Ujian pertama telah lewat. Ingar-bingar kampanye ternyata tak sejengkal pun mampu menggeser rupiah. Lebih dari dua pekan ini, nilai tukar rupiah tetap bertahan di kisaran Rp 8.000-8.200 per dolar AS. Alhamdulillah.
Tapi jangan kelewat gembira. Batu rintangan belum berakhir. Dalam tiga bulan ke depan, rupiah akan terus diuji. Para analis keuangan menilai, pada masa itu, nasib rupiah akan sepenuhnya bergantung pada bandul politik: hasil pemungutan suara yang digelar Senin ini dan reaksi-reaksi yang akan muncul setelah itu.
Sebagian analis berpendapat, situasi akan mengkhawatirkan jika partai yang prokekuasaan-lama memenangi pemilu. Tudingan bahwa pemilu tidak jujur dan adil akan lantang terdengar. Gelombang protes dan kekecewaan bisa meletup dan memicu kerusuhan sosial. Karena itu, ''Habibie jangan menang, deh," kata seorang ekonom di Jakarta.
Tapi seorang pengelola dana investasi justru berpendapat sebaliknya. Katanya, pasar malah akan bereaksi jika pemimpin baru kelak seseorang yang sulit diraba sepak terjangnya. ''Lebih baik berurusan dengan setan yang dikenal," katanya, ''ketimbang dengan sebuah makhluk yang tak jelas setan atau bukan."
Reaksi yang 180 derajat bertolak belakang ini bisa menjadi cermin bahwa, apa pun hasilnya, pemilu menaikkan risiko ketidakpastian politik. Pertanyaannya bukan cuma pada siapa yang akan memenangi pemilu, tapi juga pada ekses dari kevakuman kekuasaan hingga bagaimana pemerintahan baru terbentuk, kelak.
Hanya, para analis sepakat, risiko ketidakpastian itu sudah diperkirakan. Para pemain pasar uang telah mendiskon risiko politik pada nilai tukar rupiah saat ini. Jadi, kalaupun pecah keributan, daya hancurnya terhadap rupiah tak akan terlalu besar.
Apalagi, secara finansial, kelancaran pemerintahan tak akan terganggu. Tahun ini, seluruh anggaran negara masih dibiayai pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Selama duit dua lembaga donor dunia ini mengalir, roda pemerintahan tetap berjalan. ''Paling apes, harga dolar melonjak jadi Rp 10 ribu," kata Goei Siauw Hong, analis saham termahal Indonesia yang kini beroperasi di Singapura.
Keyakinan ini didukung dugaan bahwa nafsu spekulasi pemain kakap terhadap rupiah hampir padam. Menurut bacaan kaca kristal para peramal kurs, jumlah rupiah yang beredar di luar negeri sudah makin menyusut. Artinya, stok peluru untuk menyerang rupiah makin terbatas.
Akses yang tersedia bagi spekulan asing untuk menjala rupiah dari dalam negeri juga makin berbelit. ''Tak banyak lagi bank kita yang punya hubungan dengan bank-bank luar negeri," kata seorang bankir senior. Singkat kata, ruang gerak spekulan asing terhadap rupiah benar-benar terbatas. Ini akan menghalangi nafsu para juragan duit untuk menggayang rupiah, kendati hasil-hasil pemilu diikuti dengan kerusuhan.
Sebaliknya, jika hasil pemilu bisa diterima dengan ikhlas, dan pergantian kekuasaan berjalan dengan mulus, arus masuk investasi asing akan datang menderas. Para analis memperkirakan, mereka akan menyerbu saham di bursa Jakarta ataupun mengail keuntungan dari beternak deposito rupiah. (Lihat boks.) Jika ini terjadi, ''Target harga dolar Rp 7.000 tak akan sulit dicapai," kata Adrew Dermot-Fung, ekonom regional di Bank Standard Chartered Singapura. Siauw Hong bahkan lebih yakin bahwa harga dolar bisa didesak sampai Rp 6.000.
Lebih kuat dari itu? Tampaknya sulit. Ada yang mengkhawatirkan, kinerja ekspor akan terancam jika rupiah menguat terlalu kencang. Kenaikan nilai tukar rupiah akan mendongkrak biaya produksi dan sekaligus memompa harga jual produk kita di luar negeri. Di kertas, ini akan menurunkan daya saing. Gangguan terhadap kinerja ekspor bakal mengurangi pendapatan devisa, yang bisa mengancam daya tahan rupiah.
Untunglah, sejauh ini, fakta menunjukkan bahwa sampai tingkat tertentu kenaikan harga rupiah tak menurunkan kinerja ekspor. Pertengahan tahun lalu, ketika harga dolar ada di kisaran Rp 13.500-15.500, nilai ekspor sekitar US$ 4,5 miliar per bulan, sedangkan impor cuma setengahnya.
Nah, awal tahun ini, ketika harga dolar bisa ditekan sampai Rp 8.000, nilai ekspor cuma sedikit merayap turun menjadi US$ 3 miliar sampai US$ 3,9 miliar. Tapi impornya juga tak beranjak naik, tetap di bawah US$ 2 miliar. Artinya, kendati nilai rupiah bisa didongkrak dari Rp 15.000 menjadi Rp 8.000 per dolar, ekspor tetap tak terusik. Menurut ahli strategi mata uang dari Citibank Singapura, David Simmons, ini menunjukkan ada cukup ruang bagi rupiah untuk menguat tanpa harus mengganggu kinerja ekspor.
Persoalannya: benarkah tak ada yang mengganggu rupiah? ''Jangan ngelunjak," kata seorang ekonom sambil tertawa. Pemilu dan pergantian kepemimpinan boleh saja berjalan mulus. Kinerja ekspor juga bisa saja tak terganggu dengan kenaikan nilai tukar rupiah. Tapi perekonomian Indonesia tetap menyimpan risiko besar.
Kepada Reuters Television, Kepala Riset Ekonomi Merrill Lynch Singapura, William Belchere, mengingatkan bahwa Indonesia terancam defisit anggaran. Dengan beban rekapitalisasi bank begitu besar, sekitar US$ 50 miliar, defisit anggaran akan menjadi bom waktu yang sulit diselesaikan dalam jangka dua-tiga tahun mendatang. ''Tanpa gejolak politik pun, dalam jangka menengah, rupiah akan tetap bergejolak," katanya.
Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, Iwan SetiawanÄÿ}
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini