Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Duel Maut di Layar Bioskop

Pengimpor film Hollywood menyetop peredaran filmnya di Indonesia karena pajak yang terlalu besar. Benarkah film nasional diuntungkan?

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Turunnya film-film Hollywood dari layar bioskop Indonesia itu seperti kisah dalam film silat kuno. Ada dua kubu yang berseteru, ada jagoan hebat yang tiba-tiba lenyap dari dunia persilatan, ada penguasa yang ditunggu kebijakannya. Tapi, karena film ini baru dimulai, belum jelas benar siapa jagoan dan siapa penjahatnya. Atau jangan-jangan ini duel maut antara dua perguruan silat beraliran hitam. Penonton sudah mengeluarkan uang untuk membayar karcis, dan kita berharap duel itu memberikan happy ending kepada kita.

Gonjang-ganjing ini dimulai saat pemerintah ingin menaikkan dan menambah pajak dari film impor-Hollywood atau non-Hollywood. Di antaranya bea masuk royalti atau bagi hasil yang harus dibayar importir dari hasil penjualan film-film. Motion Picture Association of America atau MPA sebagai pengimpor film-film itu tak setuju. Menurut mereka, bea seperti ini tidak lazim.

Dipersenjatai peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang memperbolehkan pungutan terhadap barang impor sampai 40 persen, pemerintah berdalih mau memproteksi produk serupa dari dalam negeri. MPA tak berkutik, lalu mengeluarkan senjata lain: menyetop peredaran film Hollywood di bioskop Indonesia.

Sepintas lalu, apa yang dilakukan pemerintah benar. Tapi siapa yang benar dan salah dalam urusan ini tidak segamblang jagoan dan penjahat dalam film. Benarkah pemerintah menerapkan biaya tambahan itu untuk memproteksi film nasional? Sejumlah orang film meragukannya. Mira Lesmana, misalnya, melukiskan betapa besar pajak yang harus mereka setor ke pemerintah.

Ada yang menganggap, termasuk produsen dan importir film Raam Punjabi, absennya film Hollywood akan menolong produksi film nasional. Selama ini, film Hollywood menguasai dan menjadi anak emas bioskop kita. Maklum saja, perusahaan pengimpor film dan gedung bioskop Grup 21 dimiliki orang yang sama. Dengan absennya mereka-kalau negosiasi antara pihak MPA dan pemerintah Indonesia tidak membuahkan kesepakatan-film Indonesia berkesempatan mengisi layar yang kosong.

Sampai titik tertentu, logika ini benar. Tapi apakah produsen film Indonesia siap melakukannya? Pada 2010, ada 77 film yang diproduksi di dalam negeri. Jumlah ini terlalu sedikit untuk dapat menutup 645 layar (dari 178 gedung bioskop) di seluruh Nusantara. Kalau setiap gedung bioskop punya empat layar (artinya empat film diputar setiap pekan), dalam setahun (52 pekan) perlu sekitar 200 film.

Kesiapan itu tak terlihat. Saat Hollywood ngambek, bioskop kita diisi film-film Indonesia berjudul Tebus, Pocong Ngesot, Cewek Saweran, dan Arwah Goyang Karawang. Hal ini bisa lebih parah karena, demi mengisi layar, para produsen akan memakai sistem "kejar tayang" yang terbukti ampuh membuat televisi kita berantakan. Yang lebih menyedihkan, karena tak ada suplai film bagus (meski tak semua film Hollywood yang masuk itu bagus), produsen akan lebih sembarangan membuat film.

Tentu saja, ini bukan berarti pemerintah kita harus menyerah kepada MPA dan importir film lain. Pembenahan perpajakan di industri film harus dilakukan. Bahkan, jika memang ada yang mengemplang pajak, pemerintah harus tegas menindak. Dominasi satu-dua perusahaan yang menguasai hulu hingga hilir peredaran film juga harus diawasi. Hanya, caranya tidak bisa sesederhana itu.

Penyederhanaan itu justru bisa jadi akan mematikan perfilman nasional. Bahkan dapat merugikan para penonton yang telah membayar karcis untuk mendapatkan hiburan yang berkualitas. Kita tentu tak ingin perfilman Indonesia hancur seperti pada akhir 1990-an karena diisi pocong dan paha seksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus