ADA siang, ada malam. Ada senang, ada malang. Itulah hidup. Para taipan bisnis Indonesia, yang dulu sering masuk daftar pembayar pajak terbesar, seraya menebar senyum lebar di media massa, kini bagai pesakitan. Mereka tetap masuk koran, walau judul beritanya berbeda 180 derajat: daftar pengutang terbesar Republik Indonesia. Pekan lalu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memasang iklan tiga perempat halaman di koran-koran yang berisi panggilan untuk sang konglomerat agar melunasi utang triliunan rupiah. Nasib sang konglomerat persis sama dengan para penunggak kartu kredit atau nasabah yang tidak kuat lagi meneruskan cicilan mobil murah.
Di halaman iklan itu ada nama Prajogo Pangestu, bos Barito Pacific, yang pernah duduk di peringkat ke-3 pembayar pajak terbesar. Ada juga kakak beradik Bambang Trihatmodjo dan Hutomo (Tommy) Mandala Putera, yang pernah jadi pembayar pajak nomor 8 dan 9. Selain BPPN, bank pemerintah dan bank take over juga memanggil pengutang kategori 3 dan 4 (pengutang yang tak bayar bunga selama enam bulan). Dari utang macet yang kini ditangani BPPN senilai Rp 107 triliun itu, sebagian besar berada di tangan 20 debitur kakap. Urutan pertama ditempati PT Gerak Maju, anak perusahaan Mantrust, walau belum jelas berapa besar utangnya. Yang pasti, PT Margabumi Matraraya yang berada di posisi ke-4 saja punya utang Rp 3 triliun. Sedangkan urutan terendah PT Gema Lapik, produsen sepatu Adidas, berutang Rp 200 miliar.
Tak sedikit pengusaha yang marah dengan cara panggilan seperti itu. Namun, BPPN punya banyak alasan. Urusan utang ini sebetulnya sudah lama ditangani BPPN, tapi banyak pengutang yang tak mengacuhkannya, seperti tak punya niat menyelesaikan utangnya. Menurut Deputi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN bidang Perbankan, Markus Parmadi, paling hanya 60 persen debitur yang masih punya niat membayar utangnya. Sisanya tak jelas benar niatnya membayar utang.
Banyak juga debitur yang menolak kalau kreditnya dikategorikan macet. Bos Grup Texmaco, Marimutu Sinivasan, yang berutang US$ 900 juta ke bank-bank BUMN, merasa bahwa beban utang macet ini bukan melulu kesalahan manajemen pengutang, tapi ada juga karena pengaruh krisis moneter. ''Semua utang macet karena krisis. Mana ada, sih, perusahaan yang masih mampu bayar cicilan bunga," kata Marimutu kepada Wenseslaus Manggut dari TEMPO. Tapi, menurut pejabat BPPN, sesuai dengan data yang diajukan oleh bank-bank BUMN, utang Texmaco memang macet dan karena itu diserahkan ke BPPN.
Pemerintah kali ini kelihatan tak mau tanggung-tanggung. ''Ini baru kick off," kata Menteri Keuangan Bambang Subianto kepada Agus S. Riyanto dari TEMPO. Setelah itu, berbagai proses akan dijalankan: mulai dari restrukturisasi utang sampai pola-pola penyelesaian yang lain, seperti debt to equity swap, termasuk kemungkinan perusahaan debitur itu di-BUMN-kan. Langkah ini diyakini akan dapat memutar kembali roda ekonomi yang sekarang macet.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional pun sepertinya sigap menyambut niat pemerintah. Sumber TEMPO di BPPN mengungkapkan bahwa waktu para pengusaha itu untuk membuat rencana kerja (business plan) cuma empat hari. Artinya, pekan ini rencana kerjanya sudah harus siap. Rencana itu berisi jadwal berapa lama pengusaha dapat membayar utangnya, jumlah bunga yang akan dibayar, dan lainnya. ''Kekejaman" BPPN ini kontan membuat para pengusaha kaget. Waktu empat hari tadi dianggap sempit dan ada pengusaha yang minta waktu dua minggu. Tapi sumber TEMPO di BPPN tetap menunjukkan sikap ''keras". ''Utang itu tidak dibikin kemarin sore. Jika mereka tidak siap pekan ini, hal itu menunjukkan mereka memang tak punya niat menyelesaikannya," kata sumber tersebut. BPPN tetap tak peduli dan batas waktu itu tak boleh dilampaui.
Sikap BPPN ini berlawanan benar dibandingkan dengan pada April lalu. Waktu itu, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita sudah berjanji untuk mengumumkan nama 20 debitur kelas kakap. Namun, dengan berbagai alasan, tak sepotong nama pun keluar dari mulut Ginandjar. Ketika nama-nama itu bocor ke pers, BPPN pun melakukan gerakan tutup mulut. Tiba-tiba, sekarang, nama pengutang yang diumumkan tak cuma 20 debitur itu, melainkan lebih dari 1.200 nama. Tak jelas siapa yang ''mengompori" pemerintah. Padahal, IMF pun dalam letter of intent yang diteken bulan lalu memberi batas waktu akhir Juni untuk penyelesaian utang macet ini.
Jangan-jangan soal debitur ''bandel" ini pun sudah dijadikan komoditas politik oleh pemerintah Habibie, begitu dugaan sementara pengamat. Apalagi, pada hari-hari terakhir kampanye, Partai Golkar, yang mencalonkan Habibie sebagai presiden lagi, makin jelas tak mendapat tempat di hati rakyat. Partai itu dihujat dan diserang di beberapa kota. ''Manuver" itu dianggap satu paket dengan keberangkatan Jaksa Agung Ghalib dan Menteri Kehakiman Muladi ke Swiss dan Austria untuk melacak harta Soeharto, yang hasilnya tak memuaskan itu. Menteri Bambang Subianto menolak dugaan ini. ''BPPN perlu waktu untuk menyiapkan infrastrukturnya karena yang diurus sangat banyak," katanya.
Selain sangat banyak yang diurus, trik-trik nakal pengusaha dalam kasus kredit macet ini sangat memusingkan. Sekarang ini, pengusaha yang punya niat baik membayar utang adalah mereka yang benar-benar tertimpa krisis dan usahanya jeblok. Pengusaha lain bahkan ada yang investasinya dibiayai oleh bank. Ibaratnya mereka cuma modal dengkul, misalnya ada perusahaan petrokimia yang modal setornya pun berasal dari utang. Ada pula perusahaan fiktif yang didirikan untuk mendapatkan pinjaman?modus sangat biasa pada saat Indonesia kelebihan likuiditas pada 1980-an.
Yang menjengkelkan, debitur ''busuk" itu ternyata bukan tak mampu, tapi tak mau membayar utang. Banyak pengusaha yang berutang di atas US$ 1 miliar masih bisa hidup di rumah yang mentereng di Pondok Indah atau kawasan Menteng, punya mobil yang harganya di atas Rp 1 miliar, dan masih rutin mengayun stick golf. Utang seolah bagian ''gaya hidup", bukan hal berat, toh semua bisa diatur.
Sungguh luar biasa karena di antara pengutang ''berat" itu ternyata masih ada yang mampu membeli perusahaan. Prajogo Pangestu, misalnya, pekan lalu membeli 31,22 persen saham Tri Polyta dari tangan Bambang Trihatmodjo (Bimantara) dan sejumlah pemegang saham lain. Pembelian ini menjadikannya pemegang saham mayoritas dengan 57 persen. Dengan harga Rp 1.700 selembar, berarti Prajogo mengucurkan sekitar Rp 212 miliar. Padahal, utangnya lewat Barito Pacific sekitar Rp 3 triliun, plus US$ 900 juta melalui Chandra Asri.
Persoalan ditambah lagi oleh bank-bank pemerintah yang ''tak rela" melepas data nasabahnya ke BPPN. Bahkan sampai detik-detik terakhir, bank pemerintah cuma menyerahkan nama dan jumlah utang debiturnya. Dengan data begitu minim, BPPN tak bisa mengetahui posisi utang setiap debitur, apalagi data tentang perjanjian kredit, agunan, dan lainnya.
Akibat data yang seret, masalah debitur mana saja yang tergolong berutang kakap bisa seperti timbul-tenggelam. Contohnya ketika pemerintah mengungkapkan 20 debitur kakap, April lalu, nama PT Gerak Maju tak muncul sama sekali. Tiba-tiba dalam pengumuman BPPN pekan lalu, perusahaan ini malah nangkring di peringkat pertama. Seorang analis menduga persoalan begini tak cuma disebabkan oleh ketidakmampuan debitur menyelesaikan utangnya. Bisa saja akibat bank pemberi kredit yang tidak profesional atau ''ada main" dengan debiturnya, siapa tahu.
Lihatlah kasus Mantrust. Menurut mantan eksekutifnya, perusahaan yang banyak bergerak di bidang agribisnis ini pada 1993 berutang US$ 650 juta kepada 62 kreditur di dalam dan luar negeri. Yang paling besar utangnya adalah PT Gerak Maju, salah satu anak perusahaan Mantrust. Pada awal 1994, utang itu macet akibat Mantrust kesulitan likuiditas, karena harus membayar pinjaman senilai US$ 300 juta di Amerika Serikat. Akibatnya, utang di dalam negeri terkatung-katung. Ketika itu Mantrust sudah mengerek bendera putih, minta restrukturisasi utang. Namun, menurut sumber TEMPO, jangankan memaksa Mantrust membayar utang, perusahaan ini malah dapat plafondering, utang baru untuk menutup utang lama. Padahal, dengan penjualan domestik Rp 360 miliar dan ekspor US$ 100 juta per tahun, mestinya Mantrust mampu membayar utang. Yang lucu, Gerak Maju yang disebut pengutang terbesar itu sebetulnya cuma pabrik kompos dengan bahan baku ampas tebu. Asetnya tak lebih dari Rp 1 miliar. Lalu, mengapa utangnya begitu besar, itu belum terjawab.
Timor Putera Nasional (TPN) adalah contoh lain. Perusahaan Tommy Soeharto itu mendapat kredit talangan dari BDN tanpa perjanjian yang tegas, terutama soal bunga. Dalam klausul perjanjian kredit sindikasi 16 bank yang diteken 25 Agustus 1997 lalu senilai US$ 690 juta, TPN akan diberi dana talangan oleh BDN (sebagai pimpinan sindikasi bank) sebelum kreditnya cair. BDN kemudian mengucurkan US$ 108 juta sebelum kredit cair. Tapi, akibat krisis, kredit itu tidak dicairkan. Sampai kini, akibat klausul itu, Timor tak membayar bunga, walaupun sudah menerima dana talangan.
Fasilitas L/C (letter of credit) dari BBD, untuk mengimpor 40 ribu sedan Timor dari Korea Selatan, nasibnya juga tak jelas. Fasilitas senilai US$ 387 juta itu diberikan dengan jaminan mobil Timor. Utang L/C itu baru dibayar US$ 160 juta. Padahal, mobil Timor yang tersisa hanya 14 ribu unit, dan kalau terjual semua paling hanya akan mendatangkan US$ 100 juta, jauh dari sisa utang yang US$ 217 juta. Pihak Timor menganggap jatuhnya rupiah ikut merusak bisnisnya. Maka, ''Kami minta kerugian kurs ditanggung bersama," kata salah seorang eksekutif TPN kepada Maha Adi dari TEMPO. Mengapa utang itu tidak diamankan (di-hedging), padahal pada akhir 1997 rupiah sudah mulai loyo? Eksekutif ini tak bersedia menjawab rinci. ''Pokoknya, ada pihak yang tak ingin dilakukan hedging," kata sumber TEMPO yang tahu persis soal ini.
Melihat ruwetnya masalah, penyelesaian kasus demi kasus memang diperlukan. Debitur yang berniat baik menyelesaikan utangnya jelas perlu diberi insentif, umpamanya potongan kredit atau keringanan lain. Bagi debitur yang nakal, jangan-jangan lembaga hukum sandera (gijzeling) bisa dicoba dihidupkan (lihat Opini). Mereka yang dianggap masih punya uang tapi tak mau bayar utang bisa sementara ''kos" di bui, sampai utangnya dilunasi. Jangan-jangan ini resep manjur.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini