Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Telex Dirjen Perla

Kegiatan di pelabuhan menjadi berhenti setelah ditjen perla memberhentikan kegiatan emkl yang dianggap sumber pungli. para pejabat bpp diharapkan meninjau sk menhub 1974, yang mengatur soal emkl.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUDAH batas-waktu 1 Oktober, kuku Opstib di pelabuhan makin mencekam. Pungli masih belum lenyap sama sekali, tapi kesempatan berpungli makin menciut, terutama sebagai akibat instruksi Dirjen Perla (30 September) yang ditelex ke semua pelabuhan. Semua EMKL Khusus dimintanya supaya menghentikan kegiatannya. Rupanya Dirjen Perla sungguh-sungguh sekali ini dan berani bertindak drastis. Selama ini soal EMKL paling sukar ditertibkan walaupun sudah ada SK Menhub tahun 1974. EMKL itulah pada hakekatnya menjadi biang keladi pungli yang menyogok kiri-kanan dan menggolkan penyelundupan administrasi. EMKL Khusus untuk bidang pelayaran, perdagangan dan industri muncul selama ini dengan izin a.l. dari Kakanwil, Keppel dan Adpel setempat. Biasanya izin itu untuk 6 bulan tapi boleh diperpanjang. Pertimbangan dulu untuk mengizinkannya adalah a.l. karena kemampaan EMKL Umum tidak memadai. Namun izin itu masih tetap dikeluarkan walaupun persyaratan EMKL Umum sudah ditingkatkan secara resmi, yaitu harus mengadakan investasi sebesar Rp 115 juta a.l. untuk peralatan, angkutan dan gudang. Persoalannya ialah EMKL Umum yang tidak memenuhi syarat ternyata masih diizinkan bekerja. Dan ini tergantung pada besarnya pungli. Berbeda dengan EMKL Khusus, izin untuk EMKL Umum dikeluarkan oleh pihak Bea Cukai, itu cukup tinggi, malahi sudah diperjualbelikan orang pula. Pasarannya kini lebih kurang Rp 75 juta. Jadi Lemas EMKL Umum adalah anggota Gaveksi yang telah mengeluarkan ikrar bersama menyambut Opstib. Ternyata sebagian besar anggota Gaveksi sekarang terpukul oleh ikrar mereka sendiri. Mereka menjadi lemas a.l. karena EMKL Unit ditiadakan sesudah 1 Oktober. EMKL Unit itu selama ini bekerja tanpa izin resmi tapi menjadikan dirinya sebagai perantara atau sambungan dari EMKL Umum. Peranan perantara itu biasanya diperlukan oleh EMKL Umum yang tidak bonafid. Mereka yang bonafid pun adakalanya memakai EMKL Unit guna keperluan melincirkan urusan pungli. Tidak semua EMKL Umum membayar uang jasa kepada EMKL Unit. Justru sebaliknya EMKL Unit paling sering membayar kepada EMKL Umum sedikitnya Rp 200.000 per bulan. EMKL Unit pada hakekatnya memakai modal dengkul tapi mempunyai kesempatan untuk mengeruk keuntungan besar. Kehadirannya, walaupun tidak resmi, selama ini diterima oleh pihak Bea Cukai. Bukan sedikit importir lebih suka memakai jasanya. Tapi di Tg. Priok, Badan Penguasa Pelabuhan (BPP) telah mencabut pas mereka yang terlibat dalam EMKL Unit. Adpel Habibie di Priok pun sudah melarang EMKL Umum memakai EMKL Unit. Bea Cukai Priok, gara-gara kuku Opstib, pun sudah menolak berurusan dengan EMKL Unit. Perkembangan terakhir ini merupakan tantangan bagi EMKL Umum untuk tentu saja, meminta tambahan investasi. Para pejabat BPP pun kini ditantang untuk membaca kembali dan melaksanakan SK Menhub 1974 yang mengatur soal EMKL. Semau Gue Di Priok, selama ini beroperasi 44 EMKL Khusus l34 perdagangan dan 10 pelayaran). Sebagai akibat pembekuan izin dari Dirjen Perla, telah terpukul pula dua EMKL Khusus yang bonafid, yaitu dari PT Samudera Indonesia dan PT Djakarta Uoyd. Jika kelihatan akan terjadi kongesti, ada kemungkinan Dirjen Perla memberi izin juga kepada beberapa EMKL Khusus, terutama untuk kegiatan di Priok, pelabuhan terbesar itu. Tapi Adpel Priok dengan penuh semangat berkata: "Saya jamin tidak akan ada kongesti." Gaveksi, karena gambaran diri EMKL sudah cemar, nampaknya berusaha membuktikan kesungguhan hatinya mendukung Opstib. Semacam Satuan Tugas, umpamanya, dibentuk di Priok oleh Gaveksi guna membantu mencegah kongesti. Sementara itu, tarif minimal jasa EMKL untuk satu dokumen (10 ton) kini cuma Rp 75.000, dibanding Rp 150.000 s/d Rp 200.000 ketika sebelum Opstib. Dulu mahal karena besarnya pungli. Porsi bongkar-muat yang dulunya terpecah banyak ke EMKL Khusus dan EMKL Unit, kini jatuh ke tangan EMKL Umum. "Dulu kami mencari order, tapi kini malah order mencari kami," kata R.E. Lenggono, Dirut EMKL Bhara Samudera. Di Priok, penertiban terhadap buruh masih belum kelihatan. Dengan Opstib, pihak INSA (perusahaan pelayaran) dan EMKL kini cenderung melupakan persen yang biasanya diberikan pada buruh UKA (pekerja lepas yang menerima upah harian). Tanpa persen, kerusakan barang akan meningkat. Barang yang dibongkar dari kapal bisa saja jatuh terhempas di kade tanpa sebab. Atau forklif bisa saja bergerak semau gue, hingga merusak barang. Orang takut melapor. Hampir 9000 orang terdaftar pada UKA Di Priok. Tiap buruh menerima Rp 642 (termasuk bentuk natura) sehari. INSA Jaya, menurut sekretaris Hyrman Sumadiredja, berpendapat upah buruh itu perlu dinaikkan ke Rp 900 sehari. Tapi apakah itu mengakibatkan naik pula OPP/OPT (ongkos pelabuhan)?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus