Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedoran pintu dan teriakan Radika membangunkan enam perempuan yang tidur berimpitan di kamar sempit itu. Dinihari itu, awal November 2013, jarum jam baru menunjukkan pukul tiga. Dari bilik seluas empat meter persegi tersebut, enam wanita ringkih tergopoh-gopoh keluar menuju ruang tengah yang lebih luas. Mereka kemudian diperintahkan berbaris di depan kamar Âmandi di rumah jembar yang terletak di persimpangan Jalan Beo dan Jalan Angsa, Sidodadi, Medan, itu.
Tanpa sebab yang jelas, saat lima perempuan antre di depan kamar mandi, Radika menampari mereka satu per satu. Sang pemilik rumah juga meneriaki perempuan yang sedang di dalam kamar mandi agar cepat keluar. "Begitu keluar, saya langsung disetrum sampai lemas," kata Aminah—bukan nama sebenarnya—ketika menuturkan kembali perlakuan "horor" yang ia alami kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Alat kejut listrik hanyalah satu alat penyiksa di rumah itu. Di lain waktu, gagang sapu hingga centong besi pun menjadi benda penyiksa bagi Aminah dan kawan-kawan.
Aminah bercerita, pada dinihari itu, dia baru dua malam menginap di rumah pasangan Radika, 48 tahun, dan Syamsul Anwar, 51 tahun. Aminah bersama seorang kerabatnya—sebut saja namanya Rina—diboyong Syamsul dari sebuah agen penyalur tenaga kerja di Jakarta. Mereka dijanjikan Syamsul dipekerjakan di sebuah toko dengan gaji Rp 1 juta per bulan.
Selama sembilan hari di rumah Syamsul, Aminah dan Rina ternyata menjadi bulan-bulanan keluarga itu. Anak dan keponakan Syamsul, juga dua penjaga rumah, kerap ikut-ikutan menggebuki Aminah dan Rina. Belakangan, Aminah tahu penyiksaan seperti itu menjadi "menu" harian empat perempuan lain yang lebih dulu berada di rumah tersebut.
Pada pertengahan November 2013, Aminah dan Rina memang mendapat majikan baru di Medan. Tapi di tempat baru ini bukan berarti mereka bebas dari penderitaan. Gaji bulanan mereka, Rp 500 ribu, selalu diambil orang suruhan Syamsul. Setelah tiga bulan bekerja tanpa gaji, Aminah dan Rina mencoba memprotes. Protes itu rupanya membuat majikan mereka berang dan mengancam mengembalikan mereka ke Syamsul. Takut bukan kepalang, pada 21 Februari 2014, kedua perempuan asal Cirebon itu nekat kabur.
Pada Juni lalu, didampingi sejumlah aktivis perlindungan buruh perempuan, Aminah dan Rina melaporkan keluarga Syamsul ke Kepolisian Resor Kota Medan. Mereka juga meminta bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Jakarta. "Saya bilang ke polisi, di rumah itu masih banyak orang yang disekap," ucap Aminah.
Polisi baru menggerebek rumah Syamsul pada Jumat, 28 November lalu. Sejauh ini polisi sudah menahan tujuh tersangka. Mereka adalah Syamsul, Radika, Anwar alias Pai (anak), Bahtiar Fahlevi (keponakan), Fery Syahputra (sopir), serta Kiki Andika dan Jahir (penjaga rumah). Polisi menyiapkan pasal berlapis untuk menjerat mereka. Antara lain, pasal penganiayaan, pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan perdagangan manusia.
Syamsul memang "berbisnis" penyalur tenaga kerja. Pada 2002, ia mendirikan badan usaha bernama CV Maju Jaya, yang khusus bergerak di bidang tenaga kerja. Soal CV Maju Jaya, saat Tempo mengecek kepada Dinas Tenaga Kerja Kota Medan, Kepala Dinas Armansyah Lubis menyebutkan izin CV itu sudah berakhir pada 2007. Syamsul tak pernah memperpanjangnya lagi.
Meski begitu, bisnis Syamsul tak pernah berhenti. Kaki tangannya, termasuk di Jakarta, terus mencari "calon korban" dengan cara membeli para tenaga kerja itu dengan nilai lebih mahal dari agen penyalur tenaga. Menurut penyidik, Syamsul berani membayar ke agen awal sekitar Rp 3 juta per calon tenaga kerja yang ia ambil. Lalu dia "menjual" setiap pekerja kepada calon majikannya antara Rp 6 juta dan Rp 15 juta.
Sutisna, pemilik Yayasan Sari Bakti Mandiri di kawasan Senen, Jakarta Pusat, mengaku pernah menyalurkan empat pembantu kepada "Haji Syamsul" pada 2004. Namun, tak lama kemudian, keempat pembantu itu menelepon Sutisna. "Mereka mendapat perlakuan buruk. Makanan kurang, penampungan pun sangat padat," ujar Sutisna. "Sejak itu, saya kapok kerja sama dengan dia."
Horor di rumah Syamsul sebenarnya sudah berkali-kali dilaporkan kepada polisi. Pada 2012, misalnya, enam pembantu kabur dari rumah tersebut. Mereka adalah Rohayati dan Novi Indriani asal Banten, Fitri dan Rumsanah asal Lampung, Sadiah asal Batang, serta Eko Purnomo asal Kebumen, Jawa Tengah.
Pekan lalu, salah seorang pembantu yang kabur pada 2012 bercerita kepada Tempo perihal pengalamannya disekap di rumah Syamsul. "Tak gampang keluar dari rumah itu," ujar si pembantu. Menurut dia, sekeliling rumah Syamsul dipagari besi yang tingginya menyentuh plafon. Adapun satu-satunya pintu keluar selalu dijaga dua orang kepercayaan Syamsul. Rohayati dan kawan-kawan pun berembuk, mencari siasat supaya bisa kabur dari tempat itu.
Pada akhir September 2012, seorang pembantu menyerahkan uang Rp 200 ribu kepada penjaga rumah. "Ini buat beli tuak. Biar Abang bisa malam Mingguan," kata pembantu itu. Muslihat tersebut berhasil. Lantaran kebanyakan minum tuak, malam harinya kedua penjaga itu teler.
Sekitar pukul 02.00, Rohayati dan lima rekannya kabur dari lantai dua dengan bantuan tali jemuran. Dinihari itu juga mereka mendatangi kantor polisi. Kepada polisi, mereka melaporkan perihal sembilan teman mereka yang lain yang disekap di rumah itu.
Keesokan harinya, tim Kepolisian Resor Kota Medan mendatangi rumah Syamsul. Namun Syamsul melawan. Ia meminta polisi menunjukkan surat penggeledahan. Tak membawa surat, polisi balik kanan dengan tangan kosong. "Ketika rumah itu didatangi lagi, sembilan orang itu sudah tidak ada," ujar Kepala Polresta Medan Komisaris Besar Nico Afinta.
Setelah Rohayati dan kawan-kawan kabur, Syamsul memasang 15 kamera pengawas di rumahnya. Semua kamera terhubung dengan televisi di kamar Syamsul dan di meja penjaga.
Dua tahun berlalu, pengusutan laporan penyiksaan di rumah Syamsul tak jelas juntrungannya. Polisi baru bergerak lagi setelah menerima laporan Aminah dan Rina pada Juni lalu. Kali ini polisi pun tak langsung menggerebek rumah Syamsul. Menurut seorang penyidik, mereka perlu waktu hampir enam bulan untuk mengintai apa yang terjadi di rumah itu.
Pada Jumat, 28 November lalu, seorang polisi yang menyaru sebagai tukang listrik masuk ke rumah Syamsul. Setelah memastikan masih ada korban yang disekap, ia segera mengontak teman-temannya. Dalam hitungan menit, sejumlah polisi "menyerbu" rumah Syamsul. Di dalam rumah, polisi menemukan Anis Rahayu, Endang, dan Rukmini dengan lebam di sekujur tubuh mereka.
Saat mereka diperiksa, polisi mendapat informasi mengejutkan. Ketiga orang itu tak hanya mengaku dianiaya. Mereka bercerita bahwa teman mereka, Cici, meninggal di rumah itu karena disiksa. Perempuan itu tewas setelah kepalanya ditenggelamkan ke bak air kamar mandi. "Kami sempat disuruh mengganti bajunya," ujar Endang ketika ditemui Tempo, Selasa pekan lalu.
Mendengar cerita itu, penyidik menyodorkan selembar foto mayat perempuan. Tanpa ragu-ragu, Anis dan kawan-kawan menyebut itu adalah Cici.
Sebelumnya, mayat Cici ditemukan warga Kecamatan Barus Jahe, Tanah Karo, di semak belukar pada 31 Oktober lalu. Karena tak ada warga sekitar yang melaporkan kehilangan anggota keluarga, polisi meÂnguburkan mayat itu di belakang Rumah Sakit Kabanjahe.
Berbekal fotokopi kartu tanda penduduk atas nama Cici Istiyanti, polisi menghubungi keluarga Cici di kawasan Candi Penataran, Kalipancur, Semarang. Ternyata Cici Istiyanti masih hidup. Perempuan yang tewas adalah kakak Cici, yakni Hermin Ruswidianti.
Kepada Tempo, Cici bercerita bahwa Hermin meminjam fotokopi KTP-nya ketika hendak mencari pekerjaan ke Jakarta pada pertengahan September lalu. Sejak awal Oktober lalu, ia tak bisa mengontak Hermin. Setiap kali Cici menelepon, yang mengangkat selalu lelaki. Si lelaki meminta "Cici" tak diganggu karena sedang bekerja. Pada 4 Desember lalu, keluarga mendapat kabar dari polisi bahwa "Cici" meninggal di Medan.
Lewat "korban-korban Syamsul" ini, polisi kini tengah berupaya menyingkap kasus kematian misterius lainnya. Pada 9 November lalu, warga di sekitar Sungai Deli, Labuhan Deli, dihebohkan oleh adanya mayat tak dikenal.
Polisi pun sudah menyodorkan foto mayat itu kepada Anis dan kedua kawannya. Namun, karena wajah mayat itu rusak, mereka tak langsung mengenalinya. Anis dan kawan-kawan hanya mengingat baju yang melekat pada mayat itu milik rekan mereka bernama Yanti.
Anis dan kawan-kawan terakhir kali melihat Yanti pada 31 Oktober lalu. Malam itu Yanti, yang babak-belur karena dipukuli, hendak dibawa ke luar rumah oleh Syamsul dan Radika. Penasaran, Endang bertanya rekannya mau dibawa ke mana. Jawaban Syamsul: Yanti akan dibawa ke rumah sakit. Sejak malam itu, Yanti tak pernah kembali.
Pembantu lain yang tak jelas keberadaannya bernama Sakti. Lelaki asal Jakarta ini bekerja di rumah Syamsul sejak 2007, hampir bersamaan dengan Anis. Dari Sakti, beberapa pekerja mendengar berbagai kisah "seram" di rumah itu. Misalnya, adanya kuburan rahasia di bawah tangga. Sakti sendiri kerap dipukuli sambil diikat pada terali jendela di lantai dua.
Berbekal informasi inilah, pada 8 Desember lalu, polisi menggali lantai di bawah tangga dekat kamar pembantu itu. Yang diceritakan memang bukan isapan jempol. Di kedalaman dua meter, polisi menemukan 23 potongan tulang, gigi, dan sejumput rambut. Di "kuburan rahasia" itu ditemukan pula enam celana dalam perempuan. Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Priyo Kuncoro memastikan gigi tersebut milik manusia. "Adapun tulangnya masih kami selidiki," ucap Priyo.
Menurut kuasa hukum Syamsul, Iskandar Lubis, kliennya mengaku mengetahui penyiksaan dan pembunuhan di rumahnya. Namun Syamsul menyangkal terlibat dalam rentetan kekejian itu. "Ia tahu pembuangan mayat, tapi mengaku tak terlibat," kata Iskandar.
Polisi mencurigai masih ada korban lain kekejian Syamsul dan komplotannya. Di samping keterangan para saksi, petunjuk awalnya adalah 160 lembar kartu tanda penduduk yang ditemukan di rumah Syamsul. "Kami bekerja sama dengan kepolisian di daerah lain," tutur Komisaris Besar Nico Afinta. Yang ditemukan polisi bisa jadi memang hanya sebagian dari tindakan kekejaman yang dilakukan penghuni rumah di Jalan Beo itu.
Jajang Jamaludin, Syailendra Persada, Sahat Simatupang (Medan), Praga Utama (Jakarta), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo