Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Sederet Kontroversi PLTU Celukan Bawang di Buleleng Bali Sejak Awal Berdirinya

Pembangunan PLTU Celukan Bawang sejak awal mengalami berbagai masalah, mulai pembebasan lahan hingga izin lingkungan.

26 September 2024 | 06.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejak dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Celukan Bawang, Kecamatan Gerogak, Buleleng, Bali, keberadaan pembangkit listrik ini telah mengundang beragam kontroversi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak awal di bangun, proses pembebasan lahan untuk menyokong kontruksi PLTU Celukan Bawang disebut telah bermasalah, selain itu pembangkit listrik ini juga dinilai mencemari lingkungan, hingga menyoal kesejahteraan pekerjannya. Berikut deretan kontroversi PLTU Celukan Bawang yang dihimpun dari berbagai sumber.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak Jelas Penyaluran Pesangon Buruh

Berakhirnya kontrak kerja antara PT China Huadian Corporation (CHD) dan PT General Energi Bali (GEB), selaku pengelola PLTU Celukan Bawang, otomatis memutus juga kontrak dengan para pekerja di bawah naungan PT Victory. Sehingga dalam masa transisi ini kewenangan PT Victory sebagai pemasok tenaga kerja akan dialihkan ke PT Garda Arta Bumindo (GAB) dan PT Garda Satya Perkasa (GSP).

Menyusul berakhirnya kontrak tersebut, pada 12 dan 14 September 2024, PT GEB mengeluarkan pengumuman terbuka kepada para pekerja yang menginstruksikan para pekerja PT Victory untuk membuat surat pengunduran diri, dan membuat surat lamaran baru yang ditujukan kepada PT GAB dan PT GSP selambat-lambatnya diserahkan pada 17 September 2024. Namun, dengan pengajuan surat pengunduran diri ini, artinya pekerja dengan sukarela mengundurkan diri dari PT Victory dan tidak mendapatkan pesangon yang ditaksir total mencapai Rp12,4 miliar. 

Tongkang Batubara Karam di Laut

Dikutip dari mongabai, kapal tongkang pembawa batubara karam di perairan PLTU Celukan Bawang pada 14 Agustus 2022, hingga akhirnya pada 27 Agustus, kapal miring dan sebagian muatan batubaranya masuk laut. Tongkang itu datang dari Sangatta, Kalimantan Timur milik KPC menuju perairan Bali utara lokasi PLTU Celukan Bawang. Sebelumnya tongkang tersebut dihantam badai di Kepulauan Kangean, Madura, dan kondisinya miring. Karena sudah dekat perjalanan dilanjutkan ke Bali.

Berhari-hari dibiarkan, tumpahan itu membuat masyarakat takut akan terjadinya pencemaran terhadap ekosistem laut, utamanya bagi para nelayan. “Nelayan akan sulit jual ikan, takut zat yang terkandung di batubara seperti mengandung merkuri,” kata Supriyadi, Kelompok Nelayan Bakti Kasgoro di Celukan Bawang.

Di sisi lain General Affair PT General Energy Bali, Indriati Tanu Tanto dikonfirmasi pada 31 Agustus 2022 mengatakan, kapal tongkang miring dan sengaja dikandaskan karena tidak merapat ke jetty untuk menurunkan 9700 ton batubara yang dibawanya dari PT Kaltim Prima Coal, Kalimantan sebab masih ada tongkang lain sandar di jetty. “Tidak bisa cepat harus tunggu tongkang (di jetty) kosong,” sebutnya ditanya waktu penanganan.

Pembangunan PLTU Tahap II

Pada 28 April 2017, Gubernur Bali menandatangani keputusan pemberian izin lingkungan untuk perluasan PLTU Celukan Bawang untuk menambah dua unit pembangkit tambahan. Eskpansi PLTU Celukan Bawang II direncanakan memiliki kapasitas 2x330 Megawatt atau hampir dua kali lipat dari PLTU Celukan Bawang I dengan daya yang dihasilkan 3 x 142 Megawatt. Namun menurut pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Bali, Dewa Adnyana, izin tersebut terbit tanpa keterlibatan warga Celukan Bawang.

Adapun Greenpeace menilai dengan kapasitas sebesar itu, maka PLTU itu akan menghasilkan udara lebih banyak yang merugikan masyarakat dan ekosistem di sekitarnya secara signifikan. Termasuk berpotensi merusak pariwisata Buleleng sebab berdampak langsung pada ekosistem Taman Nasional Bali Barat (TNBB), kondisi koral, serta kehidupan lumba-lumba yang ada di Pantai Lovina.

"Penerbitan izin bertentangan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," ujar Dewa kepada Tempo, Rabu 2 Mei 2018. 

Pembebasan Lahan Bermasalah

Berdasarkan laporan Greenpeace berjudul ‘Bagaimana PLTU Celukan Bawang meminggirkan dan meracuni masyarakat Bali utara’  menyebutkan PLTU Celukan Bawang yang selesai dan resmi beroperasi sejak 2015 ini dalam proses pembangunannya dibelit persoalan ganti rugi lahan. Adapun nominal ganti rugi yang diberikan dinilai terlalu kecil.

“Tidak cukup untuk bangun rumah baru. Ini saja saya ngutang. Saya dapat ganti rugi Rp 76 juta. Saya bangun rumah baru habis Rp 150 juta,” kata Sadli warga Celukan Bawang.

Lebih lanjut, mantan Kepala Desa Celukan Bawang periode 2002-2013, Muhajir menyebut, pembebasan lahan untuk PLTU tersebut memang bermasalah. Pembelian lahan warga desa dilakukan melalui makelar tanah sejak tahun 2002. Harga tanah yang dibeli masih sangat murah. Isu yang beredar saat itu, di atas lahan tersebut akan dibangun pabrik kecap. “Warga merasa dibohongi,” katanya. 

NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI  | ROBBY IRFANY | ROFIQI HASAN

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus