Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Si Manis Seratus Tahun

Kecap cap "orang jual sate" - lebih dikenal dengan nama kecap sate, genap menginjak usia seabad. pabriknya di probolinggo dan sudah diekspor ke hong kong, australia, arab saudi, AS dan Belanda.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKUAT-kuatnya orang "ngecap", paling banter hanya kuat dua atau tiga jam. Tapi usia kecap yang benar-benar kecap bisa berpuluh tahun, bahkan seratus tahun. Lihatlah kecap cap Orang Jual Sate -- lebih dikenal dengan nama Kecap Sate -- yang bulan lalu menginjak usia seabad. Sebagaimana lazimnya dunia usaha, jalan yang dilalui memang tak mulus. Kecap Sate -- berlokasi di Probolinggo Jawa Timur -- jatuh bangun, bahkan pernah dilanda bangkrut. Tapi satu hal perlu dicatat, selama 100 tahun perusahaan ini hanya mengalami tiga kali penggantian manajemen. Itu pun semata-mata karena usia para manajer yang beranjak tua, hingga tak lagi mampu mengendahkan perusahaan. Mereka yang kini duduk di pucuk plmpinan sebaglan besar sudah bekerja 26 tahun. Konon, menurut mereka, itulah kuncinya usiapanjang. "Gaya manajemen kami, ya, cuma manajemen kekeluargaan yang tak bisa diteorikan," kata Besuki Lesmana, salah seorang dari pimpinan. Maksudnya, keputusan perusahaan tidak berada pada satu tangan, tapi harus murni berdasarkan musyawarah mufakat. Memang, inilah warisan sang pendiri, Ong Tjin Boen, yang masih dipakai. Kongco, demikian Tjin Boen dipanggil, yang melihat prospek usaha kecap agak cerah, mengajak serta hampir semua anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang. Tidak hanya dalam pengelolaan, tapi juga permodalan. Ketika itu, ia langsung mengajak mereka berpatungan, karena prospek bisnis kecap -- ketika itu belum ada di Indonesia -- sangat menarik. Padahal, semula usaha ini dilakukan iseng-iseng saja. Maklum, bisnis utama Kongco, waktu itu tahun 1888, sebagai peternak babi. Ia terjun ke dunia kecap, konon, semata-mata hanya karena ampasnya bisa dijadikan sebagai makanan babi peliharaannya. Beberapa bulan kemudian, begitu lelaki kelahiran Hokkian ini tahu bahwa kecap lebih menguntungkan, maka investasi pun ditambah. Kebetulan, salah seorang anak perempuannya, Ong Lien Nio, adalah janda yang punya banyak warisan. Usaha pun maju pesat. Tapi setelah berjalan 40 tahun dan Tjin Boen wafat, kemudi diambil alih oleh dua anak lelakinya. Di sinilah awal kemunduran. Entah kenapa, Kecap Sate malah dilibat utang. Begitu pula ketika kendali dipegang oleh generasi ketiga (Cucu Tjin Boen). Bahkan perusahaan yang diberi nama Soya Fabriek Ong Tjin Boen ini nyaris bangkrut. Tapi dalam keadaan megap-megap itu muncul seorang penyelamat dari marga Tjoa. Masuknya Tjoa, yang menyuntikkan modal baru, berarti juga berakhirnya dinasti Tjin. Sayang, pemodal baru ini pun tidak bisa memperbaiki situasi. Dalam gejolak perang kemerdekaan, sang kecap lumpuh total. Ia baru bangkit kembali tahun 1957. "Ketika itu, karena tak ada saingan, produk kami menjadi primadona," kata Gunawan Hadinoto, direktur umum. Kini, dengan nama PT Perusahaan dan Perniagaan Pusaka Sumber Djaja, produksinya telah mencapai 2 juta liter setahun dengan total penjualan lebih dari Rp 1 milyar/tahun. Diversifikasi pun dilakukan dengan memunculkan merk-merk baru seperti cap Bidadari, Kedele, Rantang, Madura Baru, dan Lapan. Begitu juga pasarnya, meluas ke Hong Kong, Australia, Arab Saudi, AS, dan Belanda. "Kami belum mengekspor secara khusus, tapi menumpang pada kontainer orang lain," ujar Krisnanto Tedjakusuma, direktur pemasarannya. Maklum, kecap manis merupakan khas Indonesia, sehingga peminatnya di luar negeri tidak begitu banyak. Tapi di dalam negeri, kendati diakui masih kalah oleh kecap Bango dan ABC, Kris mengaku mempunyai konsumen yang cukup fanatik. Kenapa? "Karena produk kami punya rasa yang khas. Artinya, tidak sama dengan produk lain," ujarnya. Konon, itu karena Kecap Sate mempertahankan alat-alat produksi tradisional. Misalnya saja untuk mengendapkan sari kedelai, digunakan guci -- jumlahnya ratusan -- yang berasal dari dinasti Tjin. Kini sudah tergolong guci antik, berusia di atas 100 tahun. Konon, malah sudah ada beberapa kolektor yang menawar Rp 2 juta per buah. Yang tergolong modern hanya alat-alat untuk mensterilkan botol dan untuk pengemasan saja. "Kami tak berani memodernisasikan semua peralatan, karena itu berarti akan mengubah aroma produk kami," kata Djunaidi Lesmana, sang direktur utama. BK dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus