Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sensus BPS & petani gurem

Jumlah petani gurem semakin banyak, sejalan dengan menciutnya lahan pertanian, yang terpakai untuk industri.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISU kemiskinan tampaknya akan menjadi bayang-bayang hitam yang bakal terus membuntuti laju pembangunan di negeri ini. Mengapa? Dari hasil sensus pertanian tahun 1993, yang diumumkan Biro Pusat Statistik (BPS) pekan lalu, disimpulkan bahwa mayoritas penduduk miskin terkonsentrasi di sektor pertanian. Menurut sensus BPS itu, jumlahnya mencapai 66,17% dari 27 juta penduduk miskin di Indonesia. Mungkin karena isu ini peka sekali, BPS tampak berhati-hati dalam memberikan komentar. Alasannya, data sensus -- terutama pencacahan sampel -- belum selesai diolah. "Untuk mengetahui penyebabnya, akan dilakukan sensus pertanian tahap lanjut," kata Kepala BPS, Azwar Rasjid. Yang pasti, dalam sepuluh tahun terakhir ini, jumlah keluarga petani menggelembung 10,24% hingga 21,5 juta jiwa. Sedangkan keluarga petani gurem, yang memiliki tanah kurang dari setengah hektare, bertambah dari 9,5 juta menjadi 10,9 juta lebih. Dan kondisi gurem ini paling menonjol di Pulau Jawa. Hasil sensus pertanian BPS itu juga menunjukkan, selama dasawarsa terakhir telah terjadi pengalihan tanah secara besar- besaran. Menurut Suroso Iman Zadjuli, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, hal itu terjadi karena makin banyaknya orang berduit yang membeli tanah petani. "Sebagian besar lahan pertanian itu kini dimiliki petani berdasi, seperti pegawai negeri sipil dan ABRI serta pedagang," kata Suroso. Akibatnya, luas lahan pertanian yang dikuasai petani menurun sebanyak 0,7 juta hektare, hingga tinggal 17,65 juta hektare. Penurunan terbesar (14,87%) justru terjadi di lahan sawah, seluas 0,48 juta hektare. Sedangkan penyempitan lahan rata-rata adalah 0,15 hektare -- dari 0,98 hektare menjadi 0,83 hektare. Menciutnya lahan produktif yang bisa diolah petani tentu saja memprihatinkan. Itu berarti, potensi ekonomi masyarakat petani juga berkurang. Padahal, sektor ini justru paling banyak menampung tenaga kerja dibandingkan dengan sektor lainnya. Menurut Gunawan Sumodiningrat, Kepala Biro Pembangunan Dati II dan Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, sekarang ini ada kecenderungan memisahkan petani dari tanahnya. Perumahan, industri, dan tempat rekreasi telah mengambil lahan pertanian. "Dugaan saya, petani miskin ini tinggal di pinggiran kota besar," kata Gunawan. Sementara itu, Kepala Pusat Studi Pembangunan IPB, Bungaran Saragih, memperkirakan, petani terdorong menjual tanahnya karena biaya produksi tidak sebanding dengan hasilnya. Maksudnya, harga komoditi pertanian tidak bisa mengimbangi kenaikan harga pupuk dan pestisida. Akibat pengalihan tanah itu, menurut Suroso, program Kredit Usaha Kecil (KUK) -- kecuali untuk meningkatkan produksi pangan -- ternyata tidak menjangkau lapisan bawah petani yang haus modal. "Hampir sebagian besar dana disalurkan di perkotaan," Suroso menambahkan. Pertanyaannya: adakah kaitan antara penciutan lahan pertanian dan kemiskinan? Tak seorang pun, juga BPS, berani memastikan asumsi ini. "Petani menjadi miskin karena mereka tak siap dengan perubahan," kata Gunawan. Maksudnya, ketika lahan pertanian berubah menjadi lahan industri, petani tidak bisa masuk ke sektor ini karena mereka tidak memiliki keterampilan yang dituntut oleh sektor industri. Pendapat yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh Profesor Loekman Soetrisno, peneliti Universitas Gadjah Mada. Katanya, kemiskinan itu terjadi akibat terputusnya keterkaitan antara sektor pertanian dan industri. "Petani melihat industri seperti hotel bintang lima. Bisa dilihat tapi tak bisa dimasuki," ujarnya berkias. Loekman juga menunjuk kesalahan Pemerintah, yang terlalu berkutat dengan swasembada tanpa mengembangkan sektor lain. Pendapat ini didukung oleh Bungaran Saragih. Katanya, Pemerintah kurang mendorong pengembangan industri padat karya, yang sebenarnya juga dapat menyerap hasil pertanian. "Di negara maju, sektor pertanian banyak terangkat oleh agroindustri yang berkembang pesat," ujar Bungaran. Suroso menyarankan, sektor pertanian diberi subsidi yang dananya diambil dari penyisihan laba BUMN. Tapi Loekman dan Saragih kurang setuju bila pengentasan penduduk miskin terpaku pada usaha menyodorkan pelampung penolong. Menurut Loekman, proyek transmigrasi harus lebih digalakkan, di samping membangun agroindustri dan industri kecil. Sedangkan program Inpres Desa Tertingal hendaknya lebih diarahkan pada pendidikan prapelatihan bagi rumah tangga petani. Sensus pertanian 1993 juga menunjukkan, jumlah rumah tangga pertanian menurun dari 60,54% (1983) menjadi 51,06% (1993). Juga ada penurunan jumlah beberapa komoditi pertanian, di antaranya tanaman kelapa dan cengkeh, serta kerbau dan kuda. Penurunan paling tinggi terjadi pada komoditi cengkeh, sebesar 40%, menjadi 69 juta pohon. Tapi harga cengkeh malah turun dari Rp 7.000 menjadi Rp 3.000 per kilogram. Tentulah hal ini merupakan dampak negatif dari tata niaga cengkeh yang diterapkan oleh BPPC. BPS memang tidak mau gegabah dalam menyimpulkan sebab-sebab penciutan lahan pertanian. Tapi, dari berbagai pendapat pakar -- juga mengandalkan hasil penelitian -- bisa diperkirakan bahwa kemiskinan terutama disebabkan oleh menyempitnya lahan dan kurangnya kemampuan sektor industri dalam menyerap hasil pertanian. Namun, selain itu, monopoli ataupun oligopoli secara tak langsung ikut memiskinkan petani kita.Bambang Aji, Iwan Qodar Himawan, R. Fajri, dan K. Candra Negara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum