Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Barter CN 235 - Sedan Proton

Transaksi US$ 100 juta. yang dibarter: CN 235 dengan md-3 dan sedan proton. yang untung: lamtorogung.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENTENG proteksi industri otomotif akan jebol? Pertanyaan ini banyak dilontarkan orang setelah pasti bahwa 2.500 unit mobil produksi Perusahaan Otomobil Nasional (Proton) dari Malaysia akan diimpor mulai September depan dengan bea masuk 0%. Importirnya adalah perusahaan dari kelompok Citra Lamtorogung milik Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana -- sehari-hari lebih dikenal sebagai Mbak Tutut. Rencana tersebut merupakan bagian dari transaksi barter yang diteken Selasa pekan lalu oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie dengan Menteri Pertahanan Malaysia Moh. Najib Tun Razak. Dalam nota kesepakatan itu disebutkan, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) akan mengekspor enam CN 235 ditambah suku cadang, menjadi US$ 100 juta. Sebagai imbalannya, Malaysia mengekspor 20 pesawat latih ringan MD-3 ditambah 2.500 unit mobil Proton Berhad. Ada yang cemas terhadap sistem barter tersebut. Namun, pengamat ekonomi dari CSIS, Djisman Simandjuntak, berpendapat hal itu tak jadi masalah. "Indonesia kan belum meneken perjanjian perdagangan GATT dalam hal penjualan pesawat terbang," kata dosen Institut Manajemen Prasetya Mulia itu. Justru, menurut Djisman, yang bisa jadi soal adalah impor mobil Proton. Sebab, 2.500 mobil itu akan diimpor dalam kondisi siap pakai (built-up) tanpa bea masuk. Namun, industriwan mobil di sini yakin, pemerintah belum akan menjebol tembok proteksi industri otomotif. "Buat apa takut. Kan sudah jelas aturannya," kata Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Herman Z. Latief. Maksudnya adalah Paket Deregulasi 10 Juni 1993, yang menetapkan boleh mengimpor mobil asalkan membayar bea masuk 200% untuk jenis mobil yang sudah diproduksi di sini, dan bea masuk 300% untuk mobil yang belum diproduksi di sini. "Mobil Proton dibebaskan dari bea masuk itu karena akan dipakai sebagai armada taksi," kata Latief. Memang, sedan yang dijual untuk armada taksi -- seperti Ford Laser, Nissan Sunny, dan Holden Gemini -- dibebaskan dari bea masuk. Tapi mobil Proton yang akan ditaksikan hanyalah 1.000 unit tipe Proton Iswara. Sedangkan 1.500 unit tipe Proton Wira, kabarnya, dijual kepada instansi pemerintah. Djisman melihat, langkah pembebasan impor Proton tadi ada segi positifnya karena Indonesia bisa mendapatkan mobil yang relatif lebih murah. "Tapi apakah memang harus begitu caranya?" tanya Djisman. Mobil Malaysia itu sebenarnya hampir sama dengan sedan Mitsubishi rakitan PT Krama Yudha Tiga Berlian Motor di Indonesia. Cuma, harga sedan Proton lebih miring. Proton Iswara dihargai M$ 30.454 sampai M$ 32.960 (Rp 24,6-26,6 juta). Proton Wira, yang diproduksi dalam sembilan tipe (mulai tipe 1,3 GL solid aeroback sampai 1,6 XII) dijual antara M$ 37.611 dan M$ 56.211 (Rp 30,4-45,5 juta). Bandingkan dengan sedan Mitsubishi Lancer rakitan Krama Yudha, yang harganya Rp 67 juta (1.600 cc). Mengapa Proton bisa lebih murah sekitar Rp 20 juta? "Itu karena Proton milik negara dan mendapat perlakuan khusus," ujar Herman Z. Latief, yang juga Vice President PT Krama Yudha. Untuk impor komponen, Proton dikenai bea masuk 13%, sedangkan merek lain 42%. Tapi pajak penjualan mobil di Malaysia cukup tinggi: 50% dari harga penjualan bersih. Jadi, kalau harga pokoknya 100%, setelah ditambah 13%, kemudian perusahaan mengambil biaya perakitan dan laba (10%), dan pajak penjualan 50%, harganya menjadi 186,45% dari harga pokok bahan baku impor. Untuk komponen impor sedan di Indonesia, pemerintah memungut bea masuk 100%. Perusahaan perakitan lalu mengambil margin, katakanlah, 10%. Pemerintah kemudian mengambil pajak pertambahan nilai (PPN) 10%, pajak barang mewah 35%, dan bea balik nama 10%. Sehingga, kalau harga pokoknya 100%, sampai ke tangan pembeli harganya sudah 359,37% atau 3,5 kali harga pokok impor - alias yang termahal di dunia. Kembali pada paket barter antara 6 produk IPTN dan 20 pesawat latih MD-3 plus 2.500 unit sedan Proton, adakah ini pantas? Menteri Habibie menjelaskan, harga 6 pesawat CN 235 (US$ 13 juta per unit) seluruhnya US$ 78 juta. Kalau nilai transaksi barter seluruhnya US$ 100 juta, berarti nilai ekspor suku cadang sekitar US$ 22 juta. Sedangkan harga 20 pesawat MD-3 (US$ 2,6 juta per unit) bikinan Malaysia adalah US$ 52 juta. Berarti, sisa yang US$ 48 juta tentu untuk 2.500 sedan Proton. Bagaimana realisasi transaksi itu, belum jelas benar. Soalnya, impor mobil Proton September depan, sedangkan pesawat IPTN mungkin baru akan diserahkan sekitar tahun 1996. Apakah itu berarti Lamtorogung mendapat kredit dari Malaysia, ataukah IPTN yang memberi kredit kepada Lamtorogung? Siapa tahu ada anggota DPR berminat mempertanyakannya.Max Wangkar, Sri Pudjiastuti (Jakarta), Ekram Atamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum