PRESIDEN Soeharto akhirnya menolak permohonan grasi Hiefnie
Effendy, Pemimpin Redaksi mingguan Meranti (d/h Kompas) yang
terbit di Samarinda. Ini berarti, Ketua PWI dan Kepala
Perwakilan LKBN Antara Samarinda itu harus segera menjalani
hukuman kurungan 2 bulan sebagaimana dijatuhkan majelis hakim
Pengadilan Negeri Samarinda 13 Oktober 1971 yang lalu. Baik
keputusan banding maupun tingkat kasasi tidak merubah pendirian
majelis hakim tingkat pertama.
Bagi Hiefnie yang juga koresponden radio Australia, penolakan
grasi itu dianggap sebagai "resiko menegakkan demokrasi murni".
Namun bukan berarti tidak ada yang disesalkannya. Yakni: mengapa
keputusan Presiden bertanggal 26 Juni 1975 itu baru diterima
bulan September tahun berikutnya. Baginya, keterlambatan
penyampaian keputusan saja sudah merupakan musibah tersendiri.
Sebab, itu berarti tertutupnya pintu pencalonan dirinya dalam
Pemilu. Tepat pada saat pencalonan itu ia berada dalam penjara.
Padahal ia merupakan calon tangguh dari PDI untuk anggota DPRD
tingkat I. Jauh-jauh hari koran yang dipimpinnya memang sudah
dipenuhi dengan berita-berita PDI, disebarkan gratis ke
pedalaman dengan nebeng alasan koran masuk desa.
Program koran masuk desa versi Hiefnie ini dipandang punya
tujuan politis. Akibatnya beberapa camat di pedalaman melarang
Meranti beredar di daerahnya, yang oleh Hiefnie dicap
"menghalangi koran masuk desa". Seandainya Hiefnie tidak masuk
penjara mulai Oktober ini, tampaknya PDI merupakan saingan berat
bagi 2 kekuatan politik yang lain. Adakah keterlambatan
datangnya penolakan grasi tersebut disengaja pula? Hiefnie
sendiri tidak bersedia berkomentar. Yang jelas, ia sekarang
sudah mengundurkan diri dari pencalonan. "Dan segera istirahat
panjang di penjara sebagai resiko menegakkan demokrasi murni",
ujarnya.
Akan halnya "menegakkan demokrasi murni" itu, kisahnya bermula
begini. Bulan Maret 1971 (saat kampanye Pemilu 1971) ia
melakukan kunjungan jurnalistik ke Sabah. Urusan redaksionil
sehari-hari ia serahkan kepada redaksi pelaksana. Ketika itulah
artikel Suara Kaum Ibu di lembaga-lembaga Legislatif Daerah yang
ditulis oleh Galuh Surjati Achmad Ka sampai di meja redaksi lalu
dimuat di halaman II edisi 14 Maret 1971.
Tidak Tjantik
Meskipun artikel itu hanya terbit di sebuah mingguan selebar
folio dengan tehnik cetak stensil, ternyata mampu mengail reaksi
keras. Dan akhirnya sampai ke pengadilan. Maklumlah, nada
tulisannya memang keras. Sasaran pokoknya: anggota-anggota DPRD
wanita khususnya dari fraksi Karya. Apalagi saat itu sedang
hangat-hangatnya masa kampanye. Artikel itu antara lain mengecam
ketidak-beranian para anggota DPRD wanita dalam mengemukakan
pendapat. Bahkan ada kalimat yang terasa kasar seperti: "Mereka
hanyalah menjadi pendengar-pendengar dan bahkan sekedar dianggap
'penjedap mata' dari kelelahan bagi bapak-bapak anggota DPRD
lainnya".
Kalimat lain yang tentu saja bikin merah telinga, misalnya:
"Apakah ini disebabkan karena organisasi-organisasi wanita non
parpol ini hanja merupakan organisasi ibu-ibu pedjabat sadja....
Sedang kita melihat banjak ibu-ibu pegawai rendahan yang tjakap
bahkan berpengetahuan tinggi. Tetapi karena tidak tjantik dan
atau tidak punja perhiasan jang tjukup.... maka lantas ia tidak
ditonjolkan....".
Dan panjang lagi. Maka Majelis Hakim pun beranggapan: artikel
itu terbukti merupakan penghinaan terhadap lembaga legislatif di
daerah Kaltim seperti diatur dalam KUHP pasal 207 yang juga
dikenakan terhadap Pemred Nusantara TD Hafas dan Alwy Hamu
Pemred Harian Kami Makassar yang waktu penyidangannya pun hampir
bersamaan. Dalam sidang-sidang, Hiefnie bersikeras tidak mau
memberitahukan siapa penulis sebenarnya -- sesuai dengan Kode
Etik Jurnalistik. Tapi menitik gayanya, beberapa pembaca menduga
bahwa Hiefnie sendirilah penulisnya. Tapi siapa pun penulisnya,
toh Hiefnielah, sebagai pemimpin redaksi, yang harus
bertanggungjawab. Dan karena saat itu masih aktivis PNI, ia pun
memilih berhenti dari kepegawaian.
Bak orang jatuh ketimpa tangga, begitulah nasib yang akan
dialami Hiefnie. Meskipun tak ada hubungannya dengan soal
artikel, belakangan mulai santer terdengar suara-suara agar
Hiefnie dijatuhkan dari jabatan Ketua PWI Samarinda (d/h PWI
Diah). Ia dipandang "tidak komunikatif" dengan wartawan-wartawan
daerah. Istilah populernya: mementingkan klieknya sendiri.
Adakah tuduhan itu memang terbukti?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini