Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Setelah Si Meranti Masuk Desa

Presiden soeharto menolak grasi hiefnie effendy, pemimpin redaksi mingguan meranti, samarinda, kalimantan. sebuah artikel dalam majalah tersebut, dinilai sebagai penghinaan tehadap lembaga legislatif kal-tim. (md)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Soeharto akhirnya menolak permohonan grasi Hiefnie Effendy, Pemimpin Redaksi mingguan Meranti (d/h Kompas) yang terbit di Samarinda. Ini berarti, Ketua PWI dan Kepala Perwakilan LKBN Antara Samarinda itu harus segera menjalani hukuman kurungan 2 bulan sebagaimana dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda 13 Oktober 1971 yang lalu. Baik keputusan banding maupun tingkat kasasi tidak merubah pendirian majelis hakim tingkat pertama. Bagi Hiefnie yang juga koresponden radio Australia, penolakan grasi itu dianggap sebagai "resiko menegakkan demokrasi murni". Namun bukan berarti tidak ada yang disesalkannya. Yakni: mengapa keputusan Presiden bertanggal 26 Juni 1975 itu baru diterima bulan September tahun berikutnya. Baginya, keterlambatan penyampaian keputusan saja sudah merupakan musibah tersendiri. Sebab, itu berarti tertutupnya pintu pencalonan dirinya dalam Pemilu. Tepat pada saat pencalonan itu ia berada dalam penjara. Padahal ia merupakan calon tangguh dari PDI untuk anggota DPRD tingkat I. Jauh-jauh hari koran yang dipimpinnya memang sudah dipenuhi dengan berita-berita PDI, disebarkan gratis ke pedalaman dengan nebeng alasan koran masuk desa. Program koran masuk desa versi Hiefnie ini dipandang punya tujuan politis. Akibatnya beberapa camat di pedalaman melarang Meranti beredar di daerahnya, yang oleh Hiefnie dicap "menghalangi koran masuk desa". Seandainya Hiefnie tidak masuk penjara mulai Oktober ini, tampaknya PDI merupakan saingan berat bagi 2 kekuatan politik yang lain. Adakah keterlambatan datangnya penolakan grasi tersebut disengaja pula? Hiefnie sendiri tidak bersedia berkomentar. Yang jelas, ia sekarang sudah mengundurkan diri dari pencalonan. "Dan segera istirahat panjang di penjara sebagai resiko menegakkan demokrasi murni", ujarnya. Akan halnya "menegakkan demokrasi murni" itu, kisahnya bermula begini. Bulan Maret 1971 (saat kampanye Pemilu 1971) ia melakukan kunjungan jurnalistik ke Sabah. Urusan redaksionil sehari-hari ia serahkan kepada redaksi pelaksana. Ketika itulah artikel Suara Kaum Ibu di lembaga-lembaga Legislatif Daerah yang ditulis oleh Galuh Surjati Achmad Ka sampai di meja redaksi lalu dimuat di halaman II edisi 14 Maret 1971. Tidak Tjantik Meskipun artikel itu hanya terbit di sebuah mingguan selebar folio dengan tehnik cetak stensil, ternyata mampu mengail reaksi keras. Dan akhirnya sampai ke pengadilan. Maklumlah, nada tulisannya memang keras. Sasaran pokoknya: anggota-anggota DPRD wanita khususnya dari fraksi Karya. Apalagi saat itu sedang hangat-hangatnya masa kampanye. Artikel itu antara lain mengecam ketidak-beranian para anggota DPRD wanita dalam mengemukakan pendapat. Bahkan ada kalimat yang terasa kasar seperti: "Mereka hanyalah menjadi pendengar-pendengar dan bahkan sekedar dianggap 'penjedap mata' dari kelelahan bagi bapak-bapak anggota DPRD lainnya". Kalimat lain yang tentu saja bikin merah telinga, misalnya: "Apakah ini disebabkan karena organisasi-organisasi wanita non parpol ini hanja merupakan organisasi ibu-ibu pedjabat sadja.... Sedang kita melihat banjak ibu-ibu pegawai rendahan yang tjakap bahkan berpengetahuan tinggi. Tetapi karena tidak tjantik dan atau tidak punja perhiasan jang tjukup.... maka lantas ia tidak ditonjolkan....". Dan panjang lagi. Maka Majelis Hakim pun beranggapan: artikel itu terbukti merupakan penghinaan terhadap lembaga legislatif di daerah Kaltim seperti diatur dalam KUHP pasal 207 yang juga dikenakan terhadap Pemred Nusantara TD Hafas dan Alwy Hamu Pemred Harian Kami Makassar yang waktu penyidangannya pun hampir bersamaan. Dalam sidang-sidang, Hiefnie bersikeras tidak mau memberitahukan siapa penulis sebenarnya -- sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Tapi menitik gayanya, beberapa pembaca menduga bahwa Hiefnie sendirilah penulisnya. Tapi siapa pun penulisnya, toh Hiefnielah, sebagai pemimpin redaksi, yang harus bertanggungjawab. Dan karena saat itu masih aktivis PNI, ia pun memilih berhenti dari kepegawaian. Bak orang jatuh ketimpa tangga, begitulah nasib yang akan dialami Hiefnie. Meskipun tak ada hubungannya dengan soal artikel, belakangan mulai santer terdengar suara-suara agar Hiefnie dijatuhkan dari jabatan Ketua PWI Samarinda (d/h PWI Diah). Ia dipandang "tidak komunikatif" dengan wartawan-wartawan daerah. Istilah populernya: mementingkan klieknya sendiri. Adakah tuduhan itu memang terbukti?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus