MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang diketuai Djainal Hakim, di sidang Kamis pekan lalu akhirnya berkeyakinan bahwa Wiwiek Pratiwi adalah otak pembunuhan Pembantu Rektor I UPN (Universitas Pembangunan Nasional), Marhaenis Abdulhay, S.H. Kendati Tuti, 37 tahun, di persidangan mengungkapkan bahwa otak pembunuhan adalah suami keduanya, Rony -- bukan nama sebenarnya -- toh majelis mengesampingkan fakta itu. Berdasarkan itu, para hakim sepakat menghukum Tuti 15 tahun penjara. Tuti, ibu tiga anak, yang mengenakan blus biru rok hitam, tak menyangka akan dihukum seberat itu. Ia langsung menangis, begitu hakim mengetukkan palunya. "Putusan itu tidak adil. Saya naik banding. Pembelaan saya pribadi yang saya tulis itu tidak dipertimbangkan, malah saya dibilang berbelit-belit," kata Tuti dengan mata berkaca-kaca, di sel pengadilan, kepada TEMPO. Ia tambah terisak-isak begitu anak gadisnya, Sulistiyowati, muncul di selnya. Menurut majelis hakim di persidangan, Tuti terbukti bersama dua orang adiknya, Sapto Prasetyo dan Siswoyo, serta kenalannya Machmud, telah membunuh suami ketiganya Marhaenis. Machmud bersedia ikut membunuh Marhaenis, 47 tahun, dengan imbalan utangnya kepada Tuti Rp 1,3 juta dianggap lunas. Marhaenis, pada 21 September 1987 sore, dijemput Tuti sehabis mengajar di Universitas Tarumanegara. Lelaki itu dibawanya ke rumah kontrakannya di Bambu Apus, Jakarta Timur. Di rumah itu, ia disuguhi makanan beracun oleh komplotan tersebut. Marhaenis pun jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Sewaktu semaput itulah korban dipukul Machmud dengan batu bata hingga tewas. Mayat dan semua pakaian korban, setelah dibungkus karung, dimasukkan komplotan itu ke bagasi mobil korban dan dibawa ke Warung Kiara, Sukabumi. Di situ mayat itu dibuang dan mobilnya dibakar. Mereka berempat kemudian bersumpah tidak akan membocorkan rahasia pembunuhan itu. Komplotan ini akhirnya tercium polisi. Mereka ditangkap. Tuti tertangkap di Trenggalek, Jawa Timur. Di awal persidangan, Tuti mengaku sebagai otak pembunuhan itu. Sebab, katanya, ia tak tahan akibat keganjilan perlakuan seks korban yang berlebihan - konon suka memperlakukannya seperti binatang. Selain itu, cerita Tuti, Marhaneis suka pula menggoda anak gadisnya, Sulistiyowati, yang ketika itu lagi mekar. Bahkan lima kali Marhaenis pernah hendak memperkosanya. Tapi belakangan Tuti membuat pengakuan yang mengagetkan. "Saya disuruh membunuh oleh Pak Rony," katanya. Konon, cerita Tuti di sidang, Rony marah besar ketika ia suatu kali mengungkapkan kelakuan Marhaenis itu. Sebab itu pula "suamikeduanya" itu menyuruhnya menghabisi korban. Tuti, yang dari suami pertamanya mendapatkan seorang anak, Sulistiyowatl, pada 1980 menikah secara Islam dengan Rony -- kendati mereka-sama-sama beragama Kristen. Tuti terpaksa menyeret lelaki yang sudah beristri itu ke penghulu, karena ia telah mendapat dua orang anak dari Rony. Tapi, kata Tuti, belakangan ia disuruh lagi oleh Rony menjalani profesinya semula, sebagai wanita bar di Jalan Blora. Di tempat hiburan itu ia berkenalan dengan Marhaenis. Pada 1984, ketika Rony bertugas di Timor Timur, Tuti menikah secara "di bawah tangan" (tak resmi) dengan Marhaenis, yang ketika itu juga sudah beristri dan dikaruniai beberapa anak. Padahal, ketika itu, ia belum bercerai secara resmi dengan Rony. Poliandri yang dilakukan Tuti itu belakangan ternyata tak mulus. Katanya, Rony tak senang ketika tahu soal itu. Buntunya itul disuruh menghabisi Marhaenis. Hanya saja, menurut dia, selama ini soal Rony itu tak diungkapkannya karena lelaki itu berjanji akan mengurusnya di tahanan. Namun, janji itu tak dipenuhi. Ia dan kedua anaknya tak lagi dipedulikan lelaki itu. Keterangan Tuti yang berubah-ubah itu ternyata dianggap hakim berbelit-belit, sehingga menyulitkan jalannya sidang. "Walaupun hak ingkar ada padanya, keterangannya yang bertentangan dengan BAP itu tidak memperlancar sidang," kata hakim anggota, Sarimoen, yang juga Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Majelis, selain tak mempercayai sepenuhnya cerita Tuti tentang Rony, juga tak memanggil lelaki itu sebagai saksi di perkara itu. "Saksi itu kami rasa tak perlu. Kami sudah memberikan kesempatan pada jaksa dan penasihat hukum untuk menampilkan saksi-saksi mereka, tapi mereka tidak meminta Rony sebagai saksi. Jadi, oleh sldang saksl dianggap cukup," ujar Sarimoen. Majelis pun berkeyakinan, Tutilah otak pembunuhan itu. Maka, Tuti divonis hakim 15 tahun penjara -- hanya 5 tahun di bawah tuntutan jaksa. Perbuatan Tuti itu, menurut hakim, bisa meresahkan masyarakat. "Sebab, korban adalah seorang dosen yang menga1ar pada beberapa perguruan tinggi," kata hakim. Tapi selain Tuti, pembelanya, Ela Syarif, menganggap putusan itu tak adil. Ia tetap beranggapan bahwa Tuti terpaksa membunuh akibat ancaman Rony. Sebab itu pula rekannya, Sitor Situmoran. dari Posbakum Takarta Timur, bermaksud menampilkan Rony ditingkat banding. "Kami akan minta Pengadilan Tinggi mempertimbangkan latar belakang hubungan Tuti dengan Rony, " katanya. Rony, yang dihubungi TEMPO setelah vonis itu jatuh, tak bersedia memberikan komentarnya. "Tak ada komentar," ujarnya mengelak. Beberapa waktu lalu, ia membantah keras telah menyuruh Tuti membunuh Marhaenis (TEMPO, 16 Juli 1988). "Saya 'kan tak goblok menyuruh dia membunuh orang. Tak mungkin itu," kata Rony, yang berumur sekitar 50 tahun itu. Ia juga mengelak ketika ditanya hubungannya dengan Tuti. "Ah, itu 'kan dulu. Sekarang tidak," katanya. Widi Yarmanto dan Muchsin Lubis (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini