TIDAK gampang untuk menjadi bank devisa. Bank Indonesia selama
ini membatasi jumlahnya, sedang banyak permintaan dari bank umum
swasta nasional supaya bisa naik tingkat. Sejak dua atau tiga
tahun terakhir ini nampaknya BI paling banyak ingin mencapai 10
bank devisa saja untuk swasta nasional. Sekian jam sudah ada 8
PT Bank Dagang Nasional Indonesia, PT Bank Umum Nasional, PT
Bank Bali, PT Pan Indonesia Bank Ltd, PT Bank Niaga, PT Bank
Pasific, PT Bank Buana Indonesia dan terakhir PT Bank Central
Asia. Maka 2 lagi sisanya telah menjadi rebutan.
Tapi, berdasar SK Direksi BI tertanggal 20 September yang baru
beredar minggu lalu, kini tiada lagi pembatasan. Kalangan bankir
swasta nasional menyambutnya secara positif. Misalnya A.
Sjahaboedin, Dir-Ut PT Bank Perniagaan Indonesia, salah satu
dari sekian banyak yang menunggu kenaikan tingkat, memandangnya
sebagai "cukup riil dan maju." Namun persyaratan menjadi bank
devisa akan lebih sukar dicapai, terutama oleh bank pribumi.
Paling berat persyaratannya a.l.:
Wajib bermodal sedikitnya Rp 6 milyar. Separoh dari jumlah itu
sudah harus disetor ketika memajukan permohonan. Untuk sisa 50%
lagi, jika dikehendaki, BI bersedia menyediakannya. Kemungkinan
partisipasi BI dalam perbankan swasta nasional adalah melalui
suatu lembaga yang ditunjuknya.
Wajib merger (penggabungan). Jika sudah mempunyai cabang, ia
wajib bergabung dengan 6 bank lainnya. Jika belum mempunyai
cabang, ia periu bergabung dengan 7 bank lainnya. Dan ia harus
sudah mempunyai jaringan kantor yang operasionil pada 4
propinsi, termasuk 2 propinsi di luar Jawa. Jelas ini bertujuan
makin menciutkan jumlah bank swasta nasional yang kini bersisa
87.
Selama 6 bulan terakhir, volume usahanya harus minimum 57O
dari keseluruhan volume usaha bank umum swasta nasional. Ini
bertujuan memastikan calon bank devisa itu benar sehat dan kuat.
Harus ia tergolong bank pribumi. Perlu dinyatakan dalam
anggaran dasarnya bahwa sedikitnya 50% dari jumlah saham yang
ditempatkan adalah milik golongan pribumi.
Suntikan Kekuatan
Pemerintah sudah mendorong merger bank swasta sejak 1971, malah
dengan menawarkan kelonggaran perpajakan. Tapi kelonggaran
perpajakan itu hanya berlaku bagi mereka yang merger sampai
akhir Maret 1979. Sedang masa satu-setengah tahun lagi akan
terlalu singkat bagi si calon bank devisa jika harus merger
dengan 6 atau 7 bank lainnya, terutama untuk sekalian memperoleh
cap pribumi. "Bank kecil bila dilamar," kata bankir Sjahaboedin
pada Yunus Kasim dari TEMPO, "jual mahal pula. Maklum orang kita
masih memilih klas warung asal jadi direktur."
Tahun 1975, BI membagi 4 golongan bank umum swasta nasional, di
antaranya A (sehat) sebanyak 21, B (cukup sehat) 17, sedang
banyak sisanya dianggap kurang sehat dan tidak sehat sama
sekali. Dari keduanya A dan B itu ternata mayoritas masih kecil
modanya. Kebijaksanaan BI yang baru ini, menurut Dir-Ut I
Nyoman Moena dari PT Overseas Express Bank, jelas mendorong ke
arah sehat dan kuat, bukan sekedar sehat tapi kecil.
BI nampaknya mau memberi suntikan kekuatan (modal) asalkan
bank-bank swasta bersangkutan bersedia bergabung. Namun injeksi
BI itu bukan sekedar bertujuan mencapai kwalitas tinggi,
melainkan juga meningkatkan taraf pribumi, sambil mencegah
masuknya dominasi asing yang terselubung.
Partisipasi modal BI dalam perbankan swasta, terutama bila
terjadi pada mereka yang menjadi bank devisa, nampaknya cuma
untuk masa transisi. Sebab BI akan mendesak bank devisa untuk go
pblic, menjual saham via Pasar Modal. Dengan demikian modal BI
akan kembali, sedang bank devisa merasa berkepentingan untuk
menjaga dirinya tetap sehat dan kuat. Cara begini, tentu saja,
membuat PT Danareksa, lembaga yang mungkin mewakili BI, akan
tidak kekurangan sertifikat untuk ditawarkan pada publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini