PETANI Timor Timur Joao Pereira Lopes, 50 tahun, terkesima
ketika menyaksikan kerbau menarik bajak untuk menggemburkan
sawah di Desa Beran, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pemandangan
seperti itu tak pernah ia lihat di daerah asalnya. "Kami
mengolah sawah juga memakai kerbau, tapi untuk setiap hektarnya
diperlukan 30 ekor," katanya. Ia menambahkan, kerbau itu
digiring mondar-mandir untuk menggemburkan tanah.
Lopes adalah salah seorang dari 30 petani Timor Timur yang
dididik keterampilan bertani di Yogyakarta selama sebulan -
berakhir 22 September. Ia mengaku, banyak hal yang diperolehnya.
"Selain mengolah tanah, saya mendapat bekal pengetahuan membuat
genting dan batu bata yang bahan bakunya banyak di sana,"
ujarnya.
Petani yang dikirim ke Yogya ini adalah sebagian dari
transmigran lokal yang menempati lokasi di Tunobebe, Kabupaten
Maliana. Permukiman ini menampung 100 kepala keluarga
transmigran - separuhnya berasal dari Bali. Yogyakarta dipilih
karena daerah ini punya persamaan dengan Tim-Tim: ada persawahan
tadah hujan, ada persawahan irigasi, dan ada pertanian tanah
kering, seperti di Gunung Kidul. Menurut kepala Kantor Wilayah
Departemen Transmigrasi DI Yogyakarta, Soeseno, yang menjadi
pimpinan proyek pendidikan, "bahkan Timor Timur itu lebih baik
keadaannya dibanding Gunun Kidul."
Keadaan provinsi termuda itu memang penuh tantangan. Hanya 20%
wilayahnya merupakan dataran yang bisa ditanami dan bukan pula
tanah subur. Selebihnya pegunungan kapur, lembah curam, dan
sungai yang kering di musim kemarau.
Menurut Lopes, ada tiga macam jenis tanah di Tim-Tim. Pertama,
tanah berwarna hitam, yang paling subur dan paling banyak
dimanfaatkan petani untuk bercocok tanam. Kedua, tanah berwarna
merah yang suburnya sedang-sedang saja. Sisanya, tanah putih
berkapur yang kurang subur dan pada kedalaman 10 cm sudah muncul
batu. "Ini yang menyusahkan kami," ujar Lopes.
Setelah sebulan dilatih di Yogyakarta, petani Timor Timur itu
pulang dengan penuh optimisme. "Tanah merah itu bisa dijadikan
bata, dan bukit kapur itu bisa dijadikan dasar bangunan," kata
Lopes lagi.
Bukan masalah keterampilan seperti itu saja yang diperoleh
mereka selama pendidikan. Mereka juga diajar bertani dengan
"menggunakan otak". Ernesto Mali, petani Timor Timur yang lain,
baru sekarang merasa dirinya bodoh. "Dulu, saya menanam padi di
sawah sebanyak-banyaknya. Tidak memperhitungkan jarak. Saya kira
semakin banyak yang ditanam semakin banyak hasilnya," katanya
sambil ketawa. "Sekarang baru saya tahu bahwa jaraknya harus
diatur antara 20 dan 25 cm."
Petani Estatanus Loi mengaku, baru setelah di Yogyakarta
mendapatkan ilmu memberantas hama dan menggunakan insektisida
secara benar. Insektisida sudah dikenal di provinsi paling muda
ini sejak 1981. Tapi, waktu itu, Loi menggunakannya secara
serampangan sehingga usahanya tak mencapai sasaran - biaya besar
tapi hama tak mati.
Sistem pendidikan yang diberikan kepada petani Timor Timur di
Yogyakarta ini, menurut Soeseno, lebih ditekankan kepada praktek
langsung masalah pertanian dan pengolahan tanah. Sistem
pengaturan irigasi tidak dirasakan perlu untuk diajarkan sebab
transmigran Bali di sana dianggap bisa dijadikan "pembina
langsung".
Kekompakan antara transmigran asal Bali dan transmigran lokal di
Maliana memang sudah terjalin. Jaringan irigasi sudah dibangun
bergotong royong dan diterapkan sistem subak - organisasi
pengairan tradisional Bali. "Saya sangat puas," kata Lopes yang
bersama istri dan lima anaknya mukim di Meliana sejak 6 Maret.
Ia sebelumnya adalah petani yang sering berpindah-pindah tempat.
Pendidikan di Yogyakarta itu sendiri merupakan proyek pertama
Departemen Transmigrasi. Para pengajarnya datang dari Dinas
Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perkebunan, dan Dinas
Perindustrian. Jadwal pendidikan sehari penuh - istirahat hanya
untuk makan siang. Komposisinya 30% teori dan 70% praktek.
Praktek dimulai dari pelajaran paling dasar: mencangkul,
membajak, menanam, memupuk, dan memberantas hama. Untuk praktek,
disediakan 1 hektar tanah. Walau petani Timor Timur sudah
mengenal cangkul sejak 1977, banyak juga yang kikuk mengayunkan
alat itu. "Habis, sebelumnya kami mengolah tanah dengan
linggis," ujar Loi.
Pelajaran teori lebih ditekankan pada cara pemilihan bibit,
mengenal berbagai jenis pupuk alam, memberantas hama, dan sistem
pengolahan tanah dengan tanaman tumpang sari. "Mereka baru tahu
bahwa kotoran sapi dan kerbau bisa jadi pupuk," kata kepala
Balai Latihan Transmigrasi DI Yogyakarta, Soenirman.
Ketika kembali ke daerah asalnya, para petani Tim-Tim itu
dibekali bibit. "Bibit yang mereka bawa itu sudah pernah
dipraktekkan di sini," kata Kulup Bono, sekretaris Proyek
Pendidikan Transmigrasi DI Yogyakarta.
"Saya yakin hasil pertanian kami kelak akan meningkat," kata
Lopes optimistis. Ia menambahkan, kecilnya produksi pertanian di
daerahnya karena petani tak tahu memelihara tanaman yang baik
dan memerangi hama. "Pupuk kimia, seperti TSP dan urea, baru
kami ketahui di Yogya sekarang ini. Sebelumnya, kami tak pernah
memakai pupuk," kata Joselimo, petani Timor Timur yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini