Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tidak untuk ajojing

Band rollies, bandung, akan tampil di teater terbuka tim, jakarta. dinilai band ini masih mencari bentuk yang mantap. rollies mengkombinasikan jazz, rock dan musik klasik. (ms)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN mendapat kunjungan yang berlimpah, band "Rollies" dari Bandung tampil di Teater Terbuka TIM 2 dan 3 Oktober ini. Separuh penggemar rock domestik pernah menyangka bahwa grup ini adalah salah satu raksasa musik pop yang bakal memberikan udara baru bagi perkembangan musik. Harapan diletakkan pada pribadi-pribadi pemain yang mempunyai kecakapan memainkan berbagai alat musik, memiliki latar belakang musik yang serius, serta kemampuan vokal yang merata, termasuk seorang maskot bernama Gito yang selalu berusaha meniadi James Brown Indonesia. Hidup grup ini pernah putus karena adanya persoalan yang menyangkut komposisi pemain. Kini para penggemarnya bilang: "Raksasa itu bangkit lagi". Chicago Lebih dari 10 alat gesek berbaris di belakang mereka untuk memberikan latar yang empuk terhadap musik keras mereka yang kadangkala menyerupai jazz, soul, rock dan klasik. Lagu buka mereka yang pertama adalah sabetan dari album Rick Wakeman yang bernama The Myths ahd Legends of King Arhur. Lagu yang pernah menjadi pujaan remaja ini dibawakan dengan baik serta memberikan kesan pertama yang mantap. Banyak orang terpagut lalu diam-diam mulai mencoba mempercayai anak-anak yang dipimpin oleh Benny Likumahuwa (30 tahun) itu. Dalam penampilan selanjutnya, "Rollies" masih terus mencoba untuk memanfaatkan barisan penopang mereka yang terdiri dari 2 pemain cello, 2 alto, 8 biola. Sehingga awak mereka, yang total jenderal berjumlah 26 orang, telah mencoba mengisi seluruh ruang Teater Halaman dengan bunyi santai campur bunyi-bunyian keras. Sudah dicoba untuk mengadakan komposisi penampilan silih berganti antara yang lembut dan yang keras. Tetapi variasi-variasi tersebut hanya sempat membersitkan kesan bahwa "Rollies" masih hendak mencari bentuk yang mantap. Mereka belum menetapkan warna mereka dengan jelas, kecuali memang kemudian tampak kaya karena telah memainkan berbagai macam kemungkinan dalam diri mereka. Terutama sekali rupa-rupanya mereka bakalan banyak mengandalkan alat-alat tiup. Warna mereka mirip pada jazz rock sebagaimana yang dihasilkan oleh grup "Chicago". Hal ini diakui terang-terangan oleh Benny. "Kalau bisa kami mau menyamai kelompok Chicago". Bedanya, "Rollies" masih memperalat lagu-lagu orang lain, sementara "Chicago" sudah satu dengan lagu-lagu mereka. Menonjol malam itu adalah Bangun Sugito alias Gito, lelaki berambut kribo yang berusia 28 tahun. Vokalis ini memiliki tampang yang cukup komersiil sebagai pajangan di atas panggung. Ia mengenakan seragam putih dengan pita-pita di lehernya. Gerakan-gerakannya luwes dan merangsang. Ia gemar berteriak-teriak, tapi berhasil memberikan interpretasi dan penjiwaan pada lagu-lagu yang dibawakannya sehingga penonton seperti terbawa serta. Ia nyabet lagu James Brown yang bernama Man's World dan kemudian menyanyikan lagu I've been loving too long yang penuh dengan variasi. Orang tidak peduli lagi apakah ia masih doyan narkotik yang pernah melahapnya selama 3 tahun. Suaranya yang serak dan lantang serta enerjinya yan berlimpah-limpah seringkali terlalu diobral, sehingga kadangkala ia lebih terasa menyanyi untuk memuaskan, dirinya sendiri daripada untuk didengarkan penontonnya. Tapi Gito tak ayal lagi merupakan tontonan yang menarik, di samping Delly Joko yang duduk dengan tenangnya menunggui "keyboard". Suaranya bagus, sopan tetapi memikat, merupakan kunci penenang suasana manakala sudah habis diobrak-abrik Gito. Ajojing Malam itu sempat pula sebuah lagu buah tangan Stravinsky yang berjudul Fire Bird dari khazanah klasik diturunkan. Benny yang kurus jangkung dengan pakaian yang menyilaukan, berdiri dengan seriusnya memimpin alat-alat gesek, sementara rekan-rekannya kemudian masuk memberikan aksentuasi yang merubah lagu klasik itu menjadi separuh panas. Banyak juga yang mengantuk karena sebelumnya mengharapkan Rollies akan terus mendentum-dentum. Tapi sementara para pengamat musik, kelihatannya bisa menghargai usaha-usaha Rollies dalam mencari warnanya sendiri. Apalagi mereka tidak lupa untuk mempersembahkan sebuah lagu Indonesia karangan mereka sendiri yang bernama Setangkai Bunga yang manis dan mengarah lagu-lagu jenis "hiburan" pribumi dari kelas yang "mantap". Penampilan "Rollies" yang kuyup hujan pada malam kedua masih merupakan tanda-tanya. Karena mereka sendiri tidak dengan jelas menggariskan musiknya sehingga para peminatnya pun masih meraba-raba. Naga-naganya mereka akan mengawinkan jazz, rock dan musik klasik. Mereka yang suka lagu-lagu untuk "ajojing" tidak akan lama tertarik pada grup ini. Tetapi penonton yang suka menikmati musik sebagai musik, mungkin akan menganggapnya sebagai sebuah usaha yang berharga. Asal saja Rollies mampu melaksanakan perkawinan itu tidak hanya dalam lagu-lagu berbahasa Ingggeris, tapi lagu-lagu ciptaan mereka sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus