Barangkali ini yang namanya menyalip di tikungan. Ketika orang sibuk menyiapkan libur Lebaran, diam-diam Presiden Habibie membuat langkah penting. Lima hari menjelang Idul Fitri, Presiden menerbitkan keputusan tentang tax holiday.
Tax holiday merupakan fasilitas pembebasan pajak penghasilan (PPh) untuk perusahaan dalam jangka waktu tertentu. Biasanya fasilitas ini diberikan untuk merangsang investasi di suatu daerah atau sektor industri tertentu, misalnya bagi mereka yang memelopori industri pionir atau mendirikan pabrik di kawasan yang miskin infrastruktur.
Bagi negeri yang investasinya mandek seperti Indonesia saat ini, rangsangan semacam tax holiday memang perlu. Insentif ini, di atas kertas, diharapkan menjadi tonikum yang bisa membangkitkan minat investasi, menggerakkan produksi, dan akhirnya menyerap tenaga kerja.
Tapi, di mana pun, yang namanya fasilitas selektif selalu menimbulkan syak wasangka. Apalagi keputusan Habibie di tengah mood liburan kali ini berkesan sembunyi-sembunyi. Sejumlah pejabat di Departemen Keuangan mengaku tak tahu-menahu soal keputusan Habibie. Bahkan, Direktur Jenderal Pajak Anshari Ritonga, orang yang mestinya ngelotok dengan semua kebijakan perpajakan, hingga beberapa hari menjelang beleid terbit, dengan tegas masih mengatakan, "Tak akan ada fasilitas pembebasan pajak."
Nah, melihat penerbitannya yang berkesan slaman-slumun begitu, muncul keraguan: apa benar tax holiday buatan Habibie ini bersih dari pamrih tertentu? Apa benar fasilitas ini tak hanya diperuntukkan bagi kalangan khusus?
Dalam sejarahnya, kebijakan tax holiday memang rawan kolusi. Tiga tahun lalu, mantan presiden Soeharto juga memberikan fasilitas ini untuk konco-konconya, seperti Bob Hasan (pemegang saham Kiani Kertas dan Smelting Co.), Marimutu Sinivasan (Texmaco dan Polysindo), serta Hashim Djojohadikusumo (Trans-Pacific Petrochemical).
Sebaliknya, tax holiday versi Habibie tak menyebut satu nama pun. Ia cuma membuat kriteria industri yang bisa memperoleh pembebasan pajak, yaitu 22 jenis industri pionir. Kalau pabriknya dibangun di Jawa dan Bali, tax holiday cuma berlaku untuk tiga tahun, sedangkan jika pabriknya di luar kedua pulau itu, bebas pajak diberikan selama lima tahun.
Ahli hukum ekonomi, Pradjoto, memang masih menaruh curiga bahwa fasilitas tax holiday ini akan menjadi sumber kolusi baru. Soalnya, ia melihat beleid ini punya beberapa lubang. Misalnya pasal yang menyatakan bahwa insentif ini tak otomatis diberikan kepada industri yang memenuhi syarat, tapi harus menunggu permohonan pengusaha. Nah, menurut hitungan Pradjoto, pengajuan permohonan seperti ini, "Bisa menjadi sumber korupsi."
Selain itu, ada aturan tentang adanya fasilitas tambahan untuk investor yang membagi kepemilikan kepada koperasi. Sayangnya, apa dan bagaimana fasilitas tambahan ini tak gamblang seperti layaknya dokumen hukum. Ini, menurut Pradjoto, juga bisa menjadi bahan penyimpangan.
Benar atau tidak, sinyalemen Pradjoto itu memang masih menunggu bukti-bukti. Yang jelas, jika aturannya dijalankan dengan adil, agaknya tak mudah untuk mendapatkan fasilitas pembebasan pajak. Soalnya, dari 22 bidang usaha yang dipilih, semuanya merupakan industri yang sarat dengan muatan impor. Lihat saja: industri petrokimia, kilang minyak, benang untuk kesehatan, teknologi informasi, dan komponen elektronik.
Nah, semua orang juga tahu, hidup mati industri semacam itu amat bergantung pada impor. Mereka akan kelojotan jika harga dolar terus menggila. Jadi, bisa ditebak, jika nilai tukar dolar tak bisa dijinakkan, agaknya sulit berharap ada investor yang bakal mengajukan permohonan untuk mendirikan industri yang layak tax holiday.
Sejumlah pengusaha yang dihubungi TEMPO bahkan meragukan keampuhan daya tarik tax holiday dalam memikat investor. Maklum, situasi ekonomi sedang sekarat, kredit bank sulit dicairkan, dan kondisi politik juga gampang guncang. "Jangankan berinvestasi baru, bertahan saja sudah ngos-ngosan," kata Sugeng Sarjadi, pengusaha yang tergabung dalam Grup Kodel (Kelompok Delapan).
Ahmad Kalla, pengusaha peralatan pertambangan, berpendapat senada. Baginya, pajak bukan faktor penentu investasi. Selama stabilitas terjaga dan prospek keuntungan terbuka, semua investor pasti datang dengan sendirinya. "Kita malah senang kalau bisa membayar pajak. Itu tandanya laba masih bisa diraih," katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Irwandy Muslim, pun setali tiga uang. Buktinya, importir tekstil luar negeri membatasi pesanan hanya sampai kuartal pertama menjelang pemilu. Artinya, pesanan turun sampai tinggal sepertiga dibandingkan dengan zaman normal. "Mereka tak mau memesan kalau tak ada jaminan pasokan," katanya.
Tax holiday, menurut Irwandy, memang menarik. Cuma, daya pikatnya tak lebih panjang dari sekadar manisnya permen. "Padahal, kita sudah lapar dan sekarat, jadi kurang pas," katanya. Ketimbang tax holiday, katanya, akan lebih berguna bila pemerintah memangkas dan membersihkan birokrasi. Ini lebih bermanfaat dalam memberangus pungutan liar yang memboroskan biaya produksi.
Ketua Kamar Dagang dan Industri, Iman Taufik, juga memandang pembenahan penerapan hukum lebih mutlak ketimbang pembebasan pajak. Dalam arti luas, ini meliputi konsistensi pemerintah dalam menyehatkan perbankan. Sebab, investor asing akan berhitung: kalau berbisnis di Indonesia, pasti berurusan dengan perbankan lokal. "Mereka akan berpikir berkali-kali bila banknya brengsek," kata Iman Taufik.
Ketidakampuhan manfaat tonikum tax holiday di saat politik sedang gonjang-ganjing bisa dilihat dari batalnya proyek pembangunan industri elektronik terpadu di Medan, Sumatra Utara. Semula, dengan rangsangan pembebasan pajak, Seagate, sebuah raksasa elektronik AS, bermaksud mendirikan pabrik elektronik dengan dana investasi Rp 10 triliun. Tapi, begitu kerusuhan meletus, Seagate terpaksa hengkang dan memindahkan investasi ke Subic, Filipina.
Nah, jika manfaatnya tak jelas, mengapa Habibie terus ngotot menggelar tax holiday? Apalagi, setidaknya menurut pendapat Dirjen Pajak Anshari, tax holiday juga berpeluang mengurangi pendapatan pajak pemerintah. Anshari tampaknya memang begitu alergi dengan ide tax holiday. Harap maklum, target penerimaan pajak yang harus digaet mencapai Rp Rp 79 triliun, naik 36 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Dari lonjakan ini, justru PPh-lah yang dipatok naik paling tinggi, menjadi Rp 40,6 triliun atau melonjak 57,2 persen dari tahun lalu.
Dengan target pajak yang melangit, bisa dimengerti bila Anshari menyesalkan banyaknya pengusaha dan pejabat yang meminta tax holiday. Alasan banyaknya perusahaan yang rugi akibat krisis moneter, menurut Anshari, tak bisa diterima. "Ini kan tidak realistis. Kalau mereka rugi, pasti tidak perlu membayar PPh," katanya.
Karena itu, dua pekan lalu, di hadapan rapat paripurna pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1999/2000 di DPR awal bulan lalu, Anshari Ritonga dengan tegas menyatakan keberatan atas rencana keppres tax holiday. "Kalau semua minta pembebasan pajak, lalu siapa yang akan menutup target pajak?" tanyanya.
Siapa dong, Pak Habibie?
Mardiyah Chamim dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini