Untuk menggantikan 35% film asing yang dipangkas, dibutuhkan dana berlipat ganda. Tapi kalau mau bermutu, TVRI juga harus diberi kebebasan dalam menentukan program. NAHDLATUL Ulama (NU) kembali ke "Khittah" 1926, sedangkan TVRI kembali ke pedoman sebelum Oktober 1990. Mungkin, itulah ungkapan yang pas bagi TV pemerintah yang terhitung 1 April 1991 mengurangi penayangan film-film asing sebanyak 35%. Berbeda dengan NU yang kembali ke "khittah" setelah melalui proses panjang, TVRI justru melakukan apa yang disebut militer sebagai "pendadakan". Sejak Oktober 1990, TVRI menggebrak secara mencengangkan. Untuk menyaingi munculnya TV swasta yang sarat film impor, TVRI memutuskan untuk memperbanyak pemutaran film lepas asing. Sejak itu, dalam sepekan pemirsa bisa menikmati lima film asing, yang mutunya lumayan dan disebut sebagai film lepas. Dan ini berada di luar acara film asing yang serial. Sambutan penonton memuaskan. Lalu, mengapa TVRI sekonyong-konyong kembali ke gaya masa lampau yang sungguh menjemukan? Menurut sumber TEMPO, perubahan ini hanya kegiatan rutin yang biasa dilakukan TVRI. Di samping itu, TVRI juga berniat menampilkan lebih banyak produksi dalam negeri yang berkualitas tinggi. Namun seorang pejabat pemerintah mengatakan lain lagi. Menurut si empunya cerita, kebijaksanaan ini diambil berdasarkan instruksi langsung dari Dirjen RTF. Entah apa alasannya. Yang pasti, kini pemirsa hanya bisa menikmati empat film lepas asing dalam sepekan. Sedangkan film seri impor, pemutarannya dikurangi hanya menjadi empat malam -- sebelumnya lima malam dalam sepekan. Persoalan yang muncul kemudian adalah, acara pengganti film-film lepas itu. Masalahnya jelas sudah, membuat produksi lokal bukanlah perkara mudah. Biayanya saja -- untuk sebuah sinetron yang bermasa putar satu jam -- bisa sampai Rp 40 juta. Bahkan ada yang lebih mahal, seperti sinetron Tuanku Tambusai yang menghabiskan biaya sampai Rp 170 juta. Begitupun sinetron Siti Nurbaya -- yang dibuat tiga episode -- membutuhkan dana sekitar Rp 100 juta untuk setiap episode. Jadi, kalau dibandingkan dengan biaya pengadaan film impor -- yang hanya berkisar 2.000-3.000 dolar untuk film seri, dan 20 ribu dolar untuk film lepas -- produksi lokal jauh lebih mahal. Sebetulnya, bisa saja TVRI tidak memproduksi sendiri, tapi membeli film-film yang sudah jadi dan (tentu saja) sudah diputar di bioskop. Ternyata, film yang sangat terlambat ini pun, tidak lebih murah ketimbang sinetron yang dibuat sendiri. Harganya mencapai Rp 60 Rp 70 juta. Memang, ada juga yang berharga Rp 6 juta Rp 7,5 juta. Namun, seperti dikemukakan "orang-orang film", uang sebesar itu hanya bisa untuk membeli film yang sudah berusia di atas 5-6 tahun. Tapi, mengapa film yang dibuat sendiri tidak bisa ditekan biayanya oleh TVRI? Ada yang menuding proses pembuatan sinetron selalu memakan waktu panjang, hingga biayanya lebih besar. Ada yang menduga karena awak TVRI tidak efisien dalam bekerja. Tapi anehnya ada yang berdalih karena sebuah sinetron yang sudah diputar di TVRI, tidak akan laku lagi dijual di bioskop. Nah, kalau begitu, TVRI hanya mempunyai dua pilihan. Pertama, membuat produk lokal dengan biaya seadanya, yang berakibat kualitasnya pas-pasan saja. Kedua, membuat/membeli produk yang berkualitas, dengan biaya yang lebih mahal. Pilihan simalakama, memang. Sementara itu, Alwi Dahlan, pengamat acara-acara TVRI, berpendapat, kebijaksanaan mengurangi film impor itu, bagus-bagus saja. Sebab, produk lokal berkesempatan lebih banyak tampil. Apalagi terbukti, tidak semua film impor bermutu. Hanya saja, kendalanya terletak pada tersedia atau tidaknya sumber daya manusia dan dana. Kalau TVRI membuat poduknya secara borongan, seperti yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu, akibatnya akan menghasilkan produk yang membosankan penonton. "Makanya dulu kita sering mengkritik acara-acara TV," kata Alwi. Suara senada dikemukakan Eros Djarot, produser film Langitku Rumahku yang ketiban sial itu. Yang dibutuhkan TVRI, kata Eros, bukan hanya dana dan manusia kreatif. Dana masih bisa diatasi, misalnya dengan menaikkan iuran televisi. "Saya kira, kalau disetujui DPR, masyarakat tidak akan keberatan kalau iurannya dinaikkan Rp 200 Rp 250. Asal, TVRI menyuguhkan acara yang bagus-bagus," ujarnya. Atau, jika dana sulit diperoleh, mengapa tidak memberi izin pada TVRI untuk beriklan-ria seperti yang kini dinikmati oleh TV swasta? Jadi, uang bukan masalah. Begitupun sumber daya manusia yang kreatif. Lantas, kendala apa yang menghambat munculnya acara berkualitas? Jawab Eros, "kebebasan". Maksudnya, kebebasan dalam berkreasi. Soalnya, selama ini TVRI belum bebas menentukan programnya sendiri. Beberapa waktu lalu, ketika Eros akan diwawancarai tentang Langitku Rumahku, tiba-tiba saja rencana wawancara itu dibatalkan. "Dan saya yakin itu bukan karena Ishadi," tuturnya merujuk kepada Direktur Televisi. Karena sebab yang sama pula, dia enggan membuat sinetron untuk TVRI. "Saya tidak mau program saya dibatalkan, hanya karena telepon," ujar Eros. Di pihak lain diakuinya, kebijaksanaan mengurangi film impor bukan tak ada manfaatnya. Paling tidak, membuka peluang lebih banyak bagi film-film nasional untuk tampil di layar kaca. "Policy ini menunjukkan sebuah kemajuan bagi TVRI, sekaligus tantangan bagi insan film untuk membuat film-film bermutu," katanya kepada Sri Indrayati dari TEMPO. Benarkah? Kalau betul salah satu ganjalan terletak pada terbatasnya kebebasan dalam berkreasi, kembali ke film nasional tidak otomatis membuka peluang bagi lahirnya film bermutu di layar TVRI. Jadi, buah simalakama lagi? Budi Kusumah, Sugrahetty Dyan, Bambang Sujatmoko, dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini