Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Proyek infrastruktur di Batam memerlukan material hasil pengerukan sedimen laut.
Ada lahan reklamasi seluas 7.000 hektare yang memerlukan material penguruk.
Potensi pengembangan properti di lahan reklamasi cukup tinggi.
JADI Rajagukguk menerima keluhan dari sejumlah kontraktor proyek infrastruktur dan properti di Kota Batam, Kepulauan Riau. Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Batam itu, para kontraktor kekurangan pasokan pasir. Jadi mengatakan suplai pasir hasil penambangan di darat tak mencukupi kebutuhan. “Kalau mengambil pasir dari luar Batam jauh dan mahal,” katanya pada 27 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota Batam memang tengah bersolek. Pemerintah Kota dan Badan Pengusahaan Batam menggarap sejumlah proyek, seperti pembangunan dan pelebaran akses jalan dari Kecamatan Nongsa ke Kecamatan Batu Ampar yang menjadi kawasan industri, bandar udara, dan kawasan pariwisata. Ada pula proyek pembangunan Batam Center serta reklamasi perairan di beberapa titik. Semuanya membutuhkan material bangunan, antara lain pasir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek-proyek ini yang bakal memanfaatkan material hasil sedimentasi laut seperti pasir. Pemerintah telah mengatur pemanfaatan hasil sedimentasi laut melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023. Aturan terbaru adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, yang memuat peta sebaran potensi sedimentasi.
Menurut hasil identifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, penumpukan sedimen laut berada di Laut Jawa, yang meliputi perairan di sekitar Kabupaten Demak di Jawa Tengah, Kota Surabaya di Jawa Timur, serta Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Karawang di Jawa Barat. Tumpukan sedimen seperti pasir, batu, dan lumpur juga ada di Selat Makassar, yakni di perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Lokasi lain adalah Laut Natuna dan Natuna Utara, yakni perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Lumpur sedimentasi di daerah pesisir Cirebon, Jawa Barat. Tempo/Ivansyah
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manoppo mengatakan pemerintah melakukan pemetaan berdasarkan kajian. Pemetaan ini juga mengacu pada dokumen pengajuan persetujuan kesesuaian pengelolaan ruang laut (PKPRL) swasta yang akan melakukan reklamasi. “Plus pemetaan rencana pembangunan yang perlu material sedimen untuk reklamasi,” ujarnya pada 25 Maret 2024.
Victor menegaskan, pemerintah memprioritaskan pemanfaatan hasil sedimentasi laut untuk kebutuhan dalam negeri. Kementerian Kelautan memperkirakan luas proyek reklamasi berdasarkan usulan PKPRL yang diajukan sejak 2022 mencapai 7.000 hektare. Sebagian besar adalah permohonan pelaku usaha di Kepulauan Riau. “Banyak kegiatan di sana,” ucapnya.
Permintaan sedimen laut juga datang dari pengusaha di Jakarta, antara lain untuk reklamasi lahan pembangunan properti di Jakarta Utara. Biasanya proyek-proyek di Jawa mendapat pasokan pasir dari Pulau Tunda, sebuah pulau kecil di Laut Jawa, tepatnya di sebelah utara Teluk Banten. Namun tim kajian Kementerian Kelautan menyalakan alarm merah untuk area ini. “Sudah tidak baik ambil pasir di sana,” tutur Victor. Walhasil, diperlukan lokasi lain untuk menyuplai material sedimen seperti pasir laut ke Jawa.
Kementerian Kelautan tak bisa memastikan total volume material yang dibutuhkan untuk menguruk area reklamasi seluas 7.000 hektare yang diusulkan 22 pelaku usaha, antara lain di Pulau Bintan, Karimun, dan Lingga. Menurut Victor, jika memakai asumsi kedalaman uruk rata-rata 10 meter, diperkirakan diperlukan 700 juta kubik material, termasuk pasir laut.
Area hasil reklamasi akan dimanfaatkan untuk berbagai proyek, seperti kawasan wisata bahari dan galangan kapal. Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Suharyanto mengatakan, selain pelaku usaha, Pemerintah Kota Balikpapan mengusulkan pengelolaan hasil sedimentasi laut untuk enam segmen proyek infrastruktur. “Belum lagi menghitung permintaan dari Jakarta, Semarang, dan Batam,” ia menjelaskan.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (REI) Batam Robinson Tan mengatakan belum ada laporan tentang anggota organisasinya yang berencana membangun properti di atas lahan reklamasi laut. Sejauh ini, menurut Robinson, para pengembang properti anggota REI masih menggarap proyek perumahan di darat. Namun dia melihat ada potensi pengembangan properti di lahan reklamasi, becermin pada sejumlah kota modern seperti Singapura dan Kuala Lumpur. “Apalagi Kota Batam dikelilingi laut,” ujarnya.
Robinson pun mendengar kabar bahwa beberapa zona di pinggir laut di Batam sudah dikuasai pengembang-pengembang besar. Ia memberi contoh, ada yang mereklamasi pantai untuk kawasan wisata. Ada pula rencana pemerintah membangun jalan lingkar laut menuju Batam Center sampai Nagoya. “Kalau tidak menimbun laut, mana mungkin?” katanya.
Masalahnya, Robinson menambahkan, pemanfaatan hasil sedimentasi laut tak semudah menggaruk pasir di darat. Idealnya, dia menjelaskan, proyek reklamasi laut menggunakan material pasir. Robinson merujuk pada otoritas Singapura yang mengharuskan penggunaan material pasir, tanpa lumpur dan tanah. Apalagi jika proyeknya berupa bangunan vertikal seperti hotel atau apartemen. “Jika material reklamasi tidak diperhatikan, bisa ambruk,” ucapnya. Tapi, kenyataannya, material sedimen dari laut juga berupa lumpur.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Kepulauan Riau Herry Tousa mengatakan material sedimen laut tidak bisa serta-merta dipakai untuk reklamasi. “Kalau isinya pasir dan batu, bisa,” ujarnya. Tapi jika material itu mengandung lumpur, harus ada pemilahan dulu. “Dan memilah itu perlu biaya,” kata Herry.
Karena itu, menurut Herry, pengusaha yang akan mengelola area sedimentasi harus mengetahui material yang terkandung di dalamnya. Ia mengatakan material seperti lumpur tidak terpakai dan harus dibuang. Pembuangannya pun tidak bisa sembarangan, harus mengajukan permohonan izin tempat pembuangan atau disposal area dulu. “Ini juga memakan biaya tersendiri,” tuturnya.
Namun, berbeda dengan sejumlah pelaku usaha yang mengusulkan pengelolaan hasil sedimentasi laut untuk reklamasi, di Cirebon, material sedimen yang diangkat bertumpuk di pinggir pantai. Masyarakat pesisir kadang menjadikannya tanah timbul.
Persoalan sedimen yang makin tebal juga dikeluhkan para nelayan di pesisir Kota Cirebon. Biasanya PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo mengambilnya setiap enam bulan atau setahun sekali di bibir muara dengan alat berat backhoe. “Tapi sedimen laut akibat lumpur dari hulu dan sampah tetap banyak,” ucap Rizal, nelayan di Cirebon.
Walhasil, lapisan sedimen laut yang kian tinggi memaksa para nelayan melaut lebih jauh. “Dulu cukup tebar jaring di jarak kurang dari 1 mil laut sudah dapat rajungan,” kata Rizal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ivansyah dari Cirebon berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Semudah Menggaruk Pasir"