INI bukan cerita telenovela, bukan pula lirik lagu cengeng. Ini buntut dari sebuah keputusan yang terburu-buru. Gara-gara pemerintah mengambil alih beberapa bank swasta, belanja negara membengkak luar biasa besar untuk sebuah pengeluaran yang tak ada gunanya.
Ceritanya bermula ketika pemerintah menasionalisasi tujuh bank swasta yang tak lolos saringan program rekapitalisasi, Maret lalu. Bank-bank ini sebenarnya tak layak dipertahankan hidup, sebagian karena kualitas asetnya begitu buruk sehingga sulit diperbaiki, sebagian lagi lantaran prospek usahanya suram atau pemiliknya tak mampu menyetor tambahan modal.
Tujuh bank ini diselamatkan hanya karena satu alasan: nasabahnya besar, lebih dari 80.000 rekening. Jika mereka ditutup, Menteri Keuangan Bambang Subianto khawatir, "Lalu lintas transaksi dan pembayaran dalam masyarakat akan terganggu."
Nah, berdasarkan hasil uji tuntas (due diligence) auditor internasional, ketujuh bank ini bisa dihidupkan kembali dengan injeksi modal Rp 5,2 triliun. Kalkulasi ini dihitung berdasarkan laporan keuangan akhir tahun 1998. Tapi, dua pekan lalu, berdasarkan audit terakhir tanggal 31 Maret 1999, kebutuhan suntikan modal melambung, jangan kaget, lebih dari dua kali lipat. Hanya dalam tempo tiga bulan, kinerja ketujuh bank ini merosot begitu rupa sehingga memerlukan tambahan kapital Rp 12,1 triliun.
Apa yang terjadi? Pada masa sulit seperti sekarang, kinerja bank memburuk bukan kejadian luar biasa. Dalam tiga bulan pertama 1999, sejumlah indikator makroekonomi boleh dibilang memang sedikit memburuk. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI), misalnya, merayap naik dari 35 persen pada awal Januari menjadi 38 persen pada akhir Maret. Kenaikan bunga SBI ini mendongkrak bunga pinjaman antarbank dan bunga deposito, yang akan meningkatkan biaya bank.
Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah juga menurun dari Rp 8.025 pada awal Januari menjadi Rp 8.685 per dolar pada akhir Maret. Kenaikan harga dolar ini meningkatkan risiko kredit dan akhirnya memperburuk kualitas aset bank. Bank harus merogoh cadangan modalnya lebih dalam lagi untuk menutupi biaya bank dan provisi untuk kredit macet.
Akibatnya, kebutuhan injeksi modal bagi bank juga menanjak. Bank-bank BUMN milik pemerintah, misalnya, semula cukup dihidupkan dengan injeksi modal Rp 136 triliun. Tapi, ternyata tiga bulan kemudian diperlukan Rp 233 triliun, atau naik sekitar 70 persen. Bank-bank swasta juga sami mawon. Semula cuma butuh Rp 16 triliun, eh, tak tahunya naik sampai hampir Rp 25 triliun.
Lalu, apa istimewanya kenaikan tambahan modal bagi bank-bank swasta yang diambil alih pemerintah tadi? Mungkin bukan sesuatu yang luar biasa, tapi setidaknya ada dua soal penting yang perlu dicatat. Pertama, lima dari tujuh bank ini diselamatkan dari liang kubur dengan posisi permodalan yang sungguh gawat. Berdasarkan perhitungan rasio modal dengan aset tertimbang menurut risiko alias capital adequacy ratio (CAR), kelima bank ini sudah mendekati minus 25 persen, batas "keramat" yang dijadikan patokan sebuah bank masih bisa dihidupkan atau tidak.
Bank Nusa Nasional (BNN) milik keluarga Bakrie, misalnya, diambil oper dengan catatan CAR-nya minus 24,6 persen. Dengan kondisi yang makin buruk seperti sekarang, bisa dipastikan BNN saat ini beroperasi dengan CAR jauh di bawah minus 25 persen. Jika patuh pada kebijakan pemerintah, BNN mestinya sudah tak bisa ditolong lagi.
Yang lain? Bank Rama, Bank Tamara, Bank Pos, dan Bank Risjad Salim Internasional mestinya juga bernasib sama seperti BNN. Dengan CAR di atas minus 20 persen saat itu, bisa dipastikan bank-bank tadi mestinya sudah tergelincir ke dalam kelompok bank yang tak perlu diselamatkan. Dari segi permodalan, barangkali hanya ada dua dari tujuh bank take-over yang masih bisa dipertimbangkan untuk hidup terus: Bank Duta dan Bank Jaya Internasional.
Itu baru catatan pertama. Yang kedua, kenaikan kebutuhan modal bank-bank take-over ini jauh lebih besar ketimbang kelompok bank lain (lihat grafik). Jika bank-bank lain naik cuma 50 persen sampai 70 persen, bank-bank ini kebutuhannya menanjak sampai 130 persen. Menurut sejumlah analis, ini gambaran dari sejumlah catatan yang kurang sedap dari bank-bank take-over. Salah satunya, sebagian besar dari bank-bank ini dikelola dengan buruk dan tidak prudent (hati-hati).
Menurut analis perbankan wilayah Asia Tenggara dari Socgen Global Equities, Lin Che Wei, kredit macet bank-bank take-over sangat besar, sebagian bahkan karena digangsir pemiliknya sendiri. Menurut catatan TEMPO, sekitar 96 persen kredit dari Bank Pos Nusantara (milik kongsi antara Peter Sondakh dan PT Pos), misalnya, mengalir ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki "majikan" Bank Pos.
Bank Risjad Salim Internasional juga tak jauh berbeda. Bank yang dimiliki oleh Ibrahim Risjad dan Liem Sioe Liong itu mengalirkan hampir 50 persen kreditnya ke kelompok sendiri. Bank Nusa, kendati tak ada angka yang pasti, diyakini juga digerogoti pemiliknya sendiri. Seorang pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memperkirakan, sekitar Rp 2 triliun dari Rp 2,3 triliun kredit BNN mengalir ke perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie dan kawan-kawan.
Gara-gara kredit macetnya terus menggelembung, bank-bank ini harus beroperasi kembang kempis. Sebagian bank membiayai operasinya dengan memperbanyak pinjaman antarbank, sebagian yang lain hidup dengan menggantungkan diri dari bantuan likuiditas Bank Indonesia. BNN, misalnya. Menurut Bank Indonesia, selain menggaet pinjaman antarbank hampir Rp 1 triliun, bank papan tengah ini sudah mencairkan kasbon dari BI sebanyak Rp 3,8 triliun. Ini jauh lebih besar ketimbang dana pihak ketiga yang cuma Rp 3,3 triliun.
Bank Pos juga setali tiga uang. Bank yang punya basis nasabah cukup luas (kantor-kantor cabangnya mendompleng di kantor-kantor pos yang merambah sampai pedesaan) ini hidup dari kucuran bantuan likuiditas Bank Indonesia. Bank papan tengah ini hingga akhir tahun lalu sudah mencairkan kasbon hampir Rp 1 triliun, dua kali lipat dari dana pihak ketiga yang berhasil mereka jala.
Kinerja bank-bank take-over makin parah karena, menurut seseorang di kalangan perbankan, diperburuk oleh praktek-praktek moral hazard ketika bank-bank itu diambil alih pemerintah. Jika semula kredit bermasalah di bank-bank ini masih berkisar antara 60 persen dan 70 persen, katanya, kini sudah membengkak menjadi 80 persen-90 persen. Moral hazard ini terjadi dari dua sisi, baik pengurusan bank maupun debiturnya.
Menurut sumber yang dekat dengan para bankir ini, pengurus bank-bank yang diambil alih pemerintah ini tak lagi punya semangat untuk menuntaskan berbagai borok di bank-bank itu, sedangkan para debitur memanfaatkan situasi itu. "Pengelola bersikap masa bodoh karena bank-bank ini sudah diambil alih pemerintah, sementara para debitur yang dulunya rajin atau berusaha keras membayar utangnya sekarang males-malesan," katanya.
Pertanyaannya kemudian, apakah keputusan pemerintah untuk menyelamatkan bank-bank itu tak perlu dikoreksi? Pemerintah tampaknya memang tak punya pilihan lain. Apa mau dikata, jika pilihan ini diralat, kepercayaan publik terhadap perbankan bisa-bisa kembali merosot. Ini bisa balik menghantam kondisi makroekonomi yang sudah mulai membaik.
Toh, kata Che Wei, jumlah cabang dan nasabah bank-bank ini cukup banyak. Jaringannya juga kuat. Asalkan kondisi ekonomi makro bisa terus diperbaiki, pengawasan dan pengelolaannya diperketat, kualitas aset bank-bank busuk ini bisa dipermak pelan-pelan. Dan kalau itu bisa dilakukan, suatu saat kelak, bank-bank ini mungkin saja bisa dijual ke investor yang berminat.
Jadi, bank-bank itu tampaknya akan tetap diambil alih dan disuntik modal. Tentu saja, untuk menyelamatkan bank-bank dengan kualitas aset yang buruk seperti itu dibutuhkan biaya besar. Bukan tak mungkin, bank-bank ini harus disuntik tambahan modal satu, dua, atau tiga kali lagi, sebelum jadi benar-benar sehat.
Itu artinya, anggaran belanja negara yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk menaikkan gaji pegawai negeri, atau membuat saluran irigasi, kali ini harus diikhlaskan untuk menyehatkan beberapa bank, yang kalaupun ditutup tak akan menimbulkan masalah. Apa boleh buat.
Dwi Setyo, M. Taufiqurohman, dan Agus Hidayat
Kenaikan Biaya Rekapitalisasi (Rp triliun) | Â | 1998 | 1999 |
Bank BUMN Bank swasta Bank take-over | 136,4 15.9 5,2 | 233,2 24.5 12,1 |