Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LONJAKAN harga membuat Puang Kasau tak sabar segera memanen udang vannamei miliknya. Dibudidayakan di tambak seluas tiga hektare di Pinrang, Sulawesi Selatan, udang itu bisa dipanen tiga kali dalam setahun. Senin pekan lalu, dia sukses melego setengah ton udang ukuran 46, yang satu kilogramnya berisi 46 ekor. Kali ini udangnya dihargai Rp 52.600 per kilogram, naik dibanding dua pekan sebelumnya, yakni Rp 48 ribu.
Gurihnya harga udang juga dinikmati Baharuddin, sesama petani tambak di Pinrang. Udang windu miliknya dijual dengan harga Rp 125 ribu per kilogram. Sebelumnya, harga udang jenis ini berkisar Rp 105 ribu.
Ali Machmud, penanggung jawab PT Alter Trade Indonesia di Pinrang, perusahaan eksportir udang yang bermarkas di Surabaya, mengatakan kenaikan harga disebabkan oleh menguatnya dolar Amerika Serikat terhadap rupiah belakangan ini. Ini mendorong perusahaan pengepul menaikkan harga beli kepada petani. Walhasil, banyak petani tak mau kehilangan momentum dengan cara memanen udang lebih awal, meski ukurannya masih di bawah standar. "Persaingan harga sangat ketat," katanya Rabu pekan lalu.
Nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh level 12.900 per dolar pada Selasa pekan lalu, yang merupakan level terendah sejak 2008, membawa berkah tersendiri bagi beberapa sektor, seperti tambak udang. Alter Trade, misalnya, sangat diuntungkan karena ongkos produksinya dalam rupiah, sedangkan penerimaan mereka dihitung dalam dolar.
Beberapa perusahaan yang bergerak di industri pariwisata juga berharap banyak pada keuntungan musiman akibat keperkasaan dolar. Ketua Umum Asosiasi Agen Tur dan Travel Indonesia Asnawi Bahar memprediksi jumlah kunjungan turis mancanegara meningkat karena biaya melancong ke Indonesia jadi lebih murah. Pada saat bersamaan, dia memperkirakan lonjakan jumlah wisatawan lokal mencapai 20 persen. "Penguatan dolar membuat masyarakat memilih mengunjungi daerah wisata domestik," ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tahu betul memanfaatkan situasi ini. Ia berharap naiknya dolar akan merangsang petani garam memacu produksi. Selama ini petani garam lokal nyaris terkapar digempur banjirnya garam impor. Nilai tukar dolar yang tinggi membuat garam impor bakal mahal. "Saatnya swasembada."
Presiden Joko Widodo mengatakan peluang bangkitnya ekonomi Indonesia bukan isapan jempol. Alasannya, fundamental ekonomi terus mengalami perbaikan dengan semakin lebarnya ruang fiskal pemerintah setelah penghematan subsidi bahan bakar minyak bersubsidi.
Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan loyonya rupiah bukan karena faktor ekonomi dalam negeri, melainkan lebih disebabkan oleh membaiknya ekonomi Negeri Abang Sam, yang menyedot kembali dolar dari seluruh dunia untuk mudik ke negeri asalnya. Pelemahan juga dialami sejumlah mata uang negara lain, misalnya Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Rusia, dan Australia. "Efek pada rupiah malah lebih kecil," katanya.
Meski begitu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui efek perbaikan ekonomi Amerika pada rupiah ini lebih cepat dari prediksi awal. "Dolar Amerika pulang kampung lebih cepat," ujarnya Selasa pekan lalu.
Hengkangnya dolar dari Indonesia, menurut Bambang, juga berimbas pada melemahnya rubel, mata uang Rusia. Otoritas perbankan Rusia mengambil langkah menaikkan suku bunga perbankan untuk menjerat dolar agar tak pergi. Akibatnya, sebagian dolar di Indonesia ikut terbang ke negara pecahan Uni Soviet itu.
LANGKAH menaikkan suku bunga seperti yang ditempuh bank sentral Rusia membuat Sujatmiko cemas. Eksportir kayu lapis ini khawatir Bank Indonesia memilih langkah serupa. Jika ini terjadi, buntutnya mudah ditebak: bunga kredit bakal ikut terkerek. Turunannya biaya produksi turut pula membengkak.
Sebagai eksportir kayu lapis, pengusaha yang tergabung dalam kelompok bisnis CV Daya Abadi di Wonosobo, Jawa Tengah, itu seharusnya menikmati saat-saat ketika dolar menguat. Dengan harga yang lebih kompetitif, semestinya ia akan menerima lebih banyak order dari biasanya, yang rata-rata mencapai 400 kontainer setiap bulan untuk dikirim ke Cina dan Taiwan.
Namun bayangan menangguk untung berlimpah sirna tatkala harga komoditas internasional turun drastis. Sujatmiko mengatakan mitra bisnisnya di Cina malah ngotot meminta agar harga beli diturunkan US$ 20-30 per meter kubik. Alih-alih mendapat untung berlipat, pria asal Gunungkidul itu makin nelangsa akibat naiknya harga bahan baku, berupa lem dan pelapis, yang diimpor dari Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Artinya, keperkasaan dolar benar-benar membuat lesu para eksportir komoditas seperti Sujatmiko.
Itu pula sebabnya pengusaha ini waswas membayangkan jika Bank Indonesia nantinya merespons penguatan dolar dengan kembali menaikkan suku bunga. Alasannya, mayoritas modal untuk ekspor bersumber dari utang bank. "Kalau bunga bank naik, malapetaka bagi kita," ucap Sujatmiko. Untuk sementara, sebagian kolega bisnisnya menyarankan dia menunda ekspor. "Menunggu harga komoditas naik lagi."
Kondisi seperti Sujatmiko juga dialami produsen barang elektronik merek Polytron, PT Hartono Istana Teknologi, di Kudus, Jawa Tengah. Juru bicara sekaligus Manajer Pemasaran PT Hartono, Santo Kadarusman, mengatakan bahan baku yang sebagian besar harus diimpor membuat ongkos produksi mereka melambung. Padahal mayoritas produk dijual di pasar domestik. Porsi ekspor hanya lima persen. Untuk mengimbangi pembengkakan biaya bahan baku, Santo memastikan memperbesar volume ekspor ke 32 negara. "Kuota ekspor dinaikkan menjadi sepuluh persen," katanya.
Adapun Eri Sasmito, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia di Jawa Tengah, punya cara lain untuk menyiasati agar kenaikan dolar bisa mereka nikmati. Menurut dia, lesunya rupiah bisa dimanfaatkan eksportir mebel dengan mendiskon harga agar lebih fleksibel dan mampu bersaing. "Ini peluang meluaskan pasar," katanya. Eri mengklaim, akibat penguatan dolar, mebel Jepara bisa berkompetisi dengan produk asal Cina, yang juga terpapar pelemahan yuan terhadap dolar.
Kondisi sebaliknya terjadi bagi industri yang menggantungkan pada produk impor dan banyak berutang dalam dolar, sedangkan penerimaannya sepenuhnya dalam rupiah. Maskapai penerbangan seperti PT Garuda Indonesia dan Lion Air adalah beberapa yang merana karena harus mencicil pembelian pesawat. Kondisi serupa dialami produsen baja, semacam PT Krakatau Steel, yang tertekan akibat impor bahan baku slab, atau industri percetakan dan media yang menggunakan kertas impor.
UNTUK meredam rupiah yang lesu darah, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan kali ini bank sentral tidak akan mengambil opsi menaikkan suku bunga. Langkah yang dipilih BI justru mendorong pemerintah menggenjot ekspor. Otoritas moneter itu rajin mengintervensi pasar Surat Utang Negara serta mendorong swasta mengerem dan memagari utang luar negeri mereka melalui hedging atau perjanjian lindung nilai.
Utang luar negeri swasta memang dianggap sebagai salah satu biang melemahnya rupiah. Repotnya, dari total utang luar negeri swasta sebesar US$ 161 miliar, hanya 13,6 persen yang di-hedging. Ini mengakibatkan kebutuhan dolar membesar untuk melunasi utang yang jatuh tempo pada akhir 2014.
Dari sisi pemerintah, dalam beberapa kesempatan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan suku bunga yang ditetapkan BI saat ini sudah cukup tinggi dan tak perlu lagi dinaikkan lagi. Untuk membantu sektor riil agar bisa lebih leluasa bernapas, Kalla berjanji akan memberikan insentif bagi eksportir berupa pembebasan pajak penghasilan badan (tax holiday) hingga fasilitas pengurangan pajak penghasilan neto (tax allowance).
Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, sektor yang diprioritaskan diberi insentif adalah manufaktur, yang dianggap tumbuh baik sejak tahun lalu. "Tidak jadi masalah meski bahan bakunya impor. Ketika menjual, permintaannya akan meningkat," ujarnya. Strategi lain dilakukan dengan menggeber investasi melalui proyek-proyek infrastruktur dan energi, misalnya proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt.
Janji pemerintah tentu ditunggu oleh eksportir seperti Sujatmiko. Jika tak dipenuhi, peluang menggenjot ekspor dengan memanfaatkan momentum penguatan nilai tukar dolar akan terlewat sia-sia.
Akbar Tri Kurniawan, Odelia Sinaga, Suardi Gattang (Pinrang), Farah Fuadona (Kudus), Edi Faisol (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo