SETELAH 30 tahun lebih melinting, rokok, Gudang Garam kini melirik ladang bisnis di luar "tembok"-nya. Dari "kerajaannya" yang berdiri kukuh di atas tanah seluas 182 hektar di jantung Kota Kediri, Jawa Timur, tangan-tangan GG mulai memasuki bisnis perbankan, perhotelan, dan taman rekreasi. Bermula di Surabaya, pertengahan Januari lalu, GG mengumumkan berdirinya Bank Sumber Dana (BSD). Sebelumnya, akhir Desember 1988, di kawasan yang sejuk di Tretes, sebuah hotel berbintang empat mulai dibangun, juga oleh GG. Di Kediri, sebuah hotel telah dibeli dan akan direnovasi. Di kawasan wisata Koa, Kediri, GG akan segera membangun Taman Rekreasi Tirtoyoso. "Kebangkitan" GG merupakan fenomena yang menarik. Sejak didirikan almarhum Surya Wonowidjojo pada 1958, GG terkenal konservatif dalam mengembangkan sayapnya. Menghadapi persaingan bisnis rokok yang semakin "berasap", GG tampak enggan mengambil risiko. "Begitu pesan orang tua dulu," ujar Halim setahun lalu pada TEMPO. Kesan takut "keluar" semakin tampak ketika pada 1985 pesaing terdekatnya, Djarum Kudus, melewatinya dalam angka penjualan. Ini pukulan telak setelah pada 1983 dengan produksi di atas 26 milyar batang, GG menguasai 49 persen pangsa pasar rokok -- dan memimpin angka penjualan rokok jauh di depan pesaingnya. Maka, mereka hanya melakukan diversifikasi terbatas -- ke pabrik kertas rokok dan percetakan pembuat bungkus rokok. Banyak ekonom, di antaranya Christianto Wibisono dari Pusat Data Bisnis Indonesia menganggap GG belum berani untuk diversifikasi ke luar bidang rokok. Sampai kapan? "Sekarang inilah waktu yang tepat," kata Presiden Direktur Rachman Halim, 41 tahun, seolah memproklamasikan "kebangkitan" manajemen GG, Jumat pekan lalu. Big Boss -- begitu kolektor mobil antik ini dijuluki karyawannya perusahaan dengan aset Rp 1,1 trilyun ini rupanya bertekad menunjukkan bahwa GG tak hanya mampu melinting rokok. Memegang tampuk pimpinan sejak 1985, Halim mulai memberi "warna" lain pada perusahaannya. Ia berani melirik bidang-bidang yang dulu "tabu" buat GG. BSD, misalnya. Ketika GG pada 1983 membeli sahamnya seharga Rp 44 juta, statusnya masih bank pasar dengan 20 karyawan. Untuk menjalankan BSD, GG memasok Rp 400 juta, dan pada awal 1989 dengan cepat asetnya berkembang menjadi Rp 22 milyar. Dengan kemudahan yang ditawarkan Pakto, GG akhirnya menaikkan status bank pasar itu menjadi bank umum, pertengahan Januari lalu. "Setelah operasi setahun, kami targetkan asetnya menjadi Rp 80 milyar," ujar Kentjana Widjaja, Wakil Presiden Komisaris BSD. Apalagi bagi GG tentu tak sulit mencari nasabah. Sekitar 40 ribu distributor dan agen pemasaran GG adalah nasabah yang sudah di depan mata. Sekarang saja BSD sudah menyalurkan kredit Rp 16 milyar, dan berhasil menghimpun dana masyarakat sekitar Rp 17 milyar. Karyawan pun bertambah menjadi 68 orang. Ladang lain yang dimasuki GG adalah perhotelan. Diam-diam, akhir Desember lalu, di tempat peristirahatan sejuk Tretes Pasuruan, sudah dimulai pembangunan Hotel Surya Raya Indah (HSRI). Dengan investasi Rp 8 milyar lebih, hotel ini akan punya fasilitas sebagai hotel bintang empat. Berdiri di atas tanah seluas tiga hektar, HSRI memiliki 110 kamar dan 12 cottage. HSRI dan juga BSD dikelola di bawah bendera PT Surya Raya Indah. Rencananya, mereka akan mendirikan hotel-hotel mewah di daerah wisata lain, seperti Bali dan Lombok. "Surya Raya Indah memang berorientasi membangun hotel-hotel bintang empat," ujar Sudhamek A.W.S., staf direksi GG. Di Kediri, GG sudah membeli Hotel Merdeka dari biro perjalanan Natour seharga Rp434 juta. Dengan suntikan Rp450 juta, hotel ini akan dipercantik. "Biar tak malu kalau ada pejabat dan menteri yang menginap di Kediri," ujar Rachman Halim. Dikelola di bawah PT Surya Wisata, hotel itu akan menjadi semacam guest house untuk tamu-tamu GG, selain juga untuk umum. Selain menangani Hotel Merdeka, PT Surya Wisata juga bekerja sama dengan Pemda Kediri, membangun sebuah taman rekreasi. GG sudah memasok Rp 10 milyar untuk taman seluas sembilan hektar di daerah Koa, Kediri. Kelak di Besuki, ada niat GG untuk membangun wisata hutan berareal 75 hektar. Kendati sifatnya sosial, "kita berusaha agar taman rekreasi ini tak jadi benalu," kata Sudhamek. Apa tak merepotkan bisnis rokoknya? "Justru kita melangkah setelah merasa mantap di rokok," tutur Rachman Halim. Agaknya Halim merasa aman, karena produksi GG kini jauh melambung. Pada 1986 GG melinting 33,5 milyar batang -- meninggalkan Djarum Kudus dengan selisih 10 milyar batang lebih. Pada 1987, melonjak jadi 40,5 milyar batang, dan terus menanjak sampai 41,6 milyar batang di akhir 1988. Sumbangan cukai naik dari Rp 393 milyar di tahun 1987 menjadi Rp 409 milyar pada 1988. Sementara itu, diversifikasi usaha di sektor rokok juga terus jalan. Maret depan, pabrik kertas rokok PT Surya Zig-Zag di Kediri akan diresmikan pengoperasiannya. Berkapasitas 6 ribu ton, pabrik ini dibangun dengan investasi US$ 51,5 juta atau sekitar Rp 83 milyar -- dengan Rp 25 milyar dana pinjaman bank. Mengapa baru sekarang GG "bergerak"? Halim mengutip sebuah filosofi kuno, "Belajar berdiri dulu, lalu berjalan, baru berlari."Toriq Hadad dan Jalil Hakim (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini