Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah Napak Tilas ke Glodok

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nun di awal abad ke-18, Glodok sudah bersinar-sinar. Pada masa VOC masih beroperasi di Batavia, sesungguhnya kawasan permukiman masyarakat Cina belum diisolasi di satu tempat yang kemudian dikenal sebagai pecinan. Hubungan masyarakat Cina dengan pedagang dan pemerintah Belanda agak unik, meski tidak bisa dikatakan setara karena penjajah tetap dikategorikan sebagai warga negara kelas satu. Namun, masyarakat Cina diberi keleluasaan untuk bersembahyang di Wihara Dharma Bhakti, yang letaknya terselip di antara gang kecil yang menjadi pusat perdagangan obat-obatan ramuan Cina. Pada 1740, terjadi pemberontakan petani Cina. Hubungan komunitas Cina dengan Belanda menjadi seret. Pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan pengotakan komunitas Cina?kebijakan yang juga diterapkan kepada komunitas Jawa. Sejak saat itulah terjadi pengelompokan masyarakat Cina di Glodok, yang kemudian menjadi pecinan tertua di Batavia. Mereka yang tidak ingin mematuhi kebijakan baru itu lalu memutuskan meninggalkan kota. Tapi selebihnya masuk ke dalam politik isolasi, sehingga sejak saat itulah Glodok berikut sektor perekonomiannya berkembang sebagai pecinan. Terlepas dari peraturan ketat yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda, daerah Glodok yang sudah telanjur tumbuh menjadi kekuatan perekonomian etnis Cina itu tetap menjadi pusat kehidupan komunitas masyarakat Cina. Bahkan, kekuatan ekonomi masyarakat Cina meluas hingga kawasan Pasarbaru. Pada masa Gubernur Ali Sadikin, di awal 1970-an, Glodok mulai berubah menjadi sektor bisnis modern. Etalase toko-toko kecil yang biasanya dipenuhi pajangan sutra dan keramik berganti dengan ruko-ruko (rumah toko) kaca dengan jajaran barang-barang elektronik, terutama kipas angin. Tapi karakter kultur Cina, seperti barongsai dan perayaan Tahun Baru Imlek, seiring dengan peraturan-peraturan Orde Baru yang amat menekan, makin lama makin menghilang dan hanya hidup samar-samar. Sesekali, masih ada aroma dupa khas serta simbol yin dan yang di beberapa toko dengan bangunan tradisional untuk sekadar memperlihatkan jejak-jejak kultur yang dipaksa tak boleh tampak. Setelah kerusuhan Mei itu, Glodok memperlihatkan sebuah keadaan yang semakin menekan. Yang terjadi bukan hanya sekadar penggilasan kebudayaan atau pusat perekonomian, tapi juga sebuah kehidupan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus