Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harga Dolar Kembali Belasan Ribu Rupiah rontok lagi. Setelah berbulan-bulan bisa terus dipertahankan pada kurs Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per dolar, pelan-pelan mata uang kebanggaan Indonesia itu terperosok kembali. Pada Jumat sore, 22 Januari, satu dolar Amerika Serikat (US$) ditawarkan pada harga Rp 8.900 (kurs beli) dan Rp 9.000 (kurs jual). Jatuhnya rupiah di hari-hari seputar Lebaran mestinya cukup mengagetkan. Pada awalnya, para analis meramalkan, rupiah akan menguat lantaran tingkat permintaan uang lokal biasanya meningkat pada hari raya Islam itu. Maklum, hari Lebaran identik dengan pesta massal yang biasanya mengonsumsi rupiah cukup banyak. Selain itu, selama tiga bulan lebih, Bank Indonesia berhasil mengganjal energi rupiah dengan terus menjual dolar hasil pinjaman luar negeri. Dengan cadangan devisa cukup besar (pekan kedua Januari mencapai US$ 14,32 miliar), jauh di atas target minimal yang ditetapkan Dana Moneter Internasional (IMF) yang cuma US$ 10,9 miliar, mestinya BI punya cukup banyak peluru untuk melawan para spekulan. Apalagi, pagi-pagi, ketika harga dolar mulai merambat naik sepekan sebelum Lebaran, Gubernur BI Sjahril Sabirin berjanji tak akan membiarkan mata uang AS itu kembali liar. Ia bertekad, BI akan melakukan intervensi untuk menahan harga dolar tak melebihi Rp 8.000. La, kok sekarang harga dolar dibiarkan menanjak sampai hampir Rp 9.000? Sebuah titik balik yang akan membawa harga dolar kembali melambung di atas Rp 10.000? Sulit dibantah, rontoknya rupiah diawali jatuhnya real, mata uang Brasil. Gara-gara investor asing ramai-ramai menarik investasinya, otoritas moneter Brasil terpaksa menyerah. Mereka membiarkan kurs real, yang semula dilekatkan (pegging) pada dolar, diambangkan (floating). Langkah ini mendorong para spekulan keranjingan membombardir real. Dalam tempo tak sampai sebulan, nilai tukar real terhadap dolar anjlok hampir 25 persen. Serbuan ini menakutkan Argentina. Negeri Maradona itu selama ini merupakan partner dagang Brasil yang utama. Sepertiga ekspor Argentina dikonsumsi Brasil. Kalau mata uang Brasil lumpuh, harga barang Argentina menjadi mahal dan tak punya daya saing. Untuk menahannya, tak ada jalan kecuali menyesuaikan alias menurunkan nilai tukar peso, mata uang Argentina. Kekhawatiran itu kemudian merembet ke negara-negara berkembang. Yang paling serius menghadapi ancaman semacam Brasil adalah Hong Kong dan Cina. Keduanya masih ketat mempertahankan pegging currency alias melekatkan nilai mata uangnya dengan dolar. Kekhawatiran ini, menurut para analis, sebenarnya berlebihan. Soalnya, Cina merupakan negeri yang menerapkan sistem devisa ketat. Tak mudah bagi spekulan untuk masuk dan mempermainkan yuan (renminbi). Selain itu, cadangan devisa Cina terkenal sangat kuat, cukup besar untuk melawan para spekulan. Tapi ancaman dan kekhawatiran sudah kadung merebak. Sentimen terhadap mata uang negara berkembang menurun. Para investor dan pedagang uang mulai ogah memegang mata uang emerging market. Dari sinilah tekanan terhadap rupiah bermula. Sudah begitu, masih ada pelbagai masalah yang campur aduk ikut memberatkan tekanan terhadap rupiah. Janji Sjahril tak membiarkan harga dolar melambung melebihi Rp 8.000 ternyata tak ditepati. "Tak ada tanda-tanda BI menjual dolar," kata seorang dealer. Ini membingungkan. Pasar mulai bertanya-tanya: bank sentral punya simpanan devisa atau kagak? Itu saja? Tidak. Rupiah juga ditekan oleh ancaman lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's Corp., yang mengancam akan menurunkan peringkat surat utang yang diterbitkan Indonesia. Dalam pernyataannya Kamis, 21 Februari, S&P menegaskan bahwa peringkat surat utang pemerintah Indonesia kemungkinan besar akan turun jika tak mampu memberi petunjuk yang jelas untuk menyelesaikan utang swasta. Padahal, menurut Direktur Pelaksana S&P Paul Coughlin, peringkat surat utang pemerintah Indonesia (kini CCC plus) sudah hampir mendekati dasar. Ini tentu membuat investor makin "ngeri" memegang rupiah. Nah, dengan situasi seperti itu, apakah harga dolar akan terus melambung? Para analis di pasar uang berharap BI akan segera campur tangan. Mereka menaksir, bank sentral pasti tak akan membiarkan harga dolar menembus Rp 9.000. Begitu angka keramat itu tercapai, BI pasti melakukan intervensi. Benar begitu, Pak Sjahril?

Insya Allah, Harga Mobil Turun Ini kabar baik untuk calon pembeli mobil: harga mobil kemungkinan akan segera turun. Ah, yang bener? Bukankah harga dolar mulai merayap naik? Entahlah. Yang pasti, pemerintah kini sedang menyiapkan sejumlah beleid untuk menambah gairah pasar mobil. Caranya? Ya jelas dengan menurunkan harga mobil, misalnya, melalui insentif penurunan tarif pajak. Kepastian soal insentif ini disampaikan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rahardi Ramelan, Jumat, 8 Januari. Menteri Rahardi menyadari, konsumsi mobil amat lemah. Sepanjang tahun lalu, jumlah penjualan mobil hanya mencapai 58 ribu unit atau turun 85 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun ini pun perdagangan mobil diperkirakan tetap loyo. Nah, untuk memberikan tonikum, Rahardi menjanjikan meninjau sejumlah aturan jual beli mobil, termasuk tarif pajak. Selama ini, sekitar 50 persen dari harga mobil di Indonesia merupakan setoran pajak. Tak percaya? Hitung saja. Semua jenis mobil harus menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPn BM) yang besarnya sampai 200 persen dari harga mobil (tergantung bentuk mobil yang diimpor). Selain itu, produsen harus membayar bea masuk komponen sisa yang masih diimpor. Sebenarnya, pemerintah sudah membebaskan bea masuk komponen ini, asalkan produsen bisa memakai kandungan lokal lebih besar dari 60 persen. Tapi, celakanya, hingga saat ini, tak satu jenis pun mobil yang dirakit di Indonesia sudah bisa memenuhi syarat minimal itu. Akibatnya, semua kena pajak. Rahardi menjamin, insentif ini akan berlaku untuk semua. Orang mestinya masih belum lupa, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, ada juga "hadiah" pajak gratisan seperti ini. Hanya saja, waktu itu diberikan khusus untuk Hutomo Mandala Putra, pemegang proyek mobil nasional, yang "kebetulan" anak Presiden.


"Bersih Cendana" untuk Indofood Langkah "bersih lingkungan" rupanya tak cuma muncul di masa Orde Baru. Dalam zaman reformasi sekarang ini, orang tampaknya merasa perlu mencari status "bersih Cendana". Maksudnya: upaya menyucikan diri dari kaitan dengan keluarga bekas presiden Soeharto. Upaya itulah yang agaknya akan ditempuh oleh PT Indofood Sukses Makmur. Senin, 25 Januari ini, produsen mi terbesar di dunia itu menggelar rapat umum luar biasa pemegang saham (RULBPS). Pertemuan ini akan meminta persetujuan pemegang saham minoritas atas rencana penjualan seluruh saham Indofood yang dikuasai Grup Salim kepada Nissin Food Products (raksasa perusahaan makanan dari Jepang) dan First Pacific Company dari Hong Kong. Dengan penjualan ini, Indofood akan berganti juragan. Kerajaan mi dunia itu tak lagi kepunyaan keluarga Liem Sioe Liong, yang "dekat" dengan keluarga Soeharto, tapi sudah pindah tangan ke dua perusahaan publik di luar negeri. Selain "melepaskan" diri dari Salim, Indofood mulai membersihkan manajemennya dari orang-orang yang selama ini dikenal dekat dengan keluarga Soeharto. Presiden Direktur Anthony Salim, anak waris keluarga Liem Sioe Liong, misalnya, akan diganti. Begitu juga Sudwikatmono, sepupu Soeharto, yang akan digusur dari kursi komisaris. Sebenarnya, pengambilalihan ini tak sama sekali membebaskan Indofood dari Salim. Harap dicatat, sebagian besar saham First Pacific dikuasai oleh Salim dan konco-konconya, termasuk Sudwikatmono. Jadi, secara tak langsung, Indofood tetap saja masih "bau" Cendana. Tapi, menurut para analis, penjualan saham Salim dan penggusuran orang-orang dekat ini akan meringankan tekanan politik terhadap Indofood. Hanya saja, selesaikah tekanan politik terhadap Indofood? Tampaknya tidak. Kalaupun berhasil membersihkan diri dari "bau Soeharto", Indofood masih harus menghadapi tantangan undang-undang antimonopoli. Saat ini, DPR sedang memperdebatkan batasan penguasaan pangsa pasar yang tak diizinkan. Menurut kabar terakhir, dewan mengusulkan perusahaan tak diperbolehkan jika sudah menguasai market share sampai lebih dari 50 persen. Ini lebih besar dari usulan semula, yang cuma 30 persen. Tapi, batasan mana pun yang disetujui kelak, Indofood akan tetap kena pangkas. Selama ini, Indofood menguasai 90 persen pangsa pasar mi dan sekitar 60 persen pasar minyak goreng bermerek. Selain itu, kenyataannya, Indofood masih memonopoli proses penggilingan gandum menjadi tepung terigu, lantaran belum ada pesaing yang serius. Jadi, bagi Indofood, persoalannya tak cukup sekadar "bersih diri". Perusahaan yang sudah bertahun-tahun menikmati monopoli penggilingan gandum ini agaknya juga harus menyesuaiakan tuntutan zaman: mereformasi diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus