PARA pecandu, silakan terus merokok! Semakin banyak Anda merokok, semakin sehat APBN, sekalipun belum tentu menyehatkan Anda. Dari para perokok, sepanjang tahun anggaran silam yang berakhir 30 Maret lalu, pemerintah berhasil mengumpulkan cukai tembakau Rp 991,3 milyar -- lebih dari cukup untuk membiayai tunjangan beras pegawai negeri dan ABRI yang dianggarkan Rp 482 milyar. Untuk tahun 1987-88 ini, pemerintah berharap cukai tembakau itu jumlahnya akan sama dengan sebelumnya. Mungkinkah hal itu tercapai, mengingat 8 dari 16 jenis tarif cukai tembakau telah diturunkan 2,5% sampai 10% sejak Januari lalu, kemudian diperpanjang lagi sejak April ini hingga September mendatang? "Penurunan tarif itu sudah dipikirkan secara saksama," kata Menkeu Radius Prawiro kepada TEMPO pekan lalu. Penurunan tarif itu memang tidak menyangkut rokok-rokok kretek produksi mesin (SKM) yang menjadi sumber cukai terbesar. SKM masih dikenai tarif lama: 35% dan 37,5% dari harga eceran. Koreksi tarif cukai ini, menurut Menkeu, dilakukan untuk menyesuaikan dengan pertumbuhan tiap jenis produksi. SKM misalnya, tahun silam, masih mencatat pertumbuhan -- sedang SKT (sigaret kretek tangan), dan SPM (sigaret putih mesin) sebaliknya. "Kita melihat SKT terancam bahaya penciutan produksi, yang akan menciutkan tenaga kerja," kata Radius kepada Antosiasmo dari TEMPO. Dengan penurunan tarif itu, Radius memperhitungkan akan terjadi perluasan produk SKT, sehingga target penerimaan cukai akhirnya tidak berkurang. Kebijaksanaan itu tampaknya akan terus dievaluasi, sehingga tarif hanya berlaku 3-6 bulan. Kebijaksanaan cukai baru itu disambut pabrik rokok putih terbesar BAT dengan lega. "Turunnya tarif cukai SPM memungkinkan kami menstabilkan penjualan," kata Direktur Komersial dan Urusan Publik BAT, Kristanto Setyadi. Menurut Kristanto, pasaran rokok putih umumnya telah menciut 25% dalam tiga tahun terakhir, terutama karena sebagian pemadat beralih ke sigaret kretek. "Penjualan BAT, tahun lalu, turun sampai 17%," katanya. Perusahaan asing yang sudah go public itu ternyata masih untung. Bulan Juni mendatang, BAT akan membagikan dividen Rp 100 dari keuntungan tahun lalu yang Rp 130 per saham. Tetapi cukai BAT turun dari Rp 51,3 milyar pada 1984 menjadi Rp 42,7 milyar tahun lalu. Menurut Kristanto, kebijaksanaan penurunan tarif cukai itu belum akan memungkinkan BAT meningkatkan produksi. Malah ada dugaan setoran cukai BAT akan turun sekitar 2,5% tahun ini. Tapi tarif baru itu ternyata tak disambut semua produsen sigaret putih. Direktur PT Pagi Tobacco Company P. Hutabarat di Medan, misalnya. "Yang diuntungkan hanyalah industri besar. Sebab, kini produsen SPM lebih dari 2 milyar batang disamakan dengan produsen 1 milyar," kata bos penghasil rokok putih Peace itu. Di pihak lain, beleid itu juga dinilai tak adil oleh kalangan industri kretek. Sebab, cukai untuk SPM paling tinggi 32,5%, sedangkan cukai untuk SKM adalah 35% dan 37,5%. "Kalau cukai SKM diturunkan, akan banyak menolong di saat pasar lesu seperti ini," kata Yani, Direktur PT Bentoel, perusahan yang lebih banyak menghasilkan SKM daripada SKT. "SKM adalah produksi perusahaan nasional, sedangkan SPM umumnya milik asing," kata Budi Darmawan, Penasihat Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia). Kendati demikian, penurunan cukai SKT mereka sambut dengan baik. Misalnya, PT Agam. Patent dan Wangi, dua merk SKT yang dihasilkan Agam di Pematangsiantar, Sum-Ut, tadinya kena cukai 12,5%, tapi kini hanya dicukai 7,5%. "Sejak tahun silam, kami rugi. Kalah bersaing dengan kretek dari Jawa,"tutur Nazar, juru bicara Agam. Akibatnya, sebagian besar dari 300 karyawan Agam tidak bergaji tetap lagi. Penurunan tarif cukai untuk produk Agam dinilainya merupakan, "Kesempatan untuk menarik konsumen dengan perbaikan mutu." Ternyata, Djambu Bol, perusahaan di Jawa Tengah yang memasarkan produknya sampai ke Kalimantan, dan Sumatera Selatan, berniat serupa. "Penurunan tarif itu kesempatan meningkatkan kualitas," kata H. Baedhowi Ma'ruf, direktur perusahaan yang menghasilkan hampir 2 milyar SKT dan 173,8 juta SKM Djambu Bol tahun silam. "Kalau tarif ini bertahan sampai akhir tahun saja, ada harapan produksi kami naik 15%-20%," tuturnya. Pabrik kretek terbesar kedua, PT Djarum, ternyata bermaksud serupa. "Penurunan 5% 'kan berarti tambahan keuntungan 5%. Itu akan kami kembalikan kepada konsumen dalam bentuk lebih besar dan mutu lebih baik," kata manajer produksi PT Djarum Kudus T. Budi Santoso. Gudang Garam, sementara itu, masih menyusun rencana baru. Yang jelas, raksasa kretek itu akan memperbanyak produksi SKT. "Faktor cukai itu menentukan. Jika bisa berproduksi lebih banyak dengan cukai yang sama, kenapa tidak dimanfaatkan?" kata Juru Bicara Budianto. GG, tahun silam, menghasilkan 11,1 milyar batang SKT, 22,1 milyar batang SKM, dan 0,7 milyar batang kelobot. Cukai yang terkumpul dari para pemadat GG, tahun lalu, mencapai Rp 356 milyar, Rp 109 milyar di atas jumlah cukai GG 1985. Bisa diduga persaingan mencari perokok akan semakin sengit. Mungkinkah rokok kretek produksi tangan berkembang dan sigaret putih kembali merajai pasaran rokok seperti dasawarsa silam? Selera perokok jugalah yang akan menentukan. Max Wangkar Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini