JARANG-jarang, perkara perampokan dan pembunuhan dituntut jaksa dengan hukuman seumur hidup. Tapi Selasa dua pekan lalu, Jaksa Penuntut Umum, Suhaimi, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuntut hukuman seumur hidup pada Paulus Santa Elvis Joey Alfindi Kahar, 29 tahun, dan Oim Ibrahim bin Saiman, 26 tahun. Mereka, menurut jaksa, terbukti membunuh Nyonya Bertha, 65 tahun, serta pembantunya, Nona Mistiah, 19 tahun, dan kemudian merampok harta wanita tua itu. Perbuatan Paulus memang pantas mendapat hukuman berat. Sebab, ia bukan orang yang asing bagi keluarga Nyonya Bertha. Ia sering ke rumah korban, karena memang teman akrab Wulan, 24 tahun, anak mendiang. Ternyata, kebaikan Nyonya Bertha selama ini dibalas Paulus dengan pembunuhan keji itu. "Saya kira, orang seperti itu lebih baik berada di dalam penjara saja daripada berkeliaran di luar. Bisa membahayakan orang banyak," kata Jaksa Suhaimi. Pada Sabtu pagi 21 November 1987, sekitar pukul 08.30, Wulan lagi bersiap-siap berangkat ke kantornya di Duta Merlin. Tiba-tiba di pintu rumahnya di Jalan Petojo Selatan, Jakarta Pusat, muncul Paulus bersama temannya, Oim Ibrahim. Sebenarnya Wulan agak heran atas kedatangan temannya itu. Sebab, biasanya Paulus, kawan kebaktiannya di Yayasan Doullos, berkunjung ke rumahnya pada sore hari. Toh, sebagai teman, Paulus diterimanya dengan baik. Paulus pun disuguhi minuman dan sepotong kue. "Saya lagi pusing, saya perlu uang untuk ngurusin perceraian," kata Paulus, mengemukakan maksud kedatangannya. Ia bercerita bahwa istrinya, seorang suster, bermain gila dengan dokter di tempatnya bekerja. Pada kesempatan itu, Paulus juga mengeluh tentang dua orang anaknya yang dibawa pergi istrinya. Wulan, yang telah kenal Paulus hampir dua tahun, mencoba menasihati kawannya itu bahwa perceraian itu tak diperbolehkan agama Tapi Paulus, yang mengaku pernah mengajar di sekolah minggu di Gereja Paulus Sunda Kelapa itu, tetap berkeras ingin melaksanakan niatnya. "Mungkin melalui gereja nggak boleh, tapi melalui hukum negara, bisa diurus. Saya perlu uang. Tolong, deh, nanti saya kembalikan," pintanya. Wulan tetap tak mau memberi, dengan alasan lagi bokek. Sebab, kata Wulan, sebelumnya telah tiga kali Paulus mencoba meminjam uang kepadanya. Ia baru sekali meluluskan permintaan temannya itu, dengan pinjaman Rp 25 ribu, yang dianggapnya sebagai uang hilang. Toh Paulus mendesak terus. Akhirnya, dengan berat hati, Wulan memberikan uangnya Rp 5 ribu. Karena sudah siang, Wulan tak bisa lama-lama menemani ngobrol. Kedua orang itu ditinggalkannya tanpa kecurigaan apa-apa. Hanya saja, begitu ia sampai di tempat kerja, Wulan menelepon ibunya dan berpesan agir si ibu tidak memberi apa-apa kepada temannya itu. Paulus memang tidak meminta pinjaman uang dari Nyonya Bertha. Ia hanya meminjam telepon untuk menghubungi istrinya ditempat kerjanya di Rumah Sakit St Carolus. Tapi rupanya jawaban istrinya di pagi itu membuat ia naik darah. Sehabis meletakkan gagang telepon, ia bagai kehilangan kontrol. Nyonya Bertha didekatinya. Sebelum wanita tua itu sadar bahaya yang muncul tiba-tiba Paulus telah memiting lehernya. Wanita itu diseretnya ke kamar dalam keadaan tersengal-sengal. Di hadapan ibu Bertha, Nyonya Sarah Halim, 95 tahun, ia kemudian menyiksa ibu kandung teman akrabnya itu. "Ampun, Tuhan. Ampun, Tuhan," jerit Nyonya Bertha. Tapi Paulus, yang telah kesetanan, menusukkan pisau dapur yang telah disiapkan sebelumnya ke dada Bertha. Setelah itu, pisaunya menggorok leher wanita itu. Ibrahim, kuli di Pasar Blora, dengan pisau dapur yang juga sudah disiapkannya, menyudahi hidup Nyonya Bertha. Melihat anaknya terbantai, Nyonya Sarah Halim menjerit. Kedua pembunuh itu segara menutup mata si nenek dengan kain dan mengikat kedua tangannya. Ia memang tak membunuh. nenek tua itu. Tapi seorang pembantu rumah itu, Mistiah alias Piah, yang berteriak karena memergoki kedua orang itu memegangi pisau berlumur darah, langsung dibantai mereka. Nasibnya persis majikannya. Leher, perut, dan dada gadis kelahiran Pekalongan itu koyak. Darah berceceran di lantai. Selesai melakukan aksinya, keduanya menjarah jam tangan, jam duduk, dan video, yang ditaksir senilai Rp 250 ribu. Setelah itu, baru mereka kabur tanpa mengundang kecurigaan tetangga-tetangga korban. Polisi, yang mengusut kasus itu, tentu saja mencari Paulus dan Oim Ibrahim, karena berada di rumah itu sebelum Wulan berangkat ke kantor. Setelah seminggu menjadi buron, mereka diringkus polisi. Kepada polisi mereka mengaku membunuh korban hanya untuk mengambil harta korban, yang kemudian mereka jual Rp 140 ribu. Dan Rp 40 ribu diberikan Paulus untuk Oim Ibrahim, sementara sisanya dipakainya untuk berfoya-foya. Paulus, yang mengaku pernah duduk di tingkat II Fakultas Ekonomi UKI, tak puas pada tuntutan jaksa. "Saya ini 'kan sudah mengaku terus terang kesalahan saya. Jadi, mestinya, ya, 15 sampai 20 tahun," katanya. Sebab, katanya, bisa saja ia mungkir karena barang bukti sangat lemah. Tapi itu tak dilakukannya, katanya, karena Yesus bersamanya. Ia juga kesal terhadap tuntutan jaksa, karena untuk hal meringankan hanya disebut usianya yang masih muda. Sedangkan kata-kata "berguna bagi bangsa, negara, dan agama" dicoret jaksa. "Memangnya saya ini komunis, apa? Saya 'kan orang beragama, apalagi saya pernah mengajar sekolah minggu. Enak saja, dia ngomong," kata Paulus emosional. Paulus juga tak bisa menerima penilaian jaksa bahwa ia tak pernah menunjukkan penyesalannya selama persidangan. Baginya, dosa yang telah dilakukannya diserahkan kepada Tuhan, sedang permasalahan di persidangan diurus pembela. "Jadi, apa saya harus menangis dan meraung-raung untuk menunjukkan penyesalan. Kita ini 'kan sudah dewasa," kata Paulus tegar. Ia merasa yakin, hakim nanti akan meringankan vonisnya. "Tak mungkin saya dihukum seumur hidup, karena Yesus memberkati saya. Saya sudah mengakui kesalahan saya dan menyesalinya. Bahkan saya mau, kok, menyalami Wulan untuk minta maaf," kata Paulus kepada TEMPO. Agaknya, kesimpulan jaksa bahwa ia orang berbahaya perlu ditimbang hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini