Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa Kepepet ke Titik Nol

Pemerintah akhirnya menjual Astra International melalui tender terbuka. Kendati sejumlah investor akan berebutan, Newbridge-Gilbert juga yang akan menang?

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASTRA kembali ke titik nol. Rencana pemerintah menjual mayoritas saham pabrik mobil terbesar Indonesia itu akan dimulai lagi dari awal. Kesepakatan investasi dua perusahaan Amerika Serikat, Newbridge Asia dan Gilbert Global Equity, dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sejak awal pekan lalu, dinyatakan kedaluwarsa. Konsorsium AS itu dinilai gagal memenuhi jadwal penyerahan ''uang muka" seperti yang sudah dijanjikan. Maka, berakhirlah satu babak paling panas dari rencana penjualan aset negara yang penuh intrik politik itu. Dengan batalnya kesepakatan investasi itu, BPPN (lembaga yang diserahi tugas pemerintah untuk menjual saham Astra) kembali menawarkan Astra—kali ini dengan tender terbuka. Semua calon investor diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan penawaran harga, tanpa patokan apa pun. Dengan kata lain, penunjukan kongsi Newbridge-Gilbert sebagai penawar unggulan, sumber keributan selama ini, sudah tidak ''laku" lagi. Apakah itu berarti episode goro-goro Astra akan segera tancep kayon? Tunggu dulu, malam belum lewat pukul 12, pertarungan masih jauh dari usai. Rencana pemerintah menggusur sejumlah pengurus teras Astra melalui rapat umum luar biasa pemegang saham (RULBPS), Selasa ini, misalnya, akan menemui perlawanan yang tangguh. Sejumlah tokoh politik kabarnya tengah melobi para pemegang saham minoritas agar menolak rencana pemerintah dengan mempertahankan Rini Soewandi sebagai Presiden Direktur Astra. Selain itu, proses tender terbuka yang segera dimulai pekan terakhir bulan ini juga tidak kalah seru. BPPN, yang kepepet deadline harus menyetor Rp 17 triliun kepada kas negara sebelum 31 Maret 2000, tak punya banyak waktu untuk menahan saham Astra. Karena itu, BPPN hanya akan memberikan kesempatan uji tuntas (due diligence) kepada para investor dalam tempo kurang dari satu bulan. Dengan waktu sependek itu, investor yang dibeking ''orang dalam" akan mendapat posisi paling menguntungkan. Pendek kata, perang urat saraf memperebutkan saham Astra masih akan ramai. Menurut jadwal, semua investor akan diberi kesempatan memasukkan tawaran sampai 23 Februari. Ketika itu, BPPN akan memutuskan lima sampai tujuh penawar terbaik dan menyilakan mereka mengaduk-aduk isi perut Astra selama hampir satu bulan. Pada 20 Maret, mereka harus memasukkan harga penawaran final. Dan pada 25 Maret, lima hari menjelang tahun anggaran 1999/2000 berakhir, BPPN akan menentukan siapa juragan baru Astra International. Dengan waktu yang begini mepet, mungkinkah pemerintah menjala uang lebih tinggi dari penawaran Newbridge-Gilbert? Perlu diingat, konsorsium Newbridge-Gilbert menawarkan harga minimal Rp 3.750 untuk setiap saham Astra. Dengan penawaran setinggi itu, nilai 40 persen saham Astra yang dimiliki pemerintah akan mendekati Rp 4 triliun. Karena itu, tantangan terberat yang dihadapi BPPN saat ini adalah mendapatkan harga jual yang lebih baik dalam tempo yang lebih singkat. Wakil Kepala BPPN yang baru dilantik, Arwin Rasyid, mengaku kepepet dengan situasi seperti itu. Menjual Astra dengan harga layak, katanya, tetap saja mungkin, ''tapi sangat-sangat sulit." Ia melihat pelbagai hambatan ekonomi dan politik masih akan menghadang penawaran tender terbuka ini. Tapi Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto yakin, dengan cara penawaran terbuka ini, pemerintah akan mendapatkan hasil terbaik. Sebagian besar pemain pasar uang di Jakarta juga optimistis dengan sistem tender ini. ''Kita berharap harganya akan lebih tinggi," kata Ferry Yosia Hartoyo, Kepala Riset Vickers Ballas di Jakarta. Sejumlah analis memperkirakan harga optimum Astra yang akan ditawarkan para investor minimal berada pada angka Rp 4.000. Sulit dibantah, Astra telah membuktikan diri sebagai perusahaan yang teruji. Astra juga telah terbukti berkali-kali lolos dari ancaman kebangkrutan. Pada periode 1975-1986, misalnya, perusahaan yang begitu banyak membutuhkan dolar untuk mengimpor bahan baku ini berhasil lolos dari tiga kali sergapan devaluasi mata uang rupiah. Penurunan nilai tukar rupiah mestinya mengancam perusahaan seperti Astra yang biayanya dolar tapi pendapatannya rupiah itu. Setelah itu, Astra juga terbukti lolos dari sapuan krisis ekonomi yang mencekik sejumlah perusahaan yang berutang dolar dan berbahan baku impor. Pada 1998, di tengah masa krisis, tak tertanggungkan lagi Astra merugi Rp 2 triliun. Dengan beban utang US$ 1,4 miliar dan pasar mobil yang terus memburuk, hampir semua analis perusahaan sekuritas ketika itu meramalkan Astra sedang berada di jurang kebangkrutan. ''Tak ada satu pun yang bisa menolong Astra. Tidak restrukturisasi utang, tidak pula suntikan modal. Segala upaya penyelamatan Astra terhitung tidak ekonomis dibandingkan dengan pilihan likuidasi," begitu tulisan seorang analis pasar modal terkenal dalam sebuah riset di akhir 1997. Nyatanya, dua tahun kemudian, seperti mengubah takdir, Astra tiba-tiba membalikkan keadaan. Perusahaan yang terkenal dengan manajemen yang solid itu meraup untung Rp 800 miliar lebih sepanjang tahun lalu. Ini berbanding terbalik dengan kerugian Rp 1,98 triliun pada tahun sebelumnya. Tak aneh jika salah satu anak William Soeryadjaya, pendiri Astra, menyebut Astra sebagai sebuah ''mesin uang". Tapi mampukah mesin uang ini menyelamatkan kas negara kita? Sejauh ini, dua pekan sebelum tenggat waktu penawaran pertama ditutup, belum ada satu pun investor yang secara resmi mengajukan harga. Peminat sih cukup banyak. Menurut catatan, sedikitnya ada tiga investor di luar Newbridge-Gilbert yang kepincut memburu Astra. Mereka adalah Lazard Freres & Co., sebuah investment bank dari Prancis (yang menawar Astra melalui Credit Lyonais), JG Summit Holdings, perusahaan multibisnis dari Filipina yang dikendalikan oleh pengusaha John Gokongwei, serta Bhakti Investama, perusahaan Indonesia yang belakangan ini erat bekerja sama dengan investor pasar uang kondang dari AS, George Soros, dan pengusaha lokal yang lagi naik daun, Edward Soeryadjaya. Seberapa seriuskah mereka? Tidak jelas betul. Hanya, sebuah sumber yang dekat dengan konglomerat Gokongwei mengatakan, investor Filipina ini berani menawar pada harga Rp 4.000. Konon, Gokongwei, yang baru saja membeli saham perusahaan Singapura United Industrial Corporation (UIC) dari tangan Liem Sioe Liong, didukung penuh oleh juragan lama Astra, Bob Hasan. Ada juga selentingan, Gokongwei (yang dibeking investment bank Goldman Sachs dari AS) akan berkongsi dengan kelompok Bhakti Investama. Atas kabar angin ini, pemilik Bhakti, Herry Tanoesoedibjo, tak mau memberikan konfirmasi. ''Itu rahasia," katanya santai. Tapi ia mengakui kemungkinan bahwa Bhakti akan berpartner dengan kongsi luar negeri untuk menguasai Astra. Bukan tidak mungkin Gokongwei, Bhakti, dan Lazard akan bergabung menjadi satu kekuatan tunggal untuk menghadapi Newbridge-Gilbert. Menurut sejumlah analis keuangan, kekuatan alternatif ini sengaja dipasang oleh para pendukung Rini Soewandi. Mereka tidak ingin tergusurnya Rini akan membuka sejumlah borok yang kini ngendon dan ditutup-tutupi Astra. Majalah Far Eastern Economic Review, yang sempat mengintip surat Lazard kepada Presiden Gus Dur, menulis bahwa investor Prancis itu mengajukan satu syarat penting dalam tender saham Astra kali ini. Lazard, katanya, hanya akan mengikuti tender jika Rini tetap dipertahankan sebagai Presiden Direktur Astra. Lalu, bagaimana dengan Newbridge-Gilbert? Sampai hari ini, konsorsium AS itu enggan mengeluarkan pernyataan resmi. Tapi sebuah sumber yang dekat dengan duet itu merasa yakin bahwa Newbridge-Gilbert akan tetap melanjutkan perburuannya. Duet yang didukung William dan Edwin Soeryadjaya ini kabarnya tengah meladeni tantangan calon investor lain. Kalau demikian halnya, pertarungan memperebutkan posisi juragan Astra tampaknya masih akan berlangsung seru. Dwi Setyo, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus