Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sensor gaya palembang?

Staf biro humas pemda Sum-Sel menyensor berita kampanye koran Sriwijaya Post palembang di dapur redaksi. Gubernur minta maaf.

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Palembang, Humas Pemda ternyata tak cuma menyerbarkan berita lewat press release, tapi juga bisa "membuat berita". Selasa pekan lalu, tiga orang staf Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Sumatera Selatan, di bawah pimpinan Leonardus Effendi, melanggar garis kebebasan pers. Mereka mendatangi kantor koran Sriwijaya Post, memeriksa beritaberita kampanye yang akan diterbitkan besok, langsung di dapur redaksi. "Saya ditugaskan Kepala Biro Humas untuk memeriksa beritaberita koran Anda," ujar Leonardus kepada Bob Hutabarat, Wakil Pemimpin Redaksi Sriwijaya Post yang malam itu berjaga di sana. Bob, yang baru beberapa bulan menduduki jabatan itu, mananyakan identitas dan surat tugas. Leo menolak. "Jika tidak percaya, silakan telepon Posko," sambil menunjukkan nomor telepon Posko yang tak lain kantor Humas Pemda Sumatera Selatan. Didesak Leo, Bob akhirnya mempersilakan petugas itu memasuki ruang paste up. Di situ Leo dan dua orang rekannya duduk layaknya korektor memeriksa halaman demi halaman. Setiap halaman yang sudah selesai diperiksa ia paraf. "Korektor" ini bertugas sampai pukul 00.50, Rabu dinihari. Setengah berkelakar, Bob bertanya, "Apakah Sripo sudah boleh terbit, Pak?" Leo pun menjawab, "Tak ada berita yang perlu dicabut, semua baik dan Sripo boleh terbit," kata Bob menirukan Leo. Keesokan harinya, Soleh Thamrin, Pimpinan Redaksi Sriwijaya Post, melayangkan surat penyesalan ke Gubernur. "Kami sadar bahwa media massa harus memiliki tanggung jawab. Namun, tindakan penyensoran terhadap berita yang akan kami muat telah melanggar UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan." Surat Soleh Thamrin ini ditembuskan ke sejumlah instansi, ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Penerangan. Gubernur Ramli Hasan Basri agaknya cukup tanggap. Ia segera minta maaf dan berjanji akan menghentikan tindakan itu. Tapi ia menolak jika disebut tindakan stafnya itu sebagai sensor. "Tidak ada perintah Pemda menyensor berita. Dan nyatanya tidak ada satu huruf pun yang dicabut," ujar Ramli. Ketua PWI SumSel Asdit Abdullah juga menyesalkan peristiwa ini. "Yang dilakukan staf Humas itu melanggar UU Pokok Pers," katanya. Ia juga menyayangkan Wakil Pemred Sriwijaya Post yang dengan mudah mengizinkan aparat Humas Pemda memeriksa lay out Sriwijaya Post. "Sebenarnya pihak Sriwijaya Post bisa menolak, karena ini sudah mencampuri rumah tangganya," ujar Asdit. Sensor atau bukan tampaknya tidak menjadi masalah bagi Kepala Kantor Wilayah Departemen Penerangan SumSel. "Yang jelas, itu kekeliruan pihak Humas," ujar Djekson A. Rivai, Kakanwil Deppen SumSel, kepada TEMPO. Adanya kekeliruan itu, menurut Djekson, tidak lepas dari kesalahan Sriwijaya Post dalam mengekspos pidato kampanye Sri Bintang Pamungkas jurkam PPP tempo hari, yang dinilainya mendiskreditkan Pemerintah. "Padahal, sudah diimbau agar tidak memuat pidato kampanye itu. Semua koran taat, ternyata Sriwijaya Post memuat. Jadi, saya bisa memaklumi semangat Biro Humas Pemda untuk menciptakan suasana tertib kampanye," kata Djekson. Sriwijaya Post, surat kabar harian pertama yang terbit di Palembang ini, tahun 1988 menjalin kerja sama manajemen dengan harian Kompas. Kini koran yang terbit 12 halaman itu sudah mencapai oplah sekitar 34.000 eksemplar. Di Palembang, bukan hanya Sriwijaya Post yang pernah terkena semprit semasa kampanye ini. Rekannya, Sumatera Express, pernah juga dipanggil dan diperingatkan Gubernur garagara memuat headline berjudul: "Lautan Merah", ketika PDI berkampanye di Palembang. Tapi saat itu tak ada protes dari Sumatera Express. Sementara itu, Soleh Thamrin menyatakan, peristiwa "penyensoran" itu tak berdiri sendiri. Tindakan ini merupakan rangkaian dari peristiwa sebelumnya. Ketika Ketua Golkar Wahono hadir dalam kampanye Golkar di halaman parkir gedung Sriwijaya 22 Mei lalu, misalnya, Sriwijaya Post menurunkan judul headline: "Wahono Batalkan Pidato Kampanye". Waktu itu Wahono memang tampil sebentar di mimbar kampanye, tapi karena massa tak mau tenang kendati Wahono sudah meminta massa tenang ia urung pidato. Esok harinya pimpinan Sriwijaya Post dipanggil Karo Humas untuk mendengarkan penyesalannya atas pemuatan berita itu. Ternodanya kemerdekaan pers di Palembang itu terlepas apa motivasinya segera mengundang berbagai reaksi dari anggota DPR, praktisi hukum, dan masyarakat kampus. Umumnya mereka menyesalkan peristiwa penyensoran itu. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Abdul Hakim G. Nusantara, misalnya, menyebut tindakan itu sebagai pelecehan otonomi pers. Menteri Rudini pun terkejut mendengar kasus intervensi gaya Palembang itu. Jumat pekan lalu, begitu koran meramaikan berita itu, Rudini langsung menelepon Gubernur Ramli untuk menyatakan rasa kagetnya atas tindakan bawahan sang gubernur itu. Rencananya ia akan bertemu dengan Ramli Sabtu lalu, tapi batal, karena hari itu Menteri ada acara tatap muka dengan para pimpinan media massa. Usai pertemuan itu, kepada Dwi S. Irawanto dari TEMPO, Rudini menyatakan, kasus itu akan diselesaikan sebaikbaiknya. "Duaduanya salah, aparat saya juga keliru, pihak Sriwijaya Post juga begitu. Lha wong, aturannya kan ndak begitu, masingmasing tak boleh campur tangan." Apa kata Leonardus, si "pelaksana" penyensoran itu? Sarjana Publisistik Unpad yang juga Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisipol) Palembang itu tidak mau banyak komentar. Ia tampak menyesali perbuatannya. "Sebagai bawahan, saya sudah melaksanakan perintah atasan sebaikbaiknya," katanya pelan. Lo, jadi siapa di balik kebijaksanaan pelecehan demokrasi itu sebenarnya? Aries Margono, Hasan Syukur, dan Aina R. Aziz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus