PEKAN ketiga April, sekitar dua pekan sesudah tata niaga cengkeh mengalami perombakan, Ketua BPPC Hutomo Mandala Putera akrab dipanggil Tommy menerima wartawan TEMPO Ahmed Kurnia dan Bambang Sujatmoko untuk sebuah wawancara. Dalam kesempatan ini, Tommy mengawali tanya jawab dengan penjelasan panjang lebar mengenai banyak hal sekitar cengkeh. Tak lupa ia menyesali para pakar ekonomi yang bicara macam-macam, padahal mereka dianggapnya tidak memahami masalah itu sampai ke detail. Petikan wawancara itu: Berapa stok BPPC sekarang? Setiap hari berubah terus. Sampai akhir Maret kurang lebih 155.000 ton. Sampai akhir tahun 1991, 168.000 ton. Ini yang dikemukakan di DPR dan seminar-seminar. BPPC, yang semula menargetkan stoknya akan segera diserap pasar, ternyata baru bisa menjual sekitar 30.000 ton. Apakah Anda tidak melihat BPPC gagal? Nggak gagal dong, tujuan kita kan memang ke sana. Alternatif pertama, pemusnahan, tidak diterima. Maka, alternatif berikutnya dengan sistem yang baru ini, yang merupakan usul BPPC sendiri. Dari Rp 7.900 yang seharusnya diterima petani, hanya Rp 4.000 murni untuk petani. Yang Rp 3.900 diberikan ke Inkud, yaitu Rp 2.000 berupa dana penyertaan petani di Inkud, yang Rp 1.900 berupa simpanan wajib khusus petani di KUD-nya. Tapi, bila usul kami yang kedua yakni konversi tidak dijalankan, ya masih diragukan, kapan stok akan habis dijual. Diperkirakan, stok BPPC pada tahun 1992 akan berkurang dengan 44.000 ton, hingga tersisa 124.000 ton. Dengan demikian, BPPC akan bisa mengembalikan sebagian KLBI (KLBI yang dipinjam BPPC seluruhnya Rp 759 milyar. -- Red.). Dengan panen tahun 1993 yang diperkirakan cuma 56.000 ton, stok BPPC diperkirakan berkurang 50.000 ton menjadi 74.000 ton. Nah, yang 74.000 ton ini diharapkan bisa dijual habis oleh BPPC pada tahun 1994. Dengan sistem BPPC yang sekarang, biaya penyanggaan akhirnya ditanggung pabrik rokok. Kalau pabrik rokok mau harganya lebih murah, ya, bantulah mempercepat konversi dan diversifikasi. Begitu juga dengan petani. Kalau mau yang Rp 1.900 cepat diterima kembali, ya, konversi harus segera dilaksanakan. Sehingga, stok cengkeh di Inkud yang pada akhir tahun 1993 diperkirakan tinggal 80.000 ton bisa dijual secepatnya. Jadi, prioritas penjualan diberikan pada stok cengkeh BPPC, sementara stok Inkud disimpan dulu? Ya. Dan Inkud diprioritaskan di lapangan, sebagai cabang BPPC di Aceh dan Indonesia Timur -- semua di luar 14 produsen utama. Apakah karena kemampuan membeli BPPC sudah menipis? Bukan. Untuk mempermudah sistem pengadaannya. Dana yang kita berikan pada Inkud ditransfer ke Puskud, lalu dari Puskud ke KUD dengan mengeluarkan bilyet giro. Begitu juga KUD kepada petani anggotanya. Dengan demikian, pengiriman arus dananya jelas dan dari segi pengawasan akan lebih memudahkan bagi kita. Ini untuk melimitasi pedagang-pedagang yang hanya ingin memanfaatkan kesempatan. Sejak BPPC berdiri, banyak perubahan yang bersifat sepotong-sepotong, misalnya aturan yang mengikat pembelian cukai dengan cengkeh. Tak terkesan ada planning yang terencana baik. Ya, tata niaga seperti ini belum pernah dilaksanakan sebelumnya di Indonesia atau di seluruh dunia. Jadi, tak mungkin berjalan langsung sempurna, tapi harus berjalan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di lapangan. Apakah penyelundupan cengkeh juga merupakan masalah, di samping adanya oversupply cengkeh? Masalah sekali sih, nggak. Kalau dulu memang besar. Menurut Gappri, dulu 10.000-20.000 ton diselundupkan tiap tahun. Kalau melihat perhitungan BPPC, tahun 1991 tidak sampai sebesar itu. Disinyalir, masuknya selundupan bukan dari Sumatera atau Kalimantan, tapi melalui Sulawesi. Dari Tawao. Pedagangpedagang dari Sulawesi membawa rotan ke sana, pulangnya membawa cengkeh. Ada yang menduga, mungkin Anda dimanfaatkan oleh orang-orang sekeliling, juga teman-teman. Misalnya saja, dalam kaitan dengan penyelundupan cengkeh. Sukar dibuktikan, memang, apalagi dengan reputasi seperti yang dipunyai Tjia Eng Tek. Saya rasa itu pemikiran yang dangkal, yang sepintas, tidak mendalami masalah yang sebenarnya. Saya tahu cengkeh Eng Tek ada 20.000 ton di Singapura dan masih ada sampai sekarang. Itu bisa dilihat dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan ada juga cengkeh yang tidak bisa dijual lagi. Saya rasa itu tidak akan diselundupkan ke Indonesia. Kalaupun ada yang bilang begitu, itu hanya praduga. Tjia Eng Tek menyetok cengkeh untuk apa? Ya, dengan proyeksi, cengkeh Indonesia banyak yang mati, kena hama dan diberitakan sudah habis tahun 1994. Bahkan tahun 1992 dan 1993 diperkirakan cengkeh Indonesia sudah habis dan butuh impor. Kalau impor, kenapa nggak dari dia, begitu pikirnya. Ternyata, produksi cengkeh Indonesia malah meningkat. Benarkah Tjia Eng Tek yang mengusulkan pendirian BPPC? Sebetulnya bukan pendirian BPPC, tapi pendirian tata niaga cengkeh. Ada isu, pabrik rokok sudah menggunakan sintetis aroma cengkeh yang diimpor secara gelap. Komentar Anda. Itu memang benar. Di Singapura sudah diperjualbelikan. Tapi tetap saja beda. Aromanya mungkin sama, namun rasa, taste, belum menyamai cengkeh yang asli. Jadi, bagaimanapun pabrik rokok masih tetap harus memakai cengkeh yang asli. Dari lima perusahaan kretek yang besar, mana yang paling banyak membeli cengkeh? Sekarang ini, yang paling lumayan Gudang Garam, yang sudah membeli sekitar 40.000 ton. KLBI bagaimana? Sudah berapa banyak yang dikembalikan? Kalau 135.000 ton cengkeh bisa dijual semua, otomatis hampir seluruh KLBI bisa dikembalikan.