KETIKA Aneka Dialog RCTI tiba-tiba terputus Jumat pekan lalu, pemirsa sebenarnya masih menunggu kelanjutan isu penyelundupan cengkeh yang dilontarkan Soegiharto Prajogo. Mengapa? Karena terkesan, seakan ada benang merah antara membengkaknya stok cengkeh dan penyelundupan cengkeh. Lagi pula, ada anggota DPR yang mensinyalir bahwa setiap tahun tak kurang dari 16 ribu ton cengkeh gelap masuk ke Indonesia dari Singapura. Itu terjadi sejak 1985. Sepanjang tahun 1990 saja, aparat Bea & Cukai beberapa kali berhasil memergoki cengkeh yang diselundupkan dalam jumlah cukup besar ke sini. Sinyalemen itu dibantah Jaksa Agung Muda, Soekarno. Kepada DPR pekan lalu ia menegaskan bahwa hanya ada dua kali penyelundupan cengkeh. Keduanya dari Singapura dan pelabuhan sasaran adalah Belawan, Medan. Kalau betul, sejak 1985 diperkirakan tak kurang dari 80 ribu ton cengkeh gelap yang masuk. Bisnis cengkeh memang bisa sangat rumit, andaikata tak pandai-pandai menggarapnya. Yang pasti, adanya penyelundupan cengkeh dibenarkan pula oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kumhal Djamil yang menjabat sebagai Ketua Badan Cengkeh Nasional. Sekadar untuk diketahui, isu tentang cengkeh sudah berembus ketika Tjia Eng Tek ikut membentuk sebuah konsorsium dengan bendera PT Kembang Cengkeh Nasional. Adalah Tjia Eng Tek juga yang kemudian dituding terlibat penyelundupan cengkeh. Sebenarnya Tjia Eng Tek kelahiran Sangir Talaud tapi kini menjadi warga negara Singapura. Pada pertengahan 1990, Tjia yang dikenal sebagai raja rempah-rempah telah memborong cengkeh sebanyak 60 ribu ton. Konon, sebagian besar dibeli dari Singapura karena harganya lebih murah. Tentang ini, ketika diwawancarai TEMPO bulan lalu, Tjia membantah. Ia menuduh pengusaha dari Tawaulah penyelundupnya. "Mana buktinya saya penyelundup," tantangnya ketika itu. Tjia lupa bahwa dia punya seorang rekan bisnis yakni A. Nomanbhoy. Pengusaha berdarah India ini tegar menangkis bantahan Tjia. Katanya, selama beberapa tahun Tjia selalu memborong cengkeh yang dijajakan di Singapura. Pernah Tjia membeli 8.200 ton cengkeh milik Nomanbhoy dengan tunai seharga 24 juta dolar (1990). Dari hubungan bisnis itulah dia mengetahui bahwa rekannya masih mempunyai sisa stok 22 ribu ton. Dan ia tahu bahwa cengkeh yang ditimbun di sebuah gudang di kawasan Jurong itu dipasarkan ke Indonesia. "Banyak kapal kecil yang mau mengangkut cengkeh dari sini. Sekali angkut, minimal 500 ton bisa diselundupkan," tuturnya. Jadi, bukan tak mungkin jika stok yang disangga BPPC, kini tercampuri cengkeh Singapura. Lagi pula ketika BPPC dibentuk, Kembang Cengkeh Nasional "menyumbangkan" stok yang tidak sedikit (66 ribu ton). Keadaan semakin buruk karena penyelundupan cengkeh juga berlangsung antarpulau di Indonesia. Pekan lalu, Tim Pengawasan Pelanggaran dan Penyelundupan Cengkeh (TP3C) berhasil menangkap 61 ton cengkeh asal Trenggalek yang sedianya dikirim ke Bali. Kabarnya, cengkeh itu dikumpulkan seorang pedagang karena sejak pertengahan Desember 1991, KUD di sana tak lagi membeli cengkeh petani. Sialnya, baik pengirim maupun penerima enam truk cengkeh itu adalah orang-orang eks BPPC yang nonaktif. Lantas, untuk apa menyelundupkan cengkeh ke Bali? Hingga saat ini belum diperoleh keterangan yang pasti. Ada dugaan, sesampai di Bali, cengkeh itu akan didaftarkan sebagai milik sebuah KUD di sana. Tentu akan didaftar sebagai cengkeh lama, yang jika dijual tak akan dipotong uang tabungan wajib dan penyertaan modal yang jumlahnya Rp 3.900 per kilo itu. Budi Kusumah dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini