Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Semua demi petani, tapi....

Andaikata penyertaan modal KUD di BPPC diserahkan seluruhnya, pemerintah tak perlu menyalurkan KLBI baru yang sebesar rp 74 milyar itu. adakah hak BPPC menahan dana tersebut?

16 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA pekan ini, cerita tentang tata niaga cengkeh tetap menjadi topik pembicaraan yang tidak membosankan. Di coffe shop, jamuan makan malam, atau di banyak klab tempat para pengusaha melapas penat. Apalagi sejak tiga berita hangat, muncul berturutan pekan lalu. Dimulai dari soal dana KUD yang baru Rp 36 milyar diserahkan oleh BPPC, disusul KLBI Rp 74 milyar yang pekan lalu dicairkan untuk KUD, hingga diskusi ekonomi yang ditayangkan RCTI Jumat silam. Tak ayal lagi, gunjingan tentang si emas cokelat kian ramai dan seru. Semula, adalah berita tentang Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang dipimpin Hutomo Mandala Putra. Ternyata, BPPC belum juga menyerahkan seluruh dana yang sudah disepakati menjadi bagian KUD. Hingga pekan ini, BPPC menyerahkan Rp 36 milyar, padahal bagian KUD -- berupa penyertaan modal di BPPC yang dipungut Rp 1.000 dari setiap penjualan cengkeh total -- berjumlah Rp 120 milyar. Apa yang terjadi sehingga BPPC menahan dana KUD? Adakah badan swasta itu masih mempunyai hak menahan milik KUD, sementara sebagian besar fungsi penyangga tak lagi berada di pundaknya? Itulah tekateki yang membuat pengusaha dan pengamat penasaran. Ternyata, Hutomo yang akrab dipanggil Tommy, telah siap dengan jawaban. Dia tidak menyinggung hak BPPC untuk menahan dana milik KUD. Yang ditekankannya adalah penyerahan dana ke KUD sengaja dicicil karena BPPC sudah bertekad untuk memberikannya secara bertahap. "Fee milik KUD itu akan kami berikan sesuai dengan kebutuhan," katanya. Ini bukan karena BPPC tak punya dana. "Seluruhnya, kelak akan kami berikan," janji Tommy. Karena bisnis tak cukup dengan janji, banyak petani merasa plong, ketika diberitakan bahwa mulai pekan ini, KUD-KUD akan menerima suntikan KLBI (Kredit Likuiditas BI) sebesar Rp 74 milyar. Keputusan ini, khususnya mengagetkan para pengamat. Ada apa? Mereka tidak mempersoalkan tentang KUD yang akan menjadi penikmat kredit berbunga 19% itu. Sebagai lembaga koperasi yang anggotanya terdiri dari para petani, wajar sekali bila KUD menikmati fasilitas KLBI. Yang justru dipersoalkan adalah: mengapa pemerintah harus kembali mengorbankan KLBI, sementara BPPC (yang juga telah menikmati fasilitas itu sebesar Rp 759 milyar) diperbolehkan mengulur-ulur penyerahan dana hak KUD. Berita kian mencuat, ketika RCTI menayangkan acara Aneka Dialog, Jumat pekan lalu. Dalam acara diskusi membahas tata niaga cengkeh ini, muncul wajah-wajah yang sudah sangat dikenal. Ada Ketua BPPC Tommy Soeharto, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kumhal Djamil (sekaligus menjabat sebagai Ketua Badan Cengkeh Nasional), pengamat ekonomi yang cukup vokal Kwik Kian Gie, dan "seteru utama BPPC", yakni Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (Gappri), Soegiharto Prajogo. Diskusi yang dipandu Chris Kelana ini berlangsung lancar dan memikat. Maklum, diskusi menghadap-hadapkan empat pihak yang mewakili kepentingan berbeda. Beberapa isu yang sebelumnya kurang mendapat sorotan tajam, seperti stok cengkeh yang menggunung, posisi pedagang cengkeh, dan penyelundupan cengkeh Zanzibar, justru dipersoalkan. Peran KUD dan harga yang selalu menukik di bawah harga patokan juga tak luput dari ulasan. Bicara tentang harga, suka tak suka akan menuju ke masalah stok yang melimpah. Menurut Tommy, ada dua hal yang menyebabkan angka stok menjadi begitu besar. Di gudang-gudang BPPC, kini tertimbun 160 ribu ton cengkeh. Kenapa? Pertama karena panen selalu melimpah. Untuk tahun ini saja, panen cengkeh diperkirakan akan mencapai 80 ribu ton. Jika ditambah dengan stok BPPC, maka usai panen (Agustus 1992) akan tersedia cengkeh sebanyak 240 ribu ton. Bila para produsen kretek tidak membeli cengkeh sesuai dengan proyeksi, stok tahun depan akan membengkak. Menurut Kumhal Jamil, tahun lalu pabrik rokok diperkirakan mampu menyerap 85 ribu ton. Ternyata yang dibeli hanya 35 ribu ton. Bahwa proyeksi bisa meleset jauh, tak pula sulit dicari penyebabnya. "Siapa pun yang diberi tugas menyangga, jika keadaan supply dan demand seperti itu, tetap akan menanggung stok 160 ribu ton, seperti yang ditanggung BPPC saat ini," Tommy cepat menangkis. Lain lagi sudut pandang Gappri. Yang dipersoalkan Soegiharto Prajogo adalah asal muasal munculnya stok cengkeh yang begitu besar. Kendati tidak diucapkan secara langsung, Gappri mensinyalir dalam stok tersebut terdapat cengkeh Zanzibar yang diselundupkan para pedagang dari Singapura ke Indonesia (baca Dari Mana Datangnya Stok). Terlepas dari perdebatan di layar RCTI, Puskud dan Inkud kini bersiapsiap menyambut panen cengkeh. Persiapan itu mencakup dana hingga sarana-sarana yang dibutuhkan, seperti gudang dan alat penguji mutu."Seluruhnya sudah kami siapkan," kata Subiakto Tjakrawerdaja, Dirjen Bina Usaha Koperasi. Dana pun tak lagi menjadi masalah, karena ada KLBI dari BRI. Di Aceh saat ini panen sudah selesai dan menghasilkan 800 ton. Karena itu, KUD-KUD di sana untuk sementara menggunakan dana Bulog sebesar Rp 2 milyar. Pinjaman tersebut, kata Subiakto, akan dilunasi pekan ini juga setelah KLBI dari BRI cair. Agaknya, pembelian cengkeh petani kali ini akan lebih lancar dan merata, dengan petani kecil diprioritaskan. Ini dijanjikan Subiakto. Sementara itu, cengkeh milik perkebunan negara dan swasta (yang jumlahnya kurang dari 20% dari total panen) akan dibeli kemudian. Namun, petani tidak bisa menjual seenaknya. Mereka hanya bisa menjual cengkeh sesuai dengan jumlah pohon yang dimiliki. Jika petani memiliki 500 pohon, ia hanya boleh menjual tak lebih dari lima ton cengkeh kering. Ini berdasarkan asumsi, setiap batang pohon cengkeh hanya menghasilkan 10 ton. Data tentang itu, kata Subiakto, akan dicatat dalam kartu anggota KUD yang dimiliki petani. "Ini untuk meyakinkan bahwa yang dibeli benar-benar cengkeh hasil panen petani," katanya. Apa kata petani? Di Sulawesi Utara, banyak petani meragukan sukses kebijaksanaan tata niaga baru cengkeh. Memang, dalam setiap regulasi selalu disebutkan bahwa tujuan utama adalah memperbaiki nasib petani. "Kenyataannya, kami lebih banyak dirugikan ketimbang diuntungkan," ujar F. Rompas, petani cengkeh di Minahasa. Dan masih ada hal lain yang membuat petani berkecil hati. Keharusan menabung sebesar Rp 1.900 plus dan menyertakan modal ke KUD sebesar Rp 2.000 dari tiap kilogram cengkeh yang dijual terasa cukup memberatkan. Karena, rupiah yang mereka terima akhirnya hanya Rp 4.000. Dan itu hanya sedikit di atas harga yang berlaku sekarang (Rp 2.500 Rp 3.000 per kilo). Memang, pemerintah berjanji bahwa penyertaan modal dan tabungan kelak akan dikembalikan pada petani. Tabungan akan dikembalikan setelah Puskud menjual cengkehnya. Sementara itu, penyertaan modal akan dikembalikan berupa pembagian sisa hasil usaha. Ini berarti, uang itu baru akan masuk ke kocek petani tiga tahun kemudian, setelah stok BPPC habis dan Puskud menjual stoknya. Namun, karena masih lama dan masih ada kemungkinan berubah, "Kami menganggap itu sebagai uang besar yang hilang," ujar seorang petani dari Karawang. Jika langkah petani masih tampak limbung, langkah yang diayunkan BPPC sebaliknya, mantap. Kini setelah 11 cabangnya ditutup dan digantikan Puskud/Inkud, BPPC wajib menyerap cengkeh 26 ribu ton saja. Selain itu, cengkeh BPPC tetap akan dijual lebih dahulu dengan harga lama (Rp 12.500 Rp 13.000 per kilo). Mungkin karena itu pula, kendati belum bisa melunasi utang pokoknya, BPPC masih mampu membayar bunga KLBI yang merupakan kewajibannya setiap bulan. Budi Kusumah, Ardian Gesuri, dan Asdar Muis RMS (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus