SELANGKAH demi selangkah pemerintah berusaha mengejar nilai tambah. Setelah pelarangan ekspor rotan setengah jadi awal Juli lalu, kini giliran karet bermutu rendah. Melalui surat keputusan Menteri Perdagangan, yang ditandatangani oleh Menmud J. Soedradjad Djiwandono, mulai Januari 1989 ekspor karet remah mutu rendah -- SIR 50 dan SIR 5LV -- dinyatakan terlarang. Alasannya, selain untuk meningkatkankan nilai tambah, karet jenis SIR 5LV sudah sejak tahun lalu tak lagi diproduksi. Sedangkan SIR 50 (angka di belakang menunjukan volume kotorannya sebesar 0,50%) ikut disetop dengan pertimbangan volume produksinya tidak terlalu besar, di samping mutunya yang termasuk paling rendah. Menurut Soedradjad, total ekspor SIR 50 ini dari tahun ke tahun terus menurun. Pada tahun 1981, pernah mencapai angka 8,15% dari total ekspor karet. Tapi tahun lalu hanya 0,5%, dengan nilai 3,5 juta dolar. Sehingga, kalau dibandingkan nilai ekspor total yang 970 juta dolar itu, SIR 50 cuma memasok devisa sekitar 0,36% saja. Jadi, kecil sekali. Apalagi kalau melihat tak ada lagi negara yang memproduksi SIR 50. "Nah, kalau kita masih tetap mengekspor SIR 50, ini akan mengakibatkan citra karet Indonesia turun di pasaran dunia," ujar Menteri. Memang, jenis produksi ini tidak bisa dihindari. Maksudnya, jenis SIR 50 akan tetap ada, "Tapi karena jumlahnya tidak banyak, bisa diserap oleh industri hilir dalam negeri. Misalnya pabrik keset," kata Soedradjad optimistis. Gerak Departemen Perdagangan rupanya tidak hanya sampai di sini. Selama terkait pada komoditi tradisional, seperti kopi rempah-rempah, dan rotan, kebijaksanaan ini akan terus berlangsung. Skema SIR, alias Standard Indonesian Rubber, yang ditetapkan 19 tahun lalu, sudah mengalami revisi sembilan kali. "Dan ini akan terus disempurnakan, untuk memperoleh nilai tambah yang lebih besar," ujar Menteri pula. SIR 50 selama ini lebih banyak diekspor ke Singapura. Di sana diolah kembali untuk memperoleh mutu yang lebih tinggi. "Jadi, sayang to, kalau nilai tambahnya malah dinikmati orang lain?" Selain itu, tindakan penyetopan ekspor bahan-bahan mentah dan setengah mentah ini sengaja dilakukan untuk menghindarkan risiko fluktuasi harga di pasar internasional. "Untuk mengatasinya, hanya ada satu jalan, meningkatkan kualitas," tutur Soedradjad. Memang, buruknya kualitas bukan hanya lantaran kelalaian semata, tapi juga karena disengaja. Salah satu sebabnya adalah sistem perdagangan karet yang berlaku selama ini. Di satu pihak pengolah mengejar target ekspor sebanyak mungkin, dengan tujuan bisa menikmati kredit ekspor yang hanya berbunga 9%. Di pihak lain, petani yang menguasai 82% dari 2,6 juta hektar tanaman karet juga mengejar pendapatan yang lebih baik. Sayangnya, sistem perdagangan yang berlaku didasarkan Dada berat kotor. Sehingga, banyak petani yang "main". Misalnya saja dengan cara menambahkan pasir pada hasil sadapannya, atau merendam dalam air sebelum dijual. "Kadar air yang tinggi akan menyebabkan pembusukan lebih cepat terjadi," tutur Menteri. Bukan hanya itu. Untuk memproses karet yang terlalu kotor dan berkadar air tinggi, diperlukan waktu sedikitnya 15 hari. Sehingga, perebutan di antara para produsen eksportir pun semakin sengit. Sebab, tentu saja mereka akan berusaha mengejar target ekspor yang telah disepakati dengan bank pemberi kredit. Nah, dengan disetopnya ekspor karet bermutu rendah, diharapkan para pengolah akan membeli bahan baku denan lebih selektif. "Memang, sudah saatnya mutu karet kita diperbaiki," ujar Harry Tanugraha, seorang pakar perkaretan. "Apalagi volume produksi jenis SIR 50 ini tidak banyak. Sehingga secara total tidak akan terlalu mengganggu penerimaan devisa dari sektor karet," ujarnya. BK dan Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini