HUKUM ekonomi itu berulang: bila permintaan meningkat dan suplai kurang, maka harga membubung. Dalam hal ini yang naik daun adalah tenaga profesional perbankan. Mereka bukan saja bisa pasang harga tinggi, tapi juga berpeluang memilih lahan yang dianggap paling cocok. Dampak samping persaingan merebut tenaga profesional itu adalah bajak-membajak karyawan. Soalnya, di republik ini, tenaga profesional bidang perbankan masih sukar dicari. Untuk menggaetnya tentu harus lewat kompetisi. Yang paling waswas adalah para bos yang tak berani memberi harga lebih tinggi. Sewaktu-waktu, karyawannya yang andal bisa saja diserobot oleh para pesaing yang modalnya lebih kuat. Abdulgani, Ketua Perbanas dan Dirut Bank Duta, sudah mencium gelagat tak sedap itu. Katanya, "Kami sudah mengimbau agar anggota tak saling membajak pegawai." Alasannya: tindakan itu merusakkan hubungan antarbankir. Tapi bagaimana kalau justru sang karyawan yang menawarkan diri? "Itu bukan pembajakan," ujar Hiskak Secakusuma, Presdir Bank Umum Pembangunan Jaya. Menurut Secakusuma, pihaknya tak pernah membajak meski tak menolak tenaga pindahan dari bank lain. Hal ini baginya wajar saja karena setiap orang berhak untuk memburu gaji lebih tinggi. Lagi pula, menurut Seca, selama bukan pihak bank yang mengajak, maka berpindahnya karyawan tak bisa dianggap sebagai pembajakan. Sebaliknya, tenaga profesional itu sendiri juga suka "loncat pagar" karena tergiur gaji yang lebih tinggi. Sejumlah pegawai bank pemermtah golongan menengah menyatakan, dirinya siap dibajak asalkan ada tawaran lebih menggiurkan dari bank-bank swasta. Ini dikemukakan oleh harian Bisnis Indonesia, 27 Januari berselang. Alasan mereka: "Peluang menduduki posisi manajer di bank swasta lebih terbuka." Memang, "loncat pagar" adalah jalan pintas yang paling populer. Mereka tak perlu menunggu terlalu lama, untuk naik gaji atau naik pangkat. Ada anekdot tentang ini, yang berbunyi "Makin sering melompat, makin banyak rezeki di tangan." Jadi, jangan heran kalau orang semacam Haryono, manajer pemasaran Bank Sumber Dana (BSD), sebelumnya pernah bekerja di dua bank -- Bank Pinaesan dan Bank Rama. Alasan dia menclok di BSD sangat realistis. "Di belakang BSD ada orang kuat," katanya enteng. BSD adalah anak perusahaan PT Gudang Garam. Kabarnya, BSD berkembang pesat setelah memberikan posisi-posisi penting pada orang semacam Haryono. Sejak tahun 1983 ketika dibeli dari PT Bangkit, aset BSD melonjak dari Rp200 juta menjadi Rp20 milyar, dengan nasabah 5.000 orang. Bank Agung Asia (BAA), yang beberapa bulan lalu dibeli oleh grup Suma, lain lagi. Cuma satu tenaga direktur yang berasal dari bank lain. Selebihnya direkrut oleh Edward Soeryadjaya, dari anak-anak perusahaan di lingkungannya sendiri: Astra Group. Boleh dibilang semua bank punya program untuk peningkatan kemampuan karyawan. Sayangnya, seperti kata Abdulgani, "Kebutuhan tenaga yang melesat membuat banyak bankir jadi lebih suka memanen tanaman orang lain." Karena terdesak, STIE-Perbanas, misalnya, sampai merelakan sebagian mahasiswa tingkat akhir untuk bekerja. Dalam upaya mencetak tenaga profesional baru, telah pula berdiri kampus Sekolah Tinggi Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STKPI) di seberang Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. "Kelak juga akan dibangun kolam renang, lapangan tenis, dan asrama," ujar Abdulgani, salah seorang bos Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (Yapindo), yang sejak dua tahun lalu mengambil alih STKPI dari Yayasan Pawiyatan Jakarta. Sasaran Yapindo ialah mengisi kekurangan tenaga perbankan kelas menengah, karena tenaga di tingkat itulah yang dewasa ini jadi ajang pembajakan paling seru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini