KETIKA ada undangan dari jiran untuk acara syukuran akan berangkat ke Tanah Suci, kebetulan saya sedang iseng membaca kembali buku tua oleh Rev. S.M. Zwemer, Arabia, The Cradle of Islam, yang terbit di New York hampir seabad silam. Ingatan saya langsung ke soal haji, sebab dalam buku itu antara lain ia mengatakan dengan mengutip Blunt bahwa pada akhir abad ke19 itu jumlah jemaah haji dari seluruh dunia, termasuk haji setempat, sekitar 93.000 orang, disertai sebuah foto jemaah haji yang mengenaskan: beberapa orang sudah tuatua, kerempeng, berpakaian seadanya, dekil, ada yang tanpa alas kaki, duduk berjajar di bangku panjang. Setelah bercerita betapa sulitnya pergi ke tanah Hejaz, ia meramal bahwa bila kelak dunia sudah makin modern, praktek ibadah haji ini akan ditinggalkan orang. Tentunya Zwemer sudah keburu meninggal sebelum sempat menyaksikan jemaah haji dalam dunia modern ini. Tetangga saya itu bermaksud menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Ia merasa bersyukur bahwa sekali lagi ia ketiban doa Nabi Ibrahim. Sekali ini malah ia akan bersama istrinya. Lima tahun lalu ia sudah pernah naik haji, seorang diri. Masih terkesan dalam hati, betapa nikmatnya melaksanakan ibadah itu. Sayang, tidak mengajak istri. Sekarang ia merasa akan lebih berbahagia karena akan disertai istri. Semula niatnya akan berangkat diamdiam, paling banyak hanya mau pamit kepada tetanggatetangga dekat dan membagibagikan beberapa karung beras kepada kaum papa dan rumahrumah yatim piatu. Tetapi istrinya mendesak malah orang luar juga campur tangan supaya mengadakan syukuran, sebab ini sudah menjadi adat, bahkan syarat, kata mereka. Ia terpaksa mengalah. Karena sudah harus begitu, selamatan pun diadakan. Para jiran, kerabat, dan temanteman diundang. Seperti lazimnya orang akan berangkat haji, diundang juga seorang Ajengan untuk memberikan ceramah, di samping seorang kiai setempat khusus untuk membacakan doa. Kita memang bangsa yang paling senang pada doa, dan doanya juga biasanya panjangpanjang. Kemudian doa inti: semoga berangkat selamat dan pulang selamat sebagai haji mabrur. Setelah pulang ke Tanah Air pun sekali lagi diadakan kenduri makanmakan, berikut ceramah, berikut doa lagi. Dan doa pun di samping dalam arti rohani rupanya dapat juga digunakan untuk segala keperluan: seusai meresmikan gedung atau jembatan, seusai pemugaran sarana pariwisata seperti Candi Borobudur, ulang tahun, memangku jabatan baru, dan sebagainya, dan tidak kurang pula pentingnya, doa dapat juga digunakan untuk keperluan politik. Rupanya, ini yang dimaksud oleh hadis Nabi dengan sanad yang kuat, bahwa "Akan ada suatu golongan dari umat ini yang berlebihan dalam berdoa . . .." Setelah secara singkat menguraikan syaratsyarat orang naik haji: harus mampu fisik, artinya sehat lahirbatin, cukup nafkah perjalanan pulangpergi dan untuk yang ditinggalkan, serta aman alam perjalanan dan ikhlas demi Allah, tidak mencari sesuatu yang lain, Ajengan itu bercerita tentang pengalaman seseorang yang pergi naik haji tidak dengan hati yang ikhlas. Orang itu sudah enam kali naik haji, hampir setiap tahun. Biasanya ia lincah setiap akan berangkat atau sepulang dari Tanah Suci. Tetapi tahun lalu ia merasa agak masygul dan tidak banyak bercerita. Pada setiap perjalanan ibadahnya itu, ia memperoleh keuntungan materi yang lumayan. Tetapi yang ini tentu tak pernah diceritakan kepada orang. Pergi ia membawa minyak gaharu, dan entah apa lagi pulang membawa permadani bekas, jam tangan, dan alatalat elektronik. Kemasygulannya itu beralasan juga. Waktu itu ia agak terpukul. Sekotak minyak gaharu yang harganya jutaan rupiah ternyata tidak terbawa, mungkin raib ketika hendak berangkat dari Tanah Air. Begitu menginjakkan kaki di bandara Jedah, kakinya yang kiri terkilir. Lalu orang segera percaya pada cerita yang macammacam. Yang lebih parah lagi, sesudah ibadah hajinya selesai, barangbarang dagangan sudah dibeli dan akan dibawa pulang, sesampainya di bandara Jedah, tidak terbawa, tertinggal entah di mana. Pengalamannya itu oleh Ajengan dihubungkan dengan sebuah kisah sufi. Karyakarya penyair sufi memang sering menarik. Dalam sastra sufi, orang menunaikan ibadah haji juga ada ceritanya. Dua orang bersahabat dan bertetangga bersamasama menunaikan ibadah haji, kata Ajengan melanjutkan ceritanya. Mereka berangkat bersamasama, bekal yang dibawa juga sama dan naik kapal laut yang sama pula. Mereka tak pernah berpisah sedetik pun, kecuali di kamar mandi. Perpisahan baru terjadi setelah sampai di rumah masingmasing. Seperti biasa, tamu pun berdatangan menengok kedua haji yang baru datang itu. Mereka menyimak pengalaman Haji "A", dari mulai berangkat sampai pulang kembali, segalanya serba sedap. Dalam kapal ia merasa nikmat, para awak kapal ramah, makanan enak, tidur pun nyenyak. Apalagi sesudah sampai di Tanah Suci, kotanya harum, bersih, orangorang serba ramah, suka saling membantu. Beribadah jadi lebih khusyuk. Rasanya ingin kembali lagi ia ke Tanah Suci. Lain lagi cerita Haji "B". Dari mulai berangkat, dalam kapal ia sudah merasa tersiksa. Segalanya serba tak sedap, ruangan kotor, bau, berisik, kapal sering oleng, makanan yang disediakan sudah basi. Apalagi sesudah sampai di Tanah Suci. "Kotanya kotor, tai unta berserakan kiankemari," katanya. Tulang rusuknya pernah kena sikut ketika sedang tawaf di Masjidil Haram. Seperti biasa, kata penceramah, dengan tamsiltamsil dan sindiransindiran tajam, penyair sufi itu ingin mengatakan, bahwa "A" niatnya memang ikhlas, ingin menunaikan ibadah, sedangkan "B" berangkat dengan berat hati. Saya jadi teringat pada pengalaman dalam suatu seminar. Ketika sedang dudukduduk rehat sambil minum dengan beberapa peserta, tibatiba dari meja di sebelah seorang guru besar dengan santai bertanya kepada saya, pertanyaan yang seujung rambut pun tak ada sangkutpautnya dengan seminar: "Apa betul, kata orang, di Mekah ada rumput seks?" "Tergantung niatnya," jawab saya tibatiba, juga santai. "Kalau yang ada dalam benaknya hanya soal seks, ia akan bertemu dengan rumput seks!" Dan dia pun diam! Temanteman semeja hanya tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini