Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluhan demi keluhan khas pedagang disampaikan Tata, 26 tahun. Meski punya pelanggan yang tersebar di Jakarta, Padang, Medan, Bandung, dan Surabaya, pedagang grosir pakaian perempuan ini mengatakan pasar mulai lesu sejak Lebaran lalu.
Pasokan barang dari pabrik konfeksi di Pekalongan ataupun hasil mengimpor dari Cina dan Korea pun menumpuk di kios berukuran 3 x 4 meter, yang disewanya di lantai enam di pusat belanja Metro Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Lima tahun terakhir omzet rata-rata Rp 300 juta per tahun," katanya saat ditemui pada Kamis pekan lalu.
Seperti Tata, Henny, 40 tahun, yang punya kios lebih besar, juga sambat lantaran tiga pegawainya menuntut kenaikan gaji seiring dengan penetapan upah minimum baru. Lima tahun buka toko di Tanah Abang, Henny mengaku baru pada tahun ketiga omzetnya mulai stabil. "Tapi masih di bawah Rp 300 juta," kata pedagang yang punya langganan hingga Sulawesi dan Kalimantan itu.
Bagi para pengusaha kecil ini, angka Rp 300 juta menjadi patokan baru saban ditanya soal omzet. Tiga pedagang lain yang ditemui Tempo di pusat belanja ITC Cempaka Mas, Jakarta Pusat, pekan lalu, juga kompak menjawab seperti itu. Saat ditanya omzet tahunannya, mereka yang berdagang secara terpisah itu seragam menyebutkan angka "di bawah Rp 300 juta". "Akhir tahun kemarin agak sepi jualan baju," Sulastri, yang punya toko di lantai dua ITC Cempaka Mas, bercerita.
Dalam waktu dekat, besaran omzet itu memang akan menjadi penting. Pemerintah saat ini sudah sampai tahap akhir penyiapan peraturan baru yang akan memajaki pengusaha seperti Tata. Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya berharap aturan itu sudah bisa mulai berlaku awal tahun ini, tapi sekarang mereka masih menunggu kesediaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menekennya.
Sesuai dengan usul Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, aturan baru itu akan menyasar sektor usaha kecil dan menengah, yakni mereka yang punya omzet Rp 300 juta-Rp 4,8 miliar per tahun. "Jumlah mereka ini ratusan ribu," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rachmany dalam pertemuan dengan wartawan menjelang akhir Desember lalu.
Dari pantauan Kantor Pajak, sektor usaha ini merupakan potensi besar yang belum tergarap. Sayang, Kantor Pajak belum mampu mengoptimalkannya dengan alasan ketiadaan sistem pencatatan dan administrasi yang memadai, sehingga omzet dan keuntungan para pengusaha ini kerap tak terbukukan sebagaimana mestinya. "Banyak juga yang punya omzet jauh lebih besar, sampai puluhan miliar rupiah, tapi bersembunyi di balik nama UKM," Fuad melanjutkan.
Kendati bukan satu-satunya penyebab, Fuad berkilah belum maksimalnya penagihan dan kepatuhan membayar pajak punya kontribusi terhadap melesetnya target penerimaan pajak yang sudah berlangsung beberapa tahun belakangan. Dalam beberapa kesempatan, Fuad mengatakan, dari 12 juta lebih perusahaan yang saat ini tercatat, baru sekitar 500 ribu yang rajin menyerahkan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT). Selebihnya membandel atau tak jelas jejaknya.
Dari jumlah tersebut, diperoleh pajak sekitar Rp 400 triliun. Namun 90 persen dari angka penerimaan itu hanya didapat dari sekitar 100 ribu perusahaan. "Kami butuh penerimaan pajak yang besar, karena setiap tahun targetnya naik terus," Fuad setengah mengeluh.
Apalagi pada akhir tahun yang baru lewat ia kembali gagal mencapai target yang ditetapkan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, target penerimaan pajak dipatok Rp 1.032,57 triliun. Tapi, di tengah tahun, target itu direvisi turun menjadi Rp 1.011,74 triliun.
Tak semua target itu menjadi tanggung jawab Fuad. Sebagian merupakan bagian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sebagian lagi dikelola di bawah Direktorat Jenderal Anggaran, yakni pajak penghasilan di sektor minyak dan gas. Direktorat Jenderal Pajak kebagian jatah setoran terbesar: Rp 885 triliun. Tapi, sampai 18 Desember lalu, realisasi penerimaan yang telah dikumpulkan baru Rp 794,5 triliun atau 89,9 persen dari target.
Maka, ketika kebanyakan orang berlibur akhir tahun, Fuad dan anak buahnya justru harus habis-habisan mengejar setoran. "Ada sekitar Rp 90 triliun lagi harus dicari dalam waktu 12 hari," katanya. Ketika itu, dengan menimbang berbagai faktor, terutama penurunan pertumbuhan ekonomi, ia mengaku sudah akan beruntung jika bisa memperoleh 95 persen dari target yang diperintahkan APBN Perubahan.
Perkiraan itu tak jauh meleset. Meski sudah meminta bank-bank tetap buka pada 31 Desember lalu untuk menerima setoran pajak, pemasukan yang diharapkan tetap tak bisa terlalu digeber. Sumber di Kantor Pajak mengatakan, sampai detik akhir tutup tahun, masih ada Rp 48 triliunan kekurangan setoran pajak. "Sektor-sektor yang selama ini menopang penerimaan sedang lesu. Harga batu bara, minyak sawit, dan beberapa komoditas lain turun cukup tajam," Fuad memberi alasan.
Lantaran sulit menggenjot setoran pajak penghasilan, Fuad berusaha memperbaiki sistem administrasi pajak pertambahan nilai (PPN), yang selama ini terkenal rawan bocor dengan berbagai kasus faktur pajak palsu. Mereka melakukan registrasi ulang terhadap pengusaha kena pajak (PKP) untuk memastikan mereka yang mengeluarkan faktur pajak sungguh-sungguh menyetorkan PPN. Mereka yang tidak menyetor pajak dicabut status PKP-nya.
Hasilnya tak main-main. Dari jumlah PKP yang tadinya 777 ribu, separuh lebih ternyata tak layak. "Sebanyak 363 ribu PKP dicabut statusnya, sehingga tidak dapat menerbitkan faktur pajak lagi," kata Fuad. Pengawasan internal di antara para anak buahnya juga diperketat. "Petugas pajak yang seperti Gayus Tambunan mungkin masih ada, tapi kami akan melakukan pembersihan terus-menerus."
Yang juga tak gampang adalah menagih pajak pada pengusaha yang masuk kategori UKM tadi. Walaupun belum mau menyebut angka potensi pajak yang bisa ditarik dari sektor ini, Fuad meyakini jumlahnya cukup signifikan untuk menaikkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto, yang tahun lalu masih berkisar 11,9 persen. "UKM selama ini mengatakan mereka tidak memiliki pembukuan yang terperinci soal belanja, penjualan, ataupun pendapatan bersihnya," ujarnya. "Karena itu, untuk mempermudah, diusulkan pemotongan dari omzet."
Fuad menegaskan, sangat tidak adil bila para pengusaha dengan omzet di atas Rp 300 juta itu tak dipajaki. Ia membandingkan dengan buruh dan pekerja dengan gaji di atas pendapatan tidak kena pajak, senilai Rp 15,84 juta per tahun atau Rp 1,32 juta per bulan, yang juga langsung dipotong pajak. "Para pengusaha kecil itu jauh lebih kaya daripada para buruh."
Karena itu, untuk mengatasi soal pembukuan dan lain-lain itu, tarif khusus yang diusulkan bagi pengusaha UKM adalah 2 persen. Perinciannya, 1 persen dari omzet untuk pajak penghasilan (PPh) dan 1 persen lagi untuk PPN.
"Kami sudah dua kali diajak pertemuan bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia dan Dirjen Pajak soal ini. Dan kami tak keberatan," kata Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Handaka Santosa, Jumat pekan lalu. "Semua orang harus diedukasi untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak."
Toh, para pedagang di pasar grosir seperti Tata dan Henny mengaku selama ini sudah cukup rajin membayar pajak. "Saya bayar pajak per tahun Rp 12 -40 juta. Kalau omzetnya besar, pajaknya besar. Begitu pula sebaliknya," kata Henny.
Sulastri tak mau ketinggalan mengaku tak pernah absen menyetor pajak. "Rata-rata per tahun saya bayar Rp 15-40 juta," katanya, walaupun ia tahu banyak kasus petugas pajak dan pejabat negara menilap uang pajak yang turut ia bayarkan. "Kami tak mau ada masalah dengan Kantor Pajak."
Y. Tomi Aryanto, Fiona Putri Hasyim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo