Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengerukan pasir terjadi di Kabupaten Karimun.
Pemerintah setempat mengakui ada penambangan pasir ilegal.
Masifnya pengerukan sedimen laut bisa memperparah kerusakan ekosistem.
SETELAH dua pekan, perahu milik Sahar Jamahat akhirnya kembali menyentuh laut pada Ahad, 24 Maret 2024. Siang itu, Sahar bersama dua temannya, Muslim dan Indra, sesama nelayan asal Pulau Karimun Besar, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, menemani Tempo menyusuri pesisir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai aktivitas tampak ramai di sekitar Pulau Karimun Besar, dari pergerakan kapal tongkang pembawa batu granit untuk ekspor dan tanker minyak yang melabuhkan jangkar hingga reklamasi atau pengurukan pantai dengan pasir laut. Namun tidak terlihat kapal nelayan. "Nelayan tradisional memang tidak banyak lagi, mereka beralih kerja ke darat," kata Sahar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sahar, Muslim, dan Indra adalah beberapa nelayan pesisir yang tersisa. Perairan tempat mereka menjala ikan sudah berubah akibat kerusakan ekosistem di sekitarnya. Setiap tahun, Sahar mengungkapkan, jumlah tangkapan nelayan terus berkurang dan kini tingkat penurunannya sudah melebihi 50 persen dibanding satu dekade lalu. "Dulu dari menangkap udang bisa untuk membayar zakat fitrah bulan Ramadan, tapi sekarang untuk makan saja susah," ujarnya.
Kini perairan yang tersisa untuk nelayan menjala ikan ada di Pulau Asam dan Pulau Karimun Besar. Tapi dua wilayah itu sudah ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai lokasi pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi laut. Dengan kata lain, dua perairan itu bakal diramaikan kapal-kapal pengisap lumpur dan pasir laut yang sudah mengantongi izin pemerintah.
Kapal tongkang membawa batu granit hasil pertambangan yang terdapat di Pulau Karimun Besar, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, 24 Maret 2024. Tempo/Yogi Eka Sahputra
Sedangkan di sekitar perairan Pulau Babi, Sahar menunjukkan beberapa kapal yang sedang mengeruk pasir untuk pendalaman alur laut. Kapal-kapal itu bersandar di dermaga sebuah perusahaan galangan. Selain kapal penyedot pasir laut, ada kapal pengisap timah milik beberapa pengusaha tambang. "Biasanya pasir-pasir ini dibawa ke Selat Panjang untuk dijual sebagai bahan bangunan," tutur Sahar.
Perairan di Kepulauan Riau menjadi salah satu wilayah yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai lokasi prioritas untuk proyek pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi laut bersama Laut Jawa, Selat Makassar, serta perairan Natuna dan Natuna Utara. Menurut Kementerian Kelautan, potensi hasil sedimentasi laut di semua wilayah itu mencapai 17,64 miliar meter kubik. Di Kepulauan Riau, ada beberapa titik prioritas, seperti Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan.
Sahar mengakui pada awalnya tidak tahu Pulau Karimun Besar masuk zona pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi laut. "Kami tidak tahu. Kalau lihat peta itu, kawasan pepohonan bakau pun bakal disedot pula," ucapnya sambil melihat peta titik lokasi sedimentasi laut di Pulau Karimun.
Sebetulnya Sahar dan sejumlah nelayan lain sudah pernah mempertanyakan aturan pemanfaatan hasil sedimentasi laut yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2023 kepada petugas Pangkalan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karimun. Tapi permintaan sosialisasi yang mereka ajukan pada akhir 2023 sampai saat ini belum dikabulkan.
Karena itu pula kehidupan para nelayan kecil terus terancam. Menurut Sahar, banyak nelayan yang banting setir menjadi pekerja pabrik di sekitar kawasan Karimun. "Padahal kalau dihitung-hitung pendapatan dari melaut lebih besar daripada di perusahaan," katanya. Tapi Sahar dan para nelayan lain tak kuasa mencegah program pemerintah yang bakal merambah perairan tempat mereka mencari nafkah.
•••
BEBERAPA pohon kelapa di sepanjang Pantai Pongkar, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, tumbang dihantam abrasi. Ada juga pohon kelapa yang akarnya sudah tidak tertanam lagi di dalam pasir. "Abrasi makin parah, terjadi setiap tahun," ujar Putri, salah seorang warga Pongkar. Menurut dia, batu pemecah ombak tidak mempan menahan laju abrasi.
Pesisir Pantai Pongkar menjadi salah satu lokasi proyek pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi laut. Dulu pesisir Pantai Pongkar adalah lokasi penambangan timah. Lokasi lain adalah pesisir Pangke Barat. Jaiz, salah seorang nelayan setempat, bercerita bahwa permukaan laut di kawasan itu sudah turun sekitar 10 sentimeter. "Dulu pohon itu hanya ujungnya yang muncul, sekarang sudah tampak akarnya," ucap Jaiz sambil menunjuk ke arah pohon di area yang terlanda abrasi.
Sebagian nelayan Karimun masih bertanya-tanya, mengapa pemerintah menetapkan wilayah mereka sebagai lokasi proyek pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi laut. Padahal, menurut Bahar, seorang nelayan setempat, salah satu penyebab abrasi adalah penambangan pasir laut ilegal dan penambangan timah. "Itu saja sudah meresahkan, sekarang ada pembersihan sedimen laut," katanya.
Bahar mengatakan tidak tertutup kemungkinan aktivitas penyedotan sedimen seperti lumpur dan pasir laut akan mengurangi luas pulau-pulau kecil. Secara geopolitik, dia menuturkan, kondisi tersebut bisa berbahaya karena pulau-pulau kecil di sana menjadi tapal batas dengan Malaysia. "Pulau Karimun Kecil juga dijadikan lokasi pemanfaatan hasil sedimentasi laut. Kalau pulau itu menyusut, Indonesia akan rugi."
Pembina Koperasi Nelayan Desa Pongkar Kabupaten Karimun, Deny Hariyadi, mengatakan pernah ada sosialisasi dari dua perusahaan penambang pasir laut tentang rencana pemanfaatan hasil sedimentasi. "Tanggal 12 Januari lalu ada sosialisasi," tuturnya. Berdasarkan foto kegiatan yang ditunjukkan Deny, dua perusahaan itu adalah PT Cepuri Bintan Segara dan PT Sinergi Makmur Raya. "Tidak ada petugas Kementerian Kelautan waktu itu. Hanya ada polisi dan bos perusahaan itu," ucapnya.
Menurut Deny, perwakilan perusahaan meminta izin kepada masyarakat untuk memanfaatkan sedimen laut di Desa Pongkar. Dari peta yang dibagikan Kementerian Kelautan, area pesisir Desa Pongkar merupakan salah satu titik sedimen yang besar. Kepada nelayan, dua perusahaan itu menyampaikan bahwa sedimen laut berupa lumpur akan ditempatkan di pesisir kampung. Sosialisasi dilakukan untuk meminta nelayan menentukan pembuangan lumpur.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manoppo menyatakan sudah beberapa kali melakukan sosialisasi terbatas. Menurut dia, sosialisasi seperti yang dilakukan perusahaan di Kepulauan Riau adalah inisiatif sendiri, bukan arahan pemerintah. “Mungkin mereka mau jemput bola,” tuturnya pada 25 Maret 2024. Namun, Victor menambahkan, penempatan hasil penyedotan sedimen semestinya mengikuti aturan.
Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karimun Faizal membenarkan kabar bahwa ada penambangan pasir ilegal di perairan Karimun. Menurut dia, di wilayahnya ada tiga titik tambang pasir laut rakyat di sekitar Pulau Babi dan Pulau Setuban. "Sepertinya ada yang masih curi-curi menambang,” katanya. Faizal mengungkapkan, sampai saat ini lembaganya belum mendapat sosialisasi dari pemerintah mengenai penyedotan hasil sedimentasi laut.
Kepulauan Riau merupakan salah satu daerah eksploitasi pasir laut. Sejak 1976 sampai 2002, pasir dari perairan Kepulauan Riau dikeruk untuk keperluan reklamasi di berbagai wilayah, termasuk diekspor ke Singapura. Volume ekspornya bisa mencapai sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Karena aktivitas itu, kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Parid Ridwanuddin, banyak pulau kecil di Kepulauan Riau yang rusak dan nyaris hilang terkikis abrasi.
Parid mengatakan penerbitan regulasi tentang pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi laut bakal merugikan masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional. Menurut dia, regulasi yang digadang-gadang disusun untuk menata wilayah laut hanyalah praktik bluewashing atau kegiatan manipulatif yang seolah-olah menampilkan komitmen pengelolaan laut dengan wawasan lingkungan. Penyedotan sedimen seperti pasir laut, Parid mengungkapkan, bakal berdampak kerusakan alam dan ekosistem di dalamnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yogi Eka Sahputra dari Kepulauan Riau berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hingga Pohon Tampak Akar"