Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR dari Singapura itu mulanya adem-ayem saja. Berembus dari lantai bursa di negeri jiran pertengahan bulan lalu, Samko Timber Limited berikhtiar menjajakan saham perdananya. Samko Timber adalah induk perusahaan milik Hasan Sunarko, raja kayu lapis Indonesia. Rencana itu belakangan bikin heboh pelaku pasar karena Putera Sampoerna ternyata tercatat sebagai salah satu pemilik Samko.
Jumlah saham Putera lumayan besar. Dari prospektus perusahaan itu diketahui, lewat bendera Sampoerna Forestry Limited, mantan juragan kretek itu mengantongi 42,6 persen saham Samko. Saham keluarga Sampoerna kemudian terdilusi menjadi 38,1 persen setelah Samko resmi diperdagangkan di lantai bursa tiga pekan lalu. Kepemilikan Sampoerna hanya terpaut sedikit dari sang pendiri, keluarga Sunarko, yang menguasai 40 persen. Sisanya dimiliki publik.
Yang menyedot perhatian investor, analisis Poyry Forest Pte. Ltd., konsultan industri kehutanan asal Finlandia, menyebutkan kapasitas produksi yang dimiliki Samko 1,1 juta meter kubik per tahun. Produk kayu lapisnya menguasai 32 persen pasar Indonesia. Perusahaan ini nangkring di peringkat kedua dalam lima besar produsen kayu lapis dunia.
Samko hanya kalah kelas dari Grup Rimbunan Hijau asal Malaysia, yang kapasitas produksinya mendekati 1,3 juta meter kubik per tahun. Barito Pacific, perusahaan Prajogo Pangestu yang dulu berkibar di sektor kehutanan, kini menempati posisi kedelapan. Setelah pabriknya bertumbangan, kapasitas produksi perusahaan Prajogo, menurut Poyry Forest, tinggal 450 ribu meter kubik per tahun.
Kiprah Putera ke Samko langsung menempatkannya dalam deretan raja kayu baru Indonesia. Namun Ekadharmajanto Kasih, salah satu orang kepercayaan Putera, mengatakan bisnis bosnya di industri kayu belum seberapa. ”Kami hanya mencari peluang bisnis,” katanya. Toh, trah Sampoerna, kata Eka, bukan pemilik mayoritas di perusahaan tersebut.
Apa pun penjelasan Eka, keberadaan Sampoerna Forestry di balik Samko sedikitnya menuntaskan rasa penasaran banyak orang. Mereka dulu bertanya-tanya ke mana Putera akan melabuhkan pundi-pundinya setelah melepas 40 persen saham PT HM Sampoerna Tbk. ke Phillip Morris International Inc. tiga tahun lalu. Sebab, dari penjualan kerajaan rokok itu, Putera meraup Rp 18,6 triliun.
NIAT Putera Sampoerna masuk ke industri kehutanan sesungguhnya sudah muncul tak lama setelah ia melepas HM Sampoerna. ”Saat itu, Putera malah sudah melirik-lirik perusahaan yang hendak dicaploknya,” kata sumber Tempo.
Salah satu yang diliriknya adalah PT Kiani Kertas, perusahaan bubur kertas bekas milik Bob Hasan. Ketika itu, Kiani, yang sudah dibeli Prabowo Subianto dari tangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, tengah menghadapi kesulitan pendanaan. Tapi penawaran Sampoerna sebesar US$ 370 juta pada Desember 2005 ditolak Bank Mandiri sebagai kreditor.
Pascapenjualan HM Sampoerna, pemerintah memang gencar melobi Putera Sampoerna agar menggelontorkan uang hasil penjualan itu ke bisnis di dalam negeri. Tapi semua rencana investasi itu buyar di tengah jalan. Putera Sampoerna malah berbelok ke bisnis sawit.
Lewat Sampoerna Strategic—perusahaan berlogo singa yang dikibarkan setelah pabrik rokoknya dilepas—Putera akhirnya mengakuisisi PT Sungai Rangit, perusahaan pengelola kelapa sawit di Kalimantan Tengah, pada 2006. Tahun berikutnya, Putera mengakuisisi PT Selapan Jaya, perusahaan pengelola lahan sawit di Sumatera Selatan, dan mengubah namanya menjadi Sampoerna Agro. Sungai Rangit belakangan juga berada di bawah Sampoerna Agro. Perusahaan agrobisnis ini tercatat di lantai bursa sejak tahun lalu.
Sampoerna Agro kini memiliki 77 ribu hektare lahan kelapa sawit dan mengoperasikan lima pabrik. Total produksinya 350 ton tandan buah segar per jam. Dengan harga minyak kelapa sawit yang meroket, US$ 1.300 per ton, Sampoerna Agro boleh jadi menjadi mesin uang terpanas keluarga Sampoerna.
Tak cuma di agrobisnis, Putera merambah telekomunikasi (PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia). Dengan nama produk Ceria, layanan telekomunikasi berbasis CDMA itu kini mencakup wilayah Jambi, Riau, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, dan Lombok.
Generasi ketiga Liem Seeng Tee itu juga menekuni energi alternatif (PT Sampoerna Bio Energi) dan pertambangan (PT Sampoerna Mining). Putera bahkan tengah menyulap 1.000 hektare lahan di Wonogiri, Jawa Tengah, untuk ditanami ubi kayu sebagai bahan baku etanol. ”Karena biofuel menjadi kecenderungan dunia,” kata Eka.
Bila percobaan penanaman itu sukses, pabrik etanol itu akan dipancangkan tahun ini. Putera bahkan sudah menggandeng Tian Guan, pabrik etanol terbesar kedua di Cina, untuk mendesain pabrik. Perusahaan yang terletak di Provinsi Hennan itu, kata Eka, berpengalaman memproduksi etanol dari ubi kayu. Berapa investasi yang akan digelontorkan, Eka masih tutup mulut.
Yang pasti, sektor yang digarap Putera memang ladang bisnis yang bisa bertelur emas. Namun hati Putera tampaknya tak bisa lepas dari industri kehutanan, meskipun kue bisnis di sektor ini tak sedahsyat era 1970-1980-an. Buktinya, tak lama setelah berkiprah di agrobisnis, ia kembali melirik industri yang pernah dikuasai trio Burhan Uray-Prajogo Pangestu-Bob Hasan itu.
Kebetulan, kata Eka, saat itu Samko Timber tengah menawarkan sebagian sahamnya ke institusi keuangan untuk memperluas usaha. Rencana Samko terdengar Putera. ”Akhirnya, Pak Putera yang masuk,” kata Eka. Pada April dua tahun lalu, Putera diam-diam membeli 42,6 persen Samko dari Hasan Sunarko. Ia mencurahkan duit US$ 53,9 juta (Rp 495 miliar dengan kurs Rp 9.200 per dolar)—jumlah yang tidak seberapa ketimbang pundi-pundinya. ”Kami menjadi mitra strategis,” kata Eka.
Sejak pembelian itu, Eka duduk sebagai Direktur Non-eksekutif Samko. Ali Gunawan Budiman—salah satu direktur Sampoerna Agro dan Sampoerna Agri Resources Pte. Ltd.—menjabat direktur eksekutif dan kepala pengembangan bisnis. Adapun Michael Joseph Sampoerna, anak tertua Putera, menjabat direktur non-eksekutif per Agustus tahun lalu.
Meski begitu, porsi operasional lebih banyak dikerjakan oleh keluarga Sunarko dan anggota direksi lainnya. ”Karena pada dasarnya kami tidak punya keahlian di industri kayu,” kata Eka. ”Tapi ini investasi jangka panjang, karena prospeknya masih bagus.”
Sejarah Samko Timber sendiri bermula dari tangan Hasan Sunarko tiga dekade lalu. Dari perusahaan kayu yang tadinya berskala kecil, Hasan menyulapnya menjadi perusahaan raksasa. Produk utamanya kayu lapis, laminated veneer lumber (LVL), dan medium density fiberboard (MDF). Di bawah Grup Hasko—kependekan dari Hasan Sunarko—pria kelahiran Selat Panjang, Riau, itu mengakuisisi dan mendirikan beragam perusahaan. Salah satunya mengakuisisi 75 persen saham PT Sumalindo Tbk. dari Astra pada 2002.
Perusahaan ini juga tercatat sebagai salah satu yang tahan banting. Ketika banyak perusahaan kayu gulung tikar, Hasko justru melebarkan sayap. Abbas Adhar, Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), mengatakan Grup Hasko banyak mendirikan pabrik lokal di Pulau Jawa. ”Mereka melakukan inovasi dan tidak terpaku pada bahan baku tradisional,” katanya. Kayu yang diambil berasal dari hutan tanaman industri, misalnya sengon, karet, atau albasia.
Belakangan Hasan mengalihkan pusat usahanya ke Singapura. Di Negeri Singa itu, Hasan mengibarkan bendera SGSS Global Pte. Ltd. sebagai induk dari semua usahanya yang beroperasi di Indonesia. SGSS berganti nama menjadi Samko Timber Pte. Ltd. Desember lalu. Aris Sunarko, anak tertua Hasan, duduk sebagai chief executive officer. Adapun Amir Sunarko menjadi direktur eksekutif. Hasan sendiri menjabat komisaris.
Samko kini menguasai 449 ribu hektare hak pengelolaan hutan alam dan 165 ribu hektare hutan tanaman industri. Dengan pasokan bahan baku itu, Samko memproduksi 526 ribu meter kubik kayu lapis, 118 ribu meter kubik MDF, dan 24 ribu meter kubik LVL. Persentasenya, 37 persen kayu lapis dan 33 persen MDF diekspor ke Korea, Jepang, Amerika Serikat, dan Timur Tengah.
Dengan keyakinan mampu menjaga kebutuhan bahan baku, Samko berencana menambah kapasitas produksi hingga 321 ribu meter kubik. Penambahan kapasitas produksi itu akan mendorong penambahan produksi kayu lapis dan MDF sebesar 618 ribu meter kubik pada tahun ini.
Namun, melihat laporan keuangan Samko, kinerja perusahaan ini sebetulnya tak begitu mengkilat. Dengan aset bersih Rp 581 miliar, pendapatannya dua tahun lalu Rp 1,6 triliun. EBITDA-nya Rp 275 miliar, tapi laba bersihnya Rp 54 miliar. Pencapaian laba bersih itu anjlok bahkan lebih dari setengahnya dibanding tahun sebelumnya.
Itu sebabnya Samko menawarkan saham perdana. Dari penjualan 183 juta unit senilai US$ 0,036 per lembar, Samko berhasil menghimpun dana US$ 63,3 juta atau sekitar Rp 582,2 miliar. Sekitar 68 persen dana yang terkumpul akan digunakan untuk memompa kapasitas produksi dan ekspansi. Sisanya untuk membayar utang. Kapitalisasi pasar Samko kini di kisaran US$ 356,7 juta.
MESKI sukses mendulang dana publik di Singapura, masuknya Putera Sampoerna ke industri kehutanan tetap mengundang keanehan. Andi Darussalam Tabusalla salah satunya. Menurut orang yang juga dekat dengan bekas penguasa hutan Bob Hasan itu, bisnis kayu tidak sekinclong dulu. ”Jadi apa yang dia cari di bisnis ini?” kata Andi kepada Sapto Pradityo dari Tempo.
Yang disorot Andi apa lagi kalau bukan terbatasnya bahan baku. Data Apkindo menunjukkan ekspor kayu lapis Indonesia memang tengah menurun. Dari 2 juta meter kubik pada 2006 menjadi 1,8 juta meter kubik pada tahun lalu. Penurunan pertumbuhan ekspor ini, kata Abbas Adhar, disebabkan oleh keterbatasan pasokan bahan baku.
Meski begitu, baik Abbas maupun Ketua Masyarakat Perhutanan Indonesia Sudradjat mengatakan prospek industri kayu lapis masih cukup cerah. ”Asalkan ditopang modal yang kuat,” kata Sudradjat. Persyaratan modal ini jelas dimiliki Putera Sampoerna. Kemampuan modal Putera dan pengalaman keluarga Sunarko di bidang perkayuan bisa menjadi perpaduan yang klop.
Namun Sudradjat tidak mau gegabah menjuluki Putera sebagai raja hutan baru. Dengan persaingan yang kian ketat, dan bahan baku yang dibatasi sekitar 10 juta meter kubik kayu alam per tahun, Sudradjat menilai tidak ada pengusaha hutan yang menonjol seperti dulu. ”Belum ada yang kini bisa dikatakan sebagai raja kayu,” katanya. Besarnya kapasitas produksi pun tidak bisa dijadikan tolok ukur. ”Sebab, bila pasokan menurun, tidak bisa berproduksi penuh,” katanya.
Situasi ini, kata dia, berbeda ketim-bang dulu. Pada saat itu, pengusaha berlomba-lomba mengejar target karena batas pemakaian bahan baku dari kayu alam masih 40 juta meter kubik per tahun. Tapi siapa tahu Putera Sampoerna bisa memanfaatkan keterbatasan itu untuk membangun kerajaan bisnis kayu.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo