JIKA IMF ribut soal pemberantasan korupsi di Indonesia, itu jelas akibat masih menumpuknya kasus korupsi di laci meja kerja Presiden Abdurrahman Wahid. Paling tidak, ada beberapa kasus korupsi besar yang masih gelap: skandal Bank Bali, kredit macet Texmaco, triliunan utang debitur kakap, sampai kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kasus Bank Bali meledak akhir Juli 1999. Kasus yang menurut majalah Time terbesar kedua di dunia itu menjadi perhatian utama IMF dan lembaga keuangan dunia lainnya. Namun, pemerintahan Habibie ngotot tak mau membuka hasil audit lengkap lembaga independen Pricewaterhouse Coopers. Itulah yang membuat IMF berang dan sempat menyetop sementara pinjamannya ke Indonesia. IMF baru mau mengutangi Jakarta lagi ketika Gus Dur menggantikan Habibie sebagai presiden dan pemerintah membuka hasil audit lengkap kasus ini, November 1999 lalu. Celakanya, Jaksa Agung Marzuki Darusman sekarang ini belum lagi menemukan arah yang terang. Sejumlah nama yang disebut-sebut banyak terlibat belum tersentuh, misalnya Baramuli, Marimutu Manimaren, dan keluarga dekat Habibie. Kasus ini belum beranjak banyak dari zaman Habibie.
Belum habis Bank Bali, terbitlah kasus kredit macet Grup Texmaco di Bank BNI, yang nilainya Rp 9,8 triliun. Kasus yang mencuat pada awal Desember 1999 ini pun sempat mencoreng pemerintahan Wahid karena para menterinya tidak kompak menangani kasus ini. Di satu pihak, Menteri Negara Investasi dan Pembinaan BUMN, Laksamana Sukardi, dan Jaksa Agung Marzuki Darusman sudah menjadikan bos Texmaco, Marimutu Sinivasan, sebagai tersangka. Di sisi lain, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo malah sibuk membela Sinivasan. Kini tak jelas lagi bagaimana ujung kasus ini. Belakangan, Bambang Sudibyo juga membuat marah IMF karena masih berusaha keras menyelamatkan Bank Putera Multikarsa, milik Sinivasan, yang sudah bobrok dan "dirawat" di BPPN. Bank itu sempat dioperasikan lagi seizin Menteri Sudibyo, pertengahan Januari lalu, sebelum akhirnya benar-benar ditutup sekarang ini.
Simpang-siurnya perintah inilah yang membuat penanganan masalah jadi tak jelas, lamban, dan berlarut-larut. Penanganan kredit macet triliunan rupiah di bank-bank BUMN yang melibatkan pengusaha papan atas, termasuk Keluarga Cendana, adalah satu contoh lainnya. Total jenderal kredit macet di bank-bank pelat merah lebih dari Rp 100 triliun. Sejauh ini, yang dilakukan BPPN hanyalah mengumumkan perusahaan yang berutang dan besaran kredit macet mereka. Lembaga yang kini dipimpin Cacuk Sudaryanto itu belum juga menjelaskan bagaimana kredit kakap itu macet dan siapa yang mesti bertanggung jawab. Tindakan tegas untuk debitur yang nakal juga belum ada. Akibatnya, mereka yang ambruk karena krisis ekonomi mengeluh diperlakukan BPPN sama saja dengan mereka yang memang nakal.
Puncak kegawatan urusan dana negara tentulah kasus Bank Indonesia. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dibuka awal tahun ini, sumber petaka di bank sentral itu adalah penyaluran BLBI ke bank-bank swasta. Dari dana BLBI senilai Rp 150 triliun, lebih dari separuh di antaranya tak bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu janji pemerintahan Gus Dur yang ditunggu-tunggu IMF adalah penyelesaian kasus ini. Namun, sampai dua pekan lalu, BPK masih berteriak tak bisa mengaudit bank-bank penerima BLBI. Padahal, menurut Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, BPK mestinya bisa memeriksa bank-bank yang diduga menyalahgunakan uang negara.
Runyamnya, hampir semua problem itu tak jelas bagaimana penanganannya. Kejaksaan Agung, yang seharusnya bergerak cepat mengungkap kasus-kasus kakap ini, terkesan kewalahan. Ada juga yang menganggap Kejaksaan pilih kasih. Misalnya, kasus Endang Utari Mokodompit, putri Ibnu Sutowo, yang menggangsir banknya sendiri, Bank Pasifik, belum juga terselesaikan walaupun kasus itu telah berusia tiga tahun. Ada lagi kasus kredit macet Hashim Djojohadikusumo, yang juga belum diapa-apakan. Padahal, untuk kasus Sinivasan, Marzuki dengan cepat bertindak. Tapi, Jaksa Agung Marzuki Darusman membantah tudingan pilih kasih itu. "Semua akan diselesaikan. Yang belum dipanggil bersiap-siap sajalah," katanya pendek.
Dengan kinerja yang amburadul seperti itu, kolumnis Wimar Witoelar memberikan nilai C- kepada para pembantu presiden, kendati Presiden Gus Dur mengantongi nilai A. Tapi, kalau pekerjaan rumahnya terus menumpuk, nilai yang pantas untuk pemerintahannya adalah F alias fail.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini