Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Kurs Rupiah Terus Melemah

Kurs rupiah merosot akibat faktor eksternal. Tipisnya surplus perdagangan dan gejolak politik membawa Indonesia ke titik rawan.

31 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kurs rupiah nyaris mencapai 16 ribu per dolar Amerika Serikat.

  • Dolar menguat akibat sentimen positif kebijakan The Fed.

  • Kebijakan ekonomi Prabowo-Gibran belum membuat pasar yakin.

HARI-HARI ini, nilai tukar atau kurs rupiah sedang merosot tajam, hampir melewati level 15.900 per dolar Amerika Serikat. Ekonomi Indonesia kini terlihat rentan ketika pasar keuangan global menggelegak. Ini sungguh berbeda dengan situasi pada 2023. Saat itu pasar keuangan Indonesia relatif masih kebal menahan berbagai gejolak pasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guncangan eksternal memang masih menjadi penyebab utama luruhnya rupiah. Sumbernya adalah menguatnya dolar Amerika lantaran kemungkinan The Federal Reserve menunda penurunan bunga makin kuat. Padahal pasar keuangan di seluruh dunia sudah berbulan-bulan mengantisipasi turunnya bunga The Fed.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perubahan arah kebijakan ini membuat pola pergerakan pasar kembali berulang. Jika bunga The Fed bertahan tinggi, nilai dolar Amerika Serikat naik dan mata uang berbagai negara melemah. Itu tecermin pada Indeks Dolar yang kembali naik dari 102,36 menjadi 104,357 dalam sebulan terakhir. Naik-turunnya indeks ini mencerminkan kekuatan dolar Amerika terhadap enam mata uang utama dunia.

Yang agak berbeda, dampak menguatnya dolar Amerika kali ini sangat terasa di Asia. Nilai ringgit Malaysia, sekadar contoh, jatuh ke kisaran 4,7 per dolar Amerika, mendekati titik terendah di masa krisis 1998 silam. Bahkan Jepang, yang merupakan salah satu raksasa ekonomi Asia, juga tak luput dari tekanan berat. Kurs yen sudah merosot ke titik terendah dalam 34 tahun terakhir, mendekati level 152 per dolar Amerika.

Sedangkan nilai rupiah, per Kamis, 28 Maret 2024, sudah melorot hampir 3 persen terhitung sejak awal 2024. Jika tak ada intervensi yang agresif dari Bank Indonesia, besar kemungkinan kurs rupiah sudah bablas melampaui batas psikologis 16 ribu per dolar Amerika. 

Masalahnya, tekanan pada rupiah tampaknya masih akan terus berlanjut di pekan-pekan mendatang. BI harus siap menguras cadangan devisa untuk melanjutkan operasi pasar menjaga rupiah. Bukan tak mungkin pula BI harus menaikkan bunga rujukan jika situasi kian berat. Sebab, selain arah kebijakan suku bunga The Fed, banyak faktor yang berpotensi menimbulkan tekanan serius terhadap kurs rupiah. 

Salah satunya surplus perdagangan yang makin tipis, bahkan bukan tak mungkin akan merosot menjadi defisit. Indonesia bisa kehilangan pasokan devisa secara signifikan. Ini sebetulnya prinsip ekonomi yang paling mendasar bahwa penentu harga adalah ekuilibrium antara pasokan dan permintaan. Jika pasokan dolar dari penerimaan ekspor menurun, otomatis harga atau kursnya terhadap rupiah akan naik.

Titik keseimbangan likuiditas dolar di dalam negeri juga akan bergeser karena ada faktor musiman yang segera tiba: repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri pada April-Mei mendatang. Tambahan permintaan dolar untuk dikirim ke luar negeri tentu saja akan mengubah ekuilibrium di pasar. Likuiditas valuta asing di dalam negeri mengetat dan secara otomatis akan membuat kurs dolar Amerika Serikat naik.

Ada pula satu hal lain yang pengaruhnya amat penting tapi sulit diukur secara kuantitatif. Ini menyangkut sentimen negatif yang muncul dari ketidakpastian politik menjelang suksesi kepemimpinan nasional. Mahkamah Konstitusi masih menyidangkan sengketa hasil pemilihan umum yang menggugat kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden.

Kalau toh akhirnya MK menolak gugatan itu, pasar tampaknya masih memendam kecemasan akan arah kebijakan Prabowo-Gibran jika kelak menjadi presiden-wakil presiden, terutama dalam hal defisit anggaran. Pasar belum yakin bahwa Prabowo akan menanggalkan niatnya menggenjot belanja pemerintah demi membiayai berbagai program populisnya. Kebijakan fiskal semacam ini akan melambungkan defisit anggaran dan membahayakan keuangan pemerintah. 

Risiko besar akan menimpa pemegang obligasi pemerintah jika kesehatan fiskal pemerintah terancam. Inilah salah satu penyebab investor asing ramai-ramai menjual obligasi pemerintah. Sejak hasil hitung cepat menyatakan Prabowo memenangi pemilihan presiden hingga 27 Maret 2024, secara neto investor asing sudah melepas obligasi pemerintah senilai Rp 32,62 triliun. Jika tren ini terus berlanjut, kurs rupiah bisa merosot makin dalam. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gelagat Buruk dari Luruhnya Rupiah "

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus