SESUDAH batas-waktu 1 Oktober, kuku Opstib di pelabuhan makin
mencekam. Pungli masih belum lenyap sama sekali, tapi kesempatan
berpungli makin menciut, terutama sebagai akibat instruksi
Dirjen Perla (30 September) yang ditelex ke semua pelabuhan.
Semua EMKL Khusus dimintanya supaya menghentikan kegiatannya.
Rupanya Dirjen Perla sungguh-sungguh sekali ini dan berani
bertindak drastis. Selama ini soal EMKL paling sukar ditertibkan
walaupun sudah ada SK Menhub tahun 1974. EMKL itulah pada
hakekatnya menjadi biang keladi pungli yang menyogok kiri-kanan
dan menggolkan penyelundupan administrasi.
EMKL Khusus untuk bidang pelayaran, perdagangan dan industri
muncul selama ini dengan izin a.l. dari Kakanwil, Keppel dan
Adpel setempat. Biasanya izin itu untuk 6 bulan tapi boleh
diperpanjang. Pertimbangan dulu untuk mengizinkannya adalah a.l.
karena kemampaan EMKL Umum tidak memadai. Namun izin itu masih
tetap dikeluarkan walaupun persyaratan EMKL Umum sudah
ditingkatkan secara resmi, yaitu harus mengadakan investasi
sebesar Rp 115 juta a.l. untuk peralatan, angkutan dan gudang.
Persoalannya ialah EMKL Umum yang tidak memenuhi syarat ternyata
masih diizinkan bekerja. Dan ini tergantung pada besarnya
pungli.
Berbeda dengan EMKL Khusus, izin untuk EMKL Umum dikeluarkan
oleh pihak Bea Cukai, itu cukup tinggi, malahi sudah
diperjualbelikan orang pula. Pasarannya kini lebih kurang Rp 75
juta.
Jadi Lemas
EMKL Umum adalah anggota Gaveksi yang telah mengeluarkan ikrar
bersama menyambut Opstib. Ternyata sebagian besar anggota
Gaveksi sekarang terpukul oleh ikrar mereka sendiri. Mereka
menjadi lemas a.l. karena EMKL Unit ditiadakan sesudah 1
Oktober. EMKL Unit itu selama ini bekerja tanpa izin resmi tapi
menjadikan dirinya sebagai perantara atau sambungan dari EMKL
Umum. Peranan perantara itu biasanya diperlukan oleh EMKL Umum
yang tidak bonafid. Mereka yang bonafid pun adakalanya memakai
EMKL Unit guna keperluan melincirkan urusan pungli. Tidak semua
EMKL Umum membayar uang jasa kepada EMKL Unit. Justru sebaliknya
EMKL Unit paling sering membayar kepada EMKL Umum sedikitnya Rp
200.000 per bulan.
EMKL Unit pada hakekatnya memakai modal dengkul tapi mempunyai
kesempatan untuk mengeruk keuntungan besar. Kehadirannya,
walaupun tidak resmi, selama ini diterima oleh pihak Bea Cukai.
Bukan sedikit importir lebih suka memakai jasanya. Tapi di Tg.
Priok, Badan Penguasa Pelabuhan (BPP) telah mencabut pas mereka
yang terlibat dalam EMKL Unit. Adpel Habibie di Priok pun sudah
melarang EMKL Umum memakai EMKL Unit. Bea Cukai Priok, gara-gara
kuku Opstib, pun sudah menolak berurusan dengan EMKL Unit.
Perkembangan terakhir ini merupakan tantangan bagi EMKL Umum
untuk tentu saja, meminta tambahan investasi. Para pejabat BPP
pun kini ditantang untuk membaca kembali dan melaksanakan SK
Menhub 1974 yang mengatur soal EMKL.
Semau Gue
Di Priok, selama ini beroperasi 44 EMKL Khusus l34 perdagangan
dan 10 pelayaran). Sebagai akibat pembekuan izin dari Dirjen
Perla, telah terpukul pula dua EMKL Khusus yang bonafid, yaitu
dari PT Samudera Indonesia dan PT Djakarta Uoyd. Jika kelihatan
akan terjadi kongesti, ada kemungkinan Dirjen Perla memberi izin
juga kepada beberapa EMKL Khusus, terutama untuk kegiatan di
Priok, pelabuhan terbesar itu. Tapi Adpel Priok dengan penuh
semangat berkata: "Saya jamin tidak akan ada kongesti."
Gaveksi, karena gambaran diri EMKL sudah cemar, nampaknya
berusaha membuktikan kesungguhan hatinya mendukung Opstib.
Semacam Satuan Tugas, umpamanya, dibentuk di Priok oleh Gaveksi
guna membantu mencegah kongesti.
Sementara itu, tarif minimal jasa EMKL untuk satu dokumen (10
ton) kini cuma Rp 75.000, dibanding Rp 150.000 s/d Rp 200.000
ketika sebelum Opstib. Dulu mahal karena besarnya pungli. Porsi
bongkar-muat yang dulunya terpecah banyak ke EMKL Khusus dan
EMKL Unit, kini jatuh ke tangan EMKL Umum. "Dulu kami mencari
order, tapi kini malah order mencari kami," kata R.E. Lenggono,
Dirut EMKL Bhara Samudera.
Di Priok, penertiban terhadap buruh masih belum kelihatan.
Dengan Opstib, pihak INSA (perusahaan pelayaran) dan EMKL
kini cenderung melupakan persen yang biasanya diberikan pada
buruh UKA (pekerja lepas yang menerima upah harian). Tanpa
persen, kerusakan barang akan meningkat. Barang yang dibongkar
dari kapal bisa saja jatuh terhempas di kade tanpa sebab. Atau
forklif bisa saja bergerak semau gue, hingga merusak barang.
Orang takut melapor.
Hampir 9000 orang terdaftar pada UKA Di Priok. Tiap buruh
menerima Rp 642 (termasuk bentuk natura) sehari. INSA Jaya,
menurut sekretaris Hyrman Sumadiredja, berpendapat upah buruh
itu perlu dinaikkan ke Rp 900 sehari. Tapi apakah itu
mengakibatkan naik pula OPP/OPT (ongkos pelabuhan)?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini