Kejaksaan Bitung dipersalahkan karena menahan nakhoda asing dan menyita kapalnya. Tapi kejaksaan tak mempedulikan putusan itu. LEMBAGA praperadilan, yang dilahirkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) untuk mengontrol instansi penyidik dan penuntut, semakin tak berwibawa. Buktinya sampai pekan ini, kapal Taiwan MV Lian Yi Sen dan nakhodanya, Liem Cien Cu, 25 tahun, tak juga diperkenankan kejaksaan setempat meninggalkan pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Padahal, Selasa pekan lalu, hakim di Pengadilan Negeri Manado S.P.B. Roeroe memutuskan penahanan sang nakhoda dan penyitaan kapal tersebut tak sah. Bahkan lewat keputusan praperadilan itu, hakim menghukum Kejaksaan Negeri Bitung membayar ganti rugi Rp 1 juta karena menahan Liem selama sebulan. Kasus praperadilan "laut" yang pertama kali di wilayah Sul-Ut ini bermula dari informasi penelepon gelap ke Kejaksaan Negeri Bitung. Menurut si penelepon, pada 20 Februari 1991, Lian Yi Sen akan menyelundupkan 8 ton ikan hiu, yang berasal dari perairan Indonesia, ke Taiwan. Info itu, tentu saja, mengejutkan. Sebab, sejak bersandar di pelabuhan Bitung pada 7 Februari 1991, kapal itu dinyatakan tak bermuatan apa pun. Hal itu sesuai pula dengan laporan agen kapal tersebut, PT Dewi Fortuna Griya Indah (DFGI), kepada Syahbandar dan Inspeksi Bea Cukai Bitung. Maka, hari itu juga, tim operasi intel kejaksaan meluncur ke lokasi Lian Yi Sen. Benar saja. Di perut kapal yang berperalatan canggih itu, petugas menemukan ikan tadi, yang diawetkan di bawah lapisan es setebal 75 cm. Namun, entah mengapa, baru pada 2 Maret, kejaksaan menyita kapal tersebut. Kejaksaan juga menjebloskan Liem, yang hanya bisa berbahasa Mandarin, ke tahanan Rutan Manado. Sementara itu, izin penyitaan dari pengadilan dan surat penahanan Liem baru muncul pada 4 Maret 1991. Menurut kejaksaan, hal itu terjadi lantaran jauhnya jarak Bitung-Manado (50 km), sementara Lian Yi Sen dikabarkan akan segera "cabut" dari Bitung. Tindakan kejaksaan itu diprotes PT DFGI. Melalui Pengacara S. Tanusubroto dan Ali H. Kiaidemak, PT DFGI mempraperadilankan kejaksaan. Menurut PT DFGI, tindakan kejaksaan terhadap kapal milik mitra bisnisnya di Taiwan, Tung An International Fishery, itu tidak sah. Sebab, selain penggeledahan kapal itu tanpa izin pengadilan, penahanan Liem juga tak diberitahukan ke perwakilan Taiwan di sini. Lagi pula, kata kedua pengacara PT DFGI, Lian Yi Sen sudah diizinkan menangkap ikan di perairan Indonesia Bagian Timur (IBT). Berdasarkan itu semua, PT DFGI menuntut kejaksaan membayar ganti rugi Rp 871 juta. Hakim S.P.B. Roeoroe ternyata sependapat bahwa penyitaan kapal itu dan penahanan Liem tidak sah. Selain itu, menurut hakim, dalam perkara di lingkungan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang berhak menyidik adalah perwira TNI AL. Artinya, bukan kejaksaan. Karena itu, kejaksaan dihukum membayar ganti rugi Rp 1 juta, dengan hitungan Rp 30 ribu per hari selama ditahan. Liem, yang mengaku rindu pada istri dan dua anaknya di Taiwan, tentu saja senang. Namun, itu tadi, kemenangannya ternyata tak banyak berarti karena hingga kini Liem, yang sudah dibebaskan dari Rutan pada Selasa itu, masih tertahan di Bitung. Sebab, kapalnya masih berstatus sitaan kejaksaan. Menurut Sekretaris Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Murni Rauf, kejaksaan masih menahan Lian Yi Sen karena kapal itu diduga keras melakukan penyelundupan. "Kalau pelanggaran undang-undang perikanan, memang penyidiknya perwira TNI AL, yang ditunjuk Pangab. Tapi kasus ini dicurigai sebagai penyelundupan," kata Murni kepada wartawan TEMPO Bambang Sujatmoko. Maka, kata Kepala Humas Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Nyonya T. Mokodompit, kejaksaan juga mengajukan banding atas keputusan praperadilan tadi. Sebab, "Vonis itu cacat. Ini kan tindak pidana ekonomi, bukan tindak pidana dalam ZEE," ujar Nyonya Mokodompit kepada Phill M. Sulu dari TEMPO. Kalau demikian, buat apa ada lembaga praperadilan yang dianggap sebagai primadonanya KUHAP?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini