Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT berkop Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kuching itu ditujukan kepada Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Bertanggal 28 Oktober, surat itu dibuka dengan ucapan selamat atas terpilihnya Rachmat sebagai menteri. Setelah itu, langsung ke pokok soal: masalah perdagangan lintas batas di Entikong, Kalimantan Barat.
Entikong berbatasan dengan Tebedu di Sarawak, Malaysia, yang menjadi wilayah kerja Konsulat Jenderal di Kuching. Itulah yang menjadi alasan Konsul Jenderal Djoko Harjanto perlu berkirim surat kepada Menteri Rachmat. Djoko sebenarnya sudah dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Duta Besar Indonesia untuk Suriah pada 15 Oktober lalu. Namun ia baru melakukan serah-terima jabatan pada 20 November.
Setebal tujuh halaman dengan sejumlah lampiran aturan perdagangan di wilayah perbatasan, surat itu ditutup dengan saran agar perdagangan lintas batas di Entikong dibuka kembali. "Kami mengharapkan normalisasi aktivitas perdagangan," tulis Djoko.
Rachmat membenarkan menerima surat tersebut. Dia menyatakan akan mempelajari dulu kondisi yang sebenarnya terjadi di Entikong. "Semua masukan saya pelajari," ujarnya.
Perdagangan lintas batas kedua wilayah memang dihentikan sejak Arief Sulistyanto menjabat Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Mei lalu. Alasannya, menurut jenderal berbintang satu itu, Entikong bukanlah pintu masuk perdagangan antarnegara. "Pos pemeriksaan lintas batas bukan untuk kegiatan ekspor-impor, tapi untuk lalu lintas keluar-masuk warga," kata Arief.
Kondisi pos pemeriksaan Entikong kini memang terlihat lengang. Akhir November lalu, saat Tempo berkunjung kesana, di luar gerbang pos tampak beberapa pria bergerombol dengan membawa tas sambil memegang sekebat uang ringgit Malaysia dan kalkulator. Karena itu, mereka kerap disebut money changer berjalan, yang melayani jasa penukaran uang ringgit ke rupiah dan sebaliknya.
Tadinya, mereka bisa dengan leluasa mendekati antrean pelintas batas yang hendak mengecap paspor. Tak jarang satu pelintas batas dikerubungi beberapa penukar uang berjalan itu. Sasaran empuk mereka adalah para tenaga kerja Indonesia, yang dengan berbagai cara akan dipaksa menukar uangnya—tentu dengan nilai tukar yang lebih mahal daripada kurs yang resmi.
Truk-truk yang membawa kontainer juga tak terlihat lagi. Hanya ada satu-dua mobil pribadi dan sebuah bus yang melintas. Loket imigrasi pun tidak lagi ramai. Pemandangan serupa tampak di loket pemeriksaan Bea-Cukai. Petugas lebih memilih berkumpul di samping mesin X-ray. "Sekarang kondisinya jauh berbeda. Ekonomi agak sulit, penginapan sepi, kantin sepi," ujar Agus Martadi, yang sehari-hari bekerja di perusahaan ekspor-impor di kawasan pos perbatasan Entikong.
Tugasnya mengatur barang-barang yang masuk dalam truk kontainer kecil. "Saya ditugasi mencatat jenis barang dan jumlahnya. Kalau soal pajak, sudah diurus sama bos. Langsung dengan petugas di sini," ujarnya.
Entikong bukanlah wilayah yang asing bagi Arief Sulistyanto. Saat masih menjadi Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, dia sudah membongkar praktek suap-menyuap yang lazim terjadi di pos perbatasan ini. Hasilnya, Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea-Cukai Entikong Langen Projo ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Dua anaknya buahnya, Syafrudin dan Iwan Jaya, yang sama-sama pernah menjabat kepala sesi kepabeanan, juga ditangkap.
Karena itu, ketika mulai bertugas di Kalimantan Barat, Arief tak perlu berlama-lama. Ia langsung bergerak cepat. Dalam tempo tujuh bulan, aneka penyelundupan, dari ribuan botol minuman keras, puluhan suku cadang mobil, barang elektronik, mainan anak-anak, makanan, minuman, airsoft gun, hingga gula rafinasi, dapat digagalkan. "Sebelum jadi kapolda, saya sebulan di Entikong untuk penyelidikan," katanya.
Menurut Arief, Entikong bukanlah pelabuhan resmi untuk ekspor-impor. Merujuk pada Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 36/KP/III/1995, pos pemeriksaan lintas batas hanya merupakan kawasan perdagangan tradisional. Perjanjian perdagangan lintas batas yang dibikin kedua negara pada 1976 juga hanya mengatur perdagangan antarwarga perbatasan, yang dijatah dengan kuota 600 ringgit Malaysia per orang per bulan.
Oleh sejumlah orang, aturan itu diakali. Caranya dengan mengumpulkan kartu identitas lintas batas, yang lalu digunakan untuk membeli gula dari Malaysia. Padahal kuota 600 ringgit itu jatah warga untuk berbelanja barang kebutuhan pokok sehari-hari. Selain itu, kata Arief, pos pemeriksaan Entikong tidak dilengkapi perangkat pemindai untuk kendaraan besar. Akibatnya, isi mobil dengan muatan besar yang keluar-masuk tidak bisa terpantau. Karena itu, tak aneh jika narkotik bisa dengan mudah diselundupkan ke dalam kendaraan yang sarat muatan tersebut.
Kebijakan Arief ini memancing protes warga di sekitar perbatasan Entikong. September lalu, mereka berunjuk rasa menuntut pos pemeriksaan lintas batas bisa difungsikan menjadi pintu kegiatan ekspor-impor. Menurut mereka, selama ini, pihak Bea-Cukai di Entikong kerap melanggar aturan, yang merugikan mereka. "Ekspor-impor ditutup, tapi mereka mengharuskan warga yang berbelanja dari Malaysia masuk ke Entikong membayar lagi," ujar Sanusi Ringo, Ketua Tumenggung Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat.
Beberapa perusahaan ekspedisi yang sering melakukan kegiatan ekspor-impor di kawasan tersebut juga berhenti beroperasi. Misalnya yang terlihat di Dry Port Tebedu, Sarawak. Dua bulan setelah penutupan, ratusan kontainer menumpuk dan belum dibongkar-muat. "Setelah penertiban border, memang sempat terjadi penumpukan kontainer. Mungkin mereka mau menunggu perkembangan situasi," kata Arief. Namun, rupanya, polisi tetap menutup pos perbatasan Entikong untuk ekspor-impor. Akhirnya, selang lima bulan kemudian, mereka memilih menarik kontainer-kontainer itu ke Kuching, Malaysia.
Jahar Gultom, yang baru dua pekan menjabat Konsul Jenderal menggantikan Djoko Harjanto, mengatakan penutupan kegiatan ekspor-impor memang menjadi pertanyaan kalangan pengusaha di Sarawak. "Mereka mempertanyakan mengapa ditutup sepihak," ujarnya kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.
Padahal, bila merujuk pada keputusan Menteri Perdagangan tahun 1995 tersebut, sebenarnya ekspor-impor di perbatasan Entikong dibolehkan. "Tapi memang mungkin untuk sementara waktu ini diperlukan penyesuaian-penyesuaian agar kegiatan ekspor-impor tetap berlanjut," katanya.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan, yang dua pekan lalu datang ke Pontianak, juga mengatakan pos pemeriksaan Entikong bisa melakukan transaksi ekspor-impor. "Sejak 1995 sebenarnya sudah bisa," ujarnya. Meski dibolehkan, barang yang diimpor harus memiliki izin dari pusat dan mesti mempunyai tanda pengenal importir.
Adapun Rachmat lebih memilih mengandalkan pasokan dalam negeri untuk kebutuhan hidup sehari-hari warga Entikong. "Pemerintah akan membangun pasar tradisional di sana," katanya. Dia tidak mau pembukaan perdagangan lintas batas Entikong ini justru dimanfaatkan para penyelundup. "Saya juga mendapat informasi, banyak cukong yang main di sana."
Iqbal Muhtarom (Jakarta), Aseanty Pahlevi (Entikong)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo