Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mukim di Australia, Apa Syaratnya

Menjadi "permanent resident" di Kanada, Australia, sekarang sedang jadi mode. Apa saja yang perlu dicermati?

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI semangat zaman global: ketimbang hujan batu di negeri sendiri, ya lebih baik hujan emas di negeri orang. Kalau negeri sendiri rusuh, ekonominya terus-menerus sakit, jangan salahkan mereka yang melirik status permanent resident di negeri orang. Walaupun belum ketahuan data yang pasti, sejak kerusuhan Mei 1998, banyak orang Indonesia?terutama keturunan Cina?yang mencari izin tinggal tetap di Australia. Ada peluang, ada penyedia jasa. Maka sekarang ini di Jakarta sudah bermunculan biro jasa untuk mengurus izin tinggal di Australia, Kanada, atau negara lainnya. Biro itu akan membantu Anda menembus ruwetnya lika-liku pengurusan izin tinggal, karena soalnya lebih pelik ketimbang sekadar mengurus visa berkunjung sebagai turis. Dan pemegang izin tinggal tetap akan mendapat hak yang sama dengan warga negara (citizen) negara yang dituju. Minusnya hanya satu: tak punya hak suara dalam pemilihan umum. Seperti warga negara lokal, pemegang izin tetap mendapat fasilitas seperti biaya perawatan di rumah sakit, biaya sekolah, dan berbagai tunjangan. Dari segi fasilitas, Kanada dan Australia menjadi favorit banyak orang. Aturan untuk tinggal di sana pun jauh lebih longgar ketimbang di negeri lainnya. Paling tidak, itulah yang ditawarkan oleh biro-biro hukum bertaraf internasional yang membuka situs di internet. Misalnya Justin, Khoo and Associates. Biro ini merekomendasikan Kanada sebagai tempat tinggal tetap. Mengapa? Karena mereka yang mengantongi kartu residen permanen di Kanada bisa juga bekerja di Amerika Serikat. Dan bekerja dengan upah dolar Amerika tentulah impian banyak perantau, terutama dari negeri Dunia Ketiga. Kelebihan Kanada lainnya, seperti juga Australia, negeri itu terkenal paling tidak rasialis dalam menerima pendatang asing. Australia juga dikenal sangat terbuka. Negeri Kanguru itu, misalnya, pernah membuka pintu lebar-lebar untuk pengungsi Vietnam yang menjadi korban perang pada dekade 1970. Bukan berarti tak ada syarat. Australia, seperti juga yang lain, mensyaratkan agar pemegang izin tetap itu punya keahlian, mempunyai modal jika ia seorang pengusaha, atau mampu menjalankan satu unit bisnis yang menghidupi sekian orang. Pokoknya, mereka yang diberi izin tinggal adalah yang tidak akan merugikan negara yang menerima?misalnya terlibat kasus kriminal. Untuk itu ada seleksi: dari tingkat usia, kesehatan, ada-tidaknya saudara yang sudah menetap, jumlah orang yang menjadi tanggungan, serta kemampuan bahasa. Semakin banyak jumlah tanggungan yang dibawa, semakin besar pula uang yang akan diterima si pemegang izin tinggal. Biasanya, jumlah bantuan atau fasilitas yang diterima itu besarnya setara dengan biaya hidup pemohon plus tanggungannya. Tentu saja pemohon yang punya keahlian tinggi punya peluang besar untuk lolos seleksi. Begitu juga dengan pengusaha yang punya modal besar untuk diinvestasikan. Di Amerika Serikat, sebagai contoh, untuk mendapatkan green-card?sebutan izin tinggal tetap di sana?salah satu syaratnya adalah mampu menanam modal US$ 1 juta atau membuka usaha yang dapat menampung paling tidak sepuluh tenaga kerja. Syarat modal di AS itu kelewat berat, apalagi bagi orang Indonesia yang tengah susah dilanda krisis moneter. Itu sebabnya, Australia lebih banyak peminatnya. Alasannya jelas. Letaknya "dekat". Untuk menjangkau Perth, umpamanya, hanya perlu tiga jam terbang dari Jakarta. Iklimnya juga hampir sama. Yang juga penting, sudah banyak orang Indonesia yang tinggal di sana. Data imigrasi Australia mencatat ada 50 ribu orang Indonesia yang menetap tinggal di Sydney, Melbourne, atau Perth dan kota lainnya. Negeri yang bergabung dalam persemakmuran di bawah Inggris itu menawarkan banyak alternatif untuk orang luar. Jika pemohon tinggal berusia di bawah 35 tahun, tidak punya sponsor di sana, tapi punya keahlian khusus, ia bisa memilih "kelas visa migran independen". Untuk itu pemohon akan dites kemampuan bahasa Inggrisnya, pengalaman kerjanya, dan dicek usianya. Proses melamar ini kira-kira makan waktu sekitar setahun. Kalau Anda sudah punya kontak dengan perusahaan di Australia atau pemimpin sebuah industri, Anda bisa memilih "visa nominasi oleh majikan". Yang jenis ini mengharuskan Anda mengurus prosesnya di luar Australia, misalnya di Jakarta. Anda juga tak boleh lebih dari 44 tahun dan harus mendapat penunjukan dari calon majikan di Australia. Ada cara lain. Bila Anda berusia 18-65 tahun, punya keluarga di Australia yang statusnya residen tetap atau warga negara Australia, Anda bisa meminta keluarga Anda itu untuk menjadi sponsor untuk "visa dengan kaitan Australia untuk tenaga terampil" (skilled Australian linked visa). Tes yang harus dilalui juga lebih sederhana: lancar bahasa Inggris dan berakhlak baik. Kalau Anda menduduki posisi eksekutif senior pada perusahaan multinasional, Anda bisa mengajukan "visa eksekutif senior". Tapi tes yang harus Anda lalui juga spesial: menyangkut data diri Anda, juga perusahaan tempat Anda bekerja. Orang Indonesia belakangan ini banyak tertarik pada "visa bisnis". Pemegang visa jenis ini tidak otomatis bisa tinggal secara permanen di sana, tapi boleh tinggal sementara. Nah, dengan mengantongi visa tinggal sementara, Anda sudah boleh berusaha dan bekerja di Australia. Dikabarkan bahwa banyak orang Indonesia keturunan Cina yang sudah mulai menapakkan kaki di Australia. Mereka adalah eksekutif senior perusahaan besar, pemilik saham perusahaan Australia di Jakarta, atau orang yang punya aset untuk diinvestasikan di Australia. Jumlah aset yang diinvestasikan itu minimal A$ 140 ribu (1 dolar Australia pekan ini berharga Rp 5.700). Nah, dengan modal sebesar itu, paling lama delapan bulan sang visa sudah nongol. Bagaimana kalau Anda tak punya modal, pendidikan juga pas-pasan, bahasa Inggris cuma bisa "ala Tarzan"? Pakailah jalur nekat: menikahlah dengan orang Australia atau pemegang residen permanen di sana. Itu jalur yang dilalui?sebut saja?Kadek yang asal Bali dan datang sebagai turis ke Gold-Coast, di Negara Bagian Queensland, pada 1991. Di sanalah ia bertemu dengan Irene, jatuh cinta, menikah?sederhana, kan. Maka segeralah Kadek menerima permanent resident dan kini punya rumah di Gold-Coast. Amanlah ia tinggal di Australia. Namun jangan sesekali "pura-pura menikah" untuk mengejar visa tinggal tetap. Pihak imigrasi akan menyelidiki Anda, mengajukan sederet pertanyaan untuk membuktikan perkawinan itu. Berbagai "taktik" dan "akal bulus" agaknya repot diterapkan di negeri yang administrasinya sudah rapi itu. Dan barangkali ketatnya imigrasi di sana itu bisa ditembus orang Indonesia pada sekitar tahun 70-an dan 80-an. Saat itu banyak orang Indonesia yang datang mengadu nasib sebagai pendatang gelap. Belakangan hari, pendatang "haram" itu mendapat pengampunan atau "pemutihan" sehingga bisa mengantongi izin tinggal tetap. Sebuah tawaran menarik bila Anda benar-benar tipe manusia global yang tak terikat lokasi. Tapi jika Anda selalu rindu akan pedasnya sambal bajak, sedapnya nasi uduk Jakarta, atau hangatnya kumpul-kumpul keluarga, gosip antartetangga, pikir-pikirlah dulu sebelum berangkat. Bina Bektiati, Puwani D. Prabandari, Hani Pudjiarti (Jakarta), Dewi Anggraeni (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus