DENGAN mendapat kunjungan yang berlimpah, band "Rollies" dari
Bandung tampil di Teater Terbuka TIM 2 dan 3 Oktober ini.
Separuh penggemar rock domestik pernah menyangka bahwa grup ini
adalah salah satu raksasa musik pop yang bakal memberikan udara
baru bagi perkembangan musik. Harapan diletakkan pada
pribadi-pribadi pemain yang mempunyai kecakapan memainkan
berbagai alat musik, memiliki latar belakang musik yang serius,
serta kemampuan vokal yang merata, termasuk seorang maskot
bernama Gito yang selalu berusaha meniadi James Brown Indonesia.
Hidup grup ini pernah putus karena adanya persoalan yang
menyangkut komposisi pemain. Kini para penggemarnya bilang:
"Raksasa itu bangkit lagi".
Chicago
Lebih dari 10 alat gesek berbaris di belakang mereka untuk
memberikan latar yang empuk terhadap musik keras mereka yang
kadangkala menyerupai jazz, soul, rock dan klasik. Lagu buka
mereka yang pertama adalah sabetan dari album Rick Wakeman yang
bernama The Myths ahd Legends of King Arhur. Lagu yang pernah
menjadi pujaan remaja ini dibawakan dengan baik serta memberikan
kesan pertama yang mantap. Banyak orang terpagut lalu diam-diam
mulai mencoba mempercayai anak-anak yang dipimpin oleh Benny
Likumahuwa (30 tahun) itu.
Dalam penampilan selanjutnya, "Rollies" masih terus mencoba
untuk memanfaatkan barisan penopang mereka yang terdiri dari 2
pemain cello, 2 alto, 8 biola. Sehingga awak mereka, yang total
jenderal berjumlah 26 orang, telah mencoba mengisi seluruh ruang
Teater Halaman dengan bunyi santai campur bunyi-bunyian keras.
Sudah dicoba untuk mengadakan komposisi penampilan silih
berganti antara yang lembut dan yang keras.
Tetapi variasi-variasi tersebut hanya sempat membersitkan kesan
bahwa "Rollies" masih hendak mencari bentuk yang mantap. Mereka
belum menetapkan warna mereka dengan jelas, kecuali memang
kemudian tampak kaya karena telah memainkan berbagai macam
kemungkinan dalam diri mereka. Terutama sekali rupa-rupanya
mereka bakalan banyak mengandalkan alat-alat tiup. Warna mereka
mirip pada jazz rock sebagaimana yang dihasilkan oleh grup
"Chicago". Hal ini diakui terang-terangan oleh Benny. "Kalau
bisa kami mau menyamai kelompok Chicago". Bedanya, "Rollies"
masih memperalat lagu-lagu orang lain, sementara "Chicago" sudah
satu dengan lagu-lagu mereka.
Menonjol malam itu adalah Bangun Sugito alias Gito, lelaki
berambut kribo yang berusia 28 tahun. Vokalis ini memiliki
tampang yang cukup komersiil sebagai pajangan di atas panggung.
Ia mengenakan seragam putih dengan pita-pita di lehernya.
Gerakan-gerakannya luwes dan merangsang. Ia gemar
berteriak-teriak, tapi berhasil memberikan interpretasi dan
penjiwaan pada lagu-lagu yang dibawakannya sehingga penonton
seperti terbawa serta. Ia nyabet lagu James Brown yang bernama
Man's World dan kemudian menyanyikan lagu I've been loving too
long yang penuh dengan variasi. Orang tidak peduli lagi apakah
ia masih doyan narkotik yang pernah melahapnya selama 3 tahun.
Suaranya yang serak dan lantang serta enerjinya yan
berlimpah-limpah seringkali terlalu diobral, sehingga
kadangkala ia lebih terasa menyanyi untuk memuaskan, dirinya
sendiri daripada untuk didengarkan penontonnya.
Tapi Gito tak ayal lagi merupakan tontonan yang menarik, di
samping Delly Joko yang duduk dengan tenangnya menunggui
"keyboard". Suaranya bagus, sopan tetapi memikat, merupakan
kunci penenang suasana manakala sudah habis diobrak-abrik Gito.
Ajojing
Malam itu sempat pula sebuah lagu buah tangan Stravinsky yang
berjudul Fire Bird dari khazanah klasik diturunkan. Benny yang
kurus jangkung dengan pakaian yang menyilaukan, berdiri dengan
seriusnya memimpin alat-alat gesek, sementara rekan-rekannya
kemudian masuk memberikan aksentuasi yang merubah lagu klasik
itu menjadi separuh panas. Banyak juga yang mengantuk karena
sebelumnya mengharapkan Rollies akan terus mendentum-dentum.
Tapi sementara para pengamat musik, kelihatannya bisa menghargai
usaha-usaha Rollies dalam mencari warnanya sendiri. Apalagi
mereka tidak lupa untuk mempersembahkan sebuah lagu Indonesia
karangan mereka sendiri yang bernama Setangkai Bunga yang manis
dan mengarah lagu-lagu jenis "hiburan" pribumi dari kelas yang
"mantap".
Penampilan "Rollies" yang kuyup hujan pada malam kedua masih
merupakan tanda-tanya. Karena mereka sendiri tidak dengan jelas
menggariskan musiknya sehingga para peminatnya pun masih
meraba-raba. Naga-naganya mereka akan mengawinkan jazz, rock dan
musik klasik. Mereka yang suka lagu-lagu untuk "ajojing" tidak
akan lama tertarik pada grup ini. Tetapi penonton yang suka
menikmati musik sebagai musik, mungkin akan menganggapnya
sebagai sebuah usaha yang berharga.
Asal saja Rollies mampu melaksanakan perkawinan itu tidak hanya
dalam lagu-lagu berbahasa Ingggeris, tapi lagu-lagu ciptaan
mereka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini