Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mukjizat

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haruskah kita selalu menyalahkan harapan? Saya ada dalam arus manusia di jalan-jalan itu. Saya berada dalam sebuah kampanye politik yang tanpa kemarahan, tanpa kebencian, mirip sebuah Mardi Gras yang gembira dan berjela-jela. Di sebuah jalan di Jakarta Tengah, ribuan anggota PAN bersisipan dengan puluhan anggota Partai Republik, jubelan anggota PDI Perjuangan bersisipan dengan Partai Masyumi. Kendaraan bisa bersentuhan, tapi tak ada caci maki. Di sebuah sudut di Matraman, para pemuda kampung yang berbendera PPP menanti di tepi jalan, dan menyiramkan air ke orang-orang PAN dan Partai Keadilan yang naik kendaraan terbuka, tapi kedua pihak saling tertawa. Sebuah bus penuh dengan anggota PDI Perjuangan memberi tempat kepada seorang anggota PRD yang melambai-lambaikan bendera partainya, sendirian. Peserta kampanye partai yang satu tampak saling bertukar stiker dengan partisipan partai yang lain. Selama beberapa hari menjelang Pemilu 1999, dua tiga juta manusia tumpah ke jalan, hiruk pikuk, menabuh apa saja yang brisik, memakai topeng, mengecat wajah, berteriak-teriak seperti suporter tim bola menjelang sebuah pertandingan final. Tapi ada yang berbeda antara mereka dan, misalnya, suporter Persebaya. Di hari itu pendukung sebuah partai yang besar tak mengejek penyokong partai yang kecil, dan partai yang kecil tak gentar bersaing dengan partai yang pawainya lebih gemuruh. Saya lihat mobil berbendera PUDI atau Bulan Bintang yang hanya beberapa biji itu lalu-lalang, dengan semangat yang tak kalah seru. Saya menemukan sesuatu yang amat berarti: di jalanan ini, yang kecil pun punya harga diri, dan sama derajatnya untuk dilihat dan didengar. Ajaib. Justru dalam suasana kompetisi politik yang tinggi dan menentukan, Indonesia berada di satu momen liberté , egalité , fraternité …. Pernah saya kira peradaban mustahil lahir di jalanan Indonesia. Betapa keliru. Arief Budiman, yang mengikuti kampanye PAN dengan naik sepeda motor dan esoknya melebur diri dalam prosesi PDI Perjuangan, mencatat: di sela beratus ribu orang yang bergerak itu, para pedagang asongan berjualan air minum atau lambang partai. Tak ada seorang pembeli pun yang tak segera membayar. Di beberapa perempatan, konvoi bus dan truk yang penuh panji-panji gagah itu dengan tertib berhenti bila lampu merah menyala. Tak ada tiang jalan yang rusak, toko yang pecah kaca etalasenya, pot kembang yang hancur. Bentrokan memang terjadi, secara sporadis, di pelbagai tempat sepekan sebelum hari memilih, tapi jumlah orang yang tewas karena permusuhan dalam Pemilu 1999 hanya sekitar 5 persen dibanding dengan korban tahun 1997—ketika Presiden Soeharto mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Memang ada sejumlah orang yang menyerang parade Golkar di beberapa jalan Jakarta, ada sepeda motor yang dibakar, ada rumah yang dihanguskan di Ujungpandang, tapi kekerasan ini tak sampai memercikkan api onar yang merusak, seperti di sekian banyak peristiwa huru-hara. Peradaban ternyata lahir di jalanan Indonesia. Tapi haruskah kita percaya kepada harapan? Sejak Mei 1998, Indonesia terdiri dari sebuah deretan laporan tentang kekejian. Sejumlah perempuan diperkosa di Jakarta, sejumlah kepala orang Madura dipotong di Kalimantan Barat, beberapa puluh leher ditebas dan perut dirobek di Ambon, beberapa puluh rumah peribadatan dibakar di Jakarta atau Kupang. Kemudian, begitu pemilihan umum yang baru disiapkan, di Jawa Tengah orang PKB berhantam dengan orang PPP, di Bali orang PDI bentrok dengan orang Golkar. Suasana tegang, mencemaskan. Tiba-tiba, April 1999, sebuah bom meledak di Masjid Istiqlal. "Inilah saatnya Indonesia berakhir," kata seorang bankir asing yang tinggal di Jakarta. Ia menduga bahwa segera setelah perusakan itu akan ada gelombang pembalasan, dan gereja-gereja akan dibumihanguskan, dan di tempat lain, masjid akan dihabisi. Tetapi kekerasan itu tak ada. "Aku bangga jadi orang Indonesia," saya baca sebuah tulisan yang pendek tapi menyentuh di harian Republika. Sang penulis mencatat apa yang disaksikannya sehari-hari di sekitarnya menjelang kampanye mulai. Para tetangganya dengan riang datang mendaftar untuk jadi pemilih. Seorang kenalannya yang keturunan Cina jadi pendukung PKB yang dipimpin para ulama NU. Seorang temannya, seorang perempuan Kristen, jadi aktivis PAN, partai yang dipimpin seorang tokoh Muhammadiyah. Suasana beginilah yang terasa ketika umat Islam arif dan tenang ketika Masjid Istiqlal dirusak. Aku bangga jadi orang Indonesia—dan pada momen seperti yang saya alami di jalanan itu, ucapan itu tak terasa berlebihan. "Sejak itu," kata seorang muda kepada saya, mendengar bahwa tak ada huru-hara terjadi setelah bom meledak di Istiqlal, "saya tahu bahwa Indonesia tidak berakhir. Sejak itu saya tahu harapan mungkin." Bisakah kita menyalahkan harapan? Ada di antara kita yang membaca kisah tentang negeri yang bergolak dan berubah, ada di antara kita yang berpikir dan mendapatkan skenario tentang masa depan. Mereka umumnya akan memperingatkan kita: "Tunggu dulu. Harapan tidak bisa disalahkan, tetapi mukjizat di hari ini adalah nonsens". Mereka ini—yang meninjau sejarah dari luar—tak menghayati apa yang agaknya bisa disebut sebagai "detak Utopia" dalam sebuah aksi politik. Dalam detak itu, segala hal yang indah jadi benar. Mungkin inilah yang dimaksud Alain Badiou ketika ia mengatakan bahwa mukjizat bisa terjadi: dalam sejarah ada yang disebut "kejadian" (l'é vé nement), sesuatu yang kemudian memang bisa dianalisis sebab dan arahnya, tetapi pada saat terjadi, ia seakan-akan datang dari suwung, terutama bila kita mengalaminya dari dalam situasi (laku) itu sendiri. Revolusi Oktober adalah "kejadian" seperti itu. Yang kemudian sering jadi hambar dan mengecewakan ialah bila "kejadian" itu dibentuk sebagai wujud yang langgeng, seperti yang dilakukan Stalin. Para analis kemudian memandangnya sebagai kesia-siaan sebuah mimpi—dan mereka pun menyudahi tiap detak Utopia dari laku kita. Tapi, setelah hari itu, bisakah saya menyalahkan Utopia itu? Rasanya tidak. Tiap "kejadian" membentuk dalam diri kita sebuah subyek, yang tak lagi cair dan netral. Hari itu kita bisa mempraktekkan perbedaan dan persaingan dengan riuh-rendah tapi damai dan peradaban lahir dan yang indah jadi benar. Hari itu mengubah kita. Dan dari sini kita akan berjalan lagi—tahu bahwa dalam mukjizat bukan sesuatu yang hanya dinanti-nanti. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus