berwarna hitam, yang paling subur dan paling banyak dimanfaatkan petani untuk bercocok tanam. Kedua, tanah berwarna merah yang suburnya sedang-sedang saja. Sisanya, tanah putih berkapur yang kurang subur dan pada kedalaman 10 cm sudah muncul batu. "Ini yang menyusahkan kami," ujar Lopes. Setelah sebulan dilatih di Yogyakarta, petani Timor Timur itu pulang dengan penuh optimisme. "Tanah merah itu bisa dijadikan bata, dan bukit kapur itu bisa dijadikan dasar bangunan," kata Lopes lagi. Bukan masalah keterampilan seperti itu saja yang diperoleh mereka selama pendidikan. Mereka juga diajar bertani dengan "menggunakan otak". Ernesto Mali, petani Timor Timur yang lain, baru sekarang merasa dirinya bodoh. "Dulu, saya menanam padi di sawah sebanyak-banyaknya. Tidak memperhitungkan jarak. Saya kira semakin banyak yang ditanam semakin banyak hasilnya," katanya sambil ketawa. "Sekarang baru saya tahu bahwa jaraknya harus diatur antara 20 dan 25 cm." Petani Estatanus Loi mengaku, baru setelah di Yogyakarta mendapatkan ilmu memberantas hama dan menggunakan insektisida secara benar. Insektisida sudah dikenal di provinsi paling muda ini sejak 1981. Tapi, waktu itu, Loi menggunakannya secara serampangan sehingga usahanya tak mencapai sasaran - biaya besar tapi hama tak mati. Sistem pendidikan yang diberikan kepada petani Timor Timur di Yogyakarta ini, menurut Soeseno, lebih ditekankan kepada praktek langsung masalah pertanian dan pengolahan tanah. Sistem pengaturan irigasi tidak dirasakan perlu untuk diajarkan sebab transmigran Bali di sana dianggap bisa dijadikan "pembina langsung". Kekompakan antara transmigran asal Bali dan transmigran lokal di Maliana memang sudah terjalin. Jaringan irigasi sudah dibangun bergotong royong dan diterapkan sistem subak - organisasi pengairan tradisional Bali. "Saya sangat puas," kata Lopes yang bersama istri dan lima anaknya mukim di Meliana sejak 6 Maret. Ia sebelumnya adalah petani yang sering berpindah-pindah tempat. Pendidikan di Yogyakarta itu sendiri merupakan proyek pertama Departemen Transmigrasi. Para pengajarnya datang dari Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Perindustrian. Jadwal pendidikan sehari penuh - istirahat hanya untuk makan siang. Komposisinya 30% teori dan 70% praktek. Praktek dimulai dari pelajaran paling dasar: mencangkul, membajak, menanam, memupuk, dan memberantas hama. Untuk praktek, disediakan 1 hektar tanah. Walau petani Timor Timur sudah mengenal cangkul sejak 1977, banyak juga yang kikuk mengayunkan alat itu. "Habis, sebelumnya kami mengolah tanah dengan linggis," ujar Loi. Pelajaran teori lebih ditekankan pada cara pemilihan bibit, mengenal berbagai jenis pupuk alam, memberantas hama, dan sistem pengolahan tanah dengan tanaman tumpang sari. "Mereka baru tahu bahwa kotoran sapi dan kerbau bisa jadi pupuk," kata kepala Balai Latihan Transmigrasi DI Yogyakarta, Soenirman. Ketika kembali ke daerah asalnya, para petani Tim-Tim itu dibekali bibit. "Bibit yang mereka bawa itu sudah pernah dipraktekkan di sini," kata Kulup Bono, sekretaris Proyek Pendidikan Transmigrasi DI Yogyakarta. "Saya yakin hasil pertanian kami kelak akan meningkat," kata Lopes optimistis. Ia menambahkan, kecilnya produksi pertanian di daerahnya karena petani tak tahu memelihara tanaman yang baik dan memerangi hama. "Pupuk kimia, seperti TSP dan urea, baru kami ketahui di Yogya sekarang ini. Sebelumnya, kami tak pernah memakai pupuk," kata Joselimo, petani Timor Timur yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus