Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah sang bankir ditangkap

James semaun, bankir united city bank (ucb) ditangkap. grup raja garuda mas turun tangan mengelola ucb, dengan membeli seluruh saham, serta menyuntikkan modal tambahan sekitar rp 14 milyar.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANGAN kantor direksi PT United City Bank (UCB) tengah dirombak. Beberapa tukang tampak sibuk bekerja di bank yang terletak di pertigaan Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Mangga Besar, Jakarta, itu. Suara pukulan martil para tukang yang sedang menghunjamkan paku ke dinding kamar terdengar cukup riuh. Tapi, suara itu kelihatan tak mengganggu para direksinya bekerja. Bisa jadi karena ada pukulan lain yang terasa lebih keras: berita utama koran The Asian Wall Street Journal 10 April lalu, yang membeberkan ditangkapnya Oen Yin Choy alias James Semaun -- chairman sekaligus pemegang saham terbesar UCB. Choy, menurut koran terbitan Hong Kong itu, ditangkap polisi San Francisco, AS, atas permintaan polisi Hong Kong. Bankir asal Medan ini dicurigai terlibat dalam sejumlah pemberian pinjaman palsu termasuk penyiaran laporan neraca yang tidak benar ketika masih menjadi pimpinan Union Bank Hong Kong. Bank ini sejak tahun lalu sudah dijualnya pada perusahaan Hong Kong, Modern Concepts Limited. Tapi hingga kini, menurut AWSJ, buku bank itu masih menunjukkan catatan piutang sebanyak $ HK 643 juta atau Rp 13 milyar lebih pada 18 pengusaha Indonesia. Kredit yang sudah dikategorikan macet itu diberikan manajemen Union Bank sewaktu dipimpin Choy. Tak cuma itu. Ihwal yang mirip dengan kasus Union Bank juga terjadi di UCB. Akibatnya, bank itu pun dilanda kesulitan keuangan hingga menyebabkan manajemen bank itu, dengan persetujuan Bank Indonesia. Desember 1986, dipindahtangankan dari Choy pada Sukanto Tanoto cs. Jual-beli itu memang sengaja tak didedah ke publik demi nasabah. "Tapi, karena sudah dikorankan, kami terpaksa memberikan penegasan bahwa tak ada lagi saham James Semaun di bank ini," kata Zairyanto, Wakil Dirut PT UCB. Pria bertubuh gemuk ini sebelumnya direktur Bank Tani dan Nelayan. Dialah yang bersama sejumlah bankir profesional lain -- seperti Hikmat Kartadjoemena, bekas kepala perwakilan Chemical Bank Jakarta Eddy Handoko, bekas direktur Citibank Jakarta dan Hans Tedjasaputra, bekas wakil presiden American Express Jakarta, yang kini memegang manajemen baru UCB -- membantu Tjokropranolo yang ditunjuk sebagai dirut. Adalah Sukanto pengusaha kayu lapis juga asal Medan -- bos grup Raja Garuda Mas (RGM) yang menarik mereka untuk mengelola UCB. "Peralihan kepemilikan dan penggantian manajemen itu dilakukan secara baik-baik dan sepengetahuan BI," kata Maryanto Danusapoetro, anggota direksi BI. Dia membenarkan BI memang sempat meneliti ihwal kredit yang diberikan UCB sebelum pengoperan kepemilikan bank itu. "Kesimpulan kami, keadaan loans kurang baik dan collectibilitly-nya kurang lancar," ujar Maryanto. Pemeriksaan BI dilaksanakan Juli 1986. Hasilnya: UCB cuma punya modal sekitar Rp 5 milyar. Jumlah ini sama dengan 18,7% dari modal yang semestinya disediakan guna menutup risiko pemberian pinjaman dan investasi sebuah bank. KREDIT yang sudah diberikan UCB seluruhnya mencapai Rp 75 milyar per 29 Juli 1986. Dari jumlah itu, sekitar 49% atau sekitar Rp 37 milyar tergolong piutang macet. "Piutang itu seluruhnya diberikan pada sekitar 920 peminjam. Tapi, lebih Rp 36 milyar diberikan pada 19 nasabah yang semuanya masih ada hubungan dengan para pemegang saham," kata Zairyanto. Ini kebiasaan yang sering terjadi di sini. "Tak bisa kita cegah, karena memang tak ada ketentuan yang melarang setiap bank memberikan pinjaman pada grup perusahaannya," kata Maryanto. Otonomi pemberian pinjaman sepenuhnya diberikan BI pada bank pelaksana. Mereka hanya dianjurkan agar tak memberikan pinjaman yang jumlahnya lebih dari 15% dari modal kepada seorang nasabah. "BI hanya memberikan peringatan saja pada bank-bank pelaksana, jika batas itu dilanggar," katanya lagi. Dalam kasus UCB, repotnya, tak semua pinjaman itu diberikan lewat penelitian perbankan yang semestinya. Maka, ketika James Semaun diketahui sedang terjepit kesulitan likuiditas, BI segera bertindak: mencari investor baru untuk menolong bank itu. Mula-mula grup Astra berminat. Tapi, setelah tiga bulan mengirimkan stafnya meneliti keadaan UCB, Astra mundur. Ini memang ditunggu Sukanto Tanoto. Orang kayu yang juga pemegang saham terbesar (45%) di Bank Tani dan Nelayan itu lantas membeli seluruh saham UCB. Sukanto memang serius. Dia sudah menyuntikkan modal tambahan sekitar Rp 14 milyar. UCB, yang pada 1985 masih mendapat laba kotor Rp 286 juta lebih, tahun lalu rugi Rp 27 juta. Ini kerugian pertama sejak bank itu, yang merupakan hasil merjer sejumlah bank papan bawah, didirikan lebih dari 14 tahun lalu. Bisakah nama-nama manajer profesional, yang diserahi kepercayaan mengelola uang Raja Garuda Mas, menyehatkan bank itu? Marah Sakti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus