Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tutup Buku Sang Raja Kayu

Akibat krisis ekonomi, bisnis Djajanti gulung tikar. Utangnya segunung.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puing-puing bekas kompleks perkantoran di Jalan Mardika, Ambon, itu seperti menggambarkan nasib Grup Djajanti. Dulu di tempat itu berkantor PT Daya Guna Samudera. Perusahaan perikanan ini pernah menjadi yang terbesar di Indonesia dan salah satu ”tambang emas” konglomerasi milik bapak-anak, Burhan Uray-Soedjono Varinata.

Kerusuhan di Maluku pada 1999 membakar perkantoran itu. Pegawainya ketakutan dan memilih meninggalkan Maluku. Dan kini yang tersisa hanya puing berserakan dan beberapa pengungsi yang tinggal di sana. ”Setahu saya, Daya Guna sudah berhenti beroperasi,” kata Bambang Suboko, mantan Presiden Direktur Daya Guna.

Tengok pula kantor pusat Grup Djajanti di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Gerbang gedung delapan lantai itu tertutup rapat, dililit kawat berduri. Rumput tumbuh meliar di halaman. Hanya pintu belakang, lewat gang becek, yang dibuka. Di dalam gedung, tak terlihat satu pun perabotan. Menurut polisi dari Kepolisian Sektor Tanah Abang yang berjaga, gedung itu sudah beberapa tahun tak berpenghuni.

Seperti debu tersaput angin, cerita kejayaan Djajanti pada 1980-1990-an berlalu begitu saja. Padahal, tak hanya berjaya di laut, Djajanti pernah meraja di hutan. Pada 1991, saat bisnis kayu menjadi primadona, perusahaan Burhan alias Bong Sun Ong itu adalah penguasa hutan terbesar di Indonesia, dengan luas 2,9 juta hektare, tersebar di Kalimantan, Maluku, dan Papua. Prajogo Pangestu, sang baron kayu, berada di peringkat kedua, menguasai 2,7 juta hektare, sedangkan Mohammad ”Bob” Hasan hanya di urutan kesepuluh dengan satu juta hektare.

Burhan, kini 73 tahun, juga pernah merambah bisnis semen. Pada 1995, bermodal US$ 800 juta, dengan bendera PT Maluku Dinamika Semen, Djajanti merintis usaha itu di Pulau Seram, Maluku. Namun krisis ekonomi pada 1997 dan kerusuhan di Maluku menjungkalkan peruntungan juragan kayu kelahiran Pakucing, Singkawang, Kalimantan Barat, itu. Proyek semennya mangkrak dan bisnis kayunya menghunjam akibat minim pasokan.

Saat bisnisnya seret ini, utang delapan perusahaan Djajanti di Bank Dagang Negara (lebur ke Bank Mandiri) malah menggelembung akibat jatuhnya nilai rupiah. Ketika kesepakatan restrukturisasi utang diteken dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 3 November 2000, utang Djajanti tercatat Rp 2,8 triliun dan US$ 140,3 juta.

Pada 2002, Bank Mandiri membeli berbagai aset Djajanti ke BPPN. Bank terbesar di Indonesia itu melihat masih ada peluang di bisnis kayu. Ternyata harapan tinggal harapan. Walhasil, kata Mansyur Nasution, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, per 31 Januari 2008, Djajanti masih punya utang macet Rp 1,028 triliun, termasuk bunga dan denda.

Burhan Uray sendiri sepertinya sudah mengerek bendera putih karena hampir semua bisnis yang dijaminkan ke bank tidak lagi beroperasi. Itu sebabnya Bank Mandiri pun kesulitan mendapatkan harga bagus bila mau melelang. Apalagi ternyata Djajanti juga masih punya tunggakan utang ke kantor pajak. Utang pajak dua anak perusahaan Djajanti, Djarma Aru dan Daya Guna Samudera, ini juga tak kecil, Rp 382 miliar.

Menurut E. Wiseto Baroto, Group Head Credit Recovery Bank Mandiri, mereka sudah meminta Burhan dan Soedjono menyetor aset tambahan. Namun hingga kini belum ada satu pun aset baru yang diserahkan ke Mandiri. Bisa jadi bisnis Djajanti memang sudah benar-benar habis. ”Saya tidak tahu apa bisnis Djajanti sekarang. Sudah lama saya tidak berhubungan dengan mereka,” kata mantan orang kedua Djajanti, Sudradjat D.P.

Tapi, pada akhir 2007, majalah Globe Asia masih menempatkan Burhan sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, dengan harta US$ 260 juta atau sekitar Rp 2,37 triliun. Sayang, untuk mendapat konfirmasi dari Burhan ataupun Soedjono tidak lagi mudah. Sudradjat dan Bambang Suboko mengaku tidak mengetahui lagi keberadaan Burhan dan Soedjono. Bapak-anak ini juga sudah tidak pernah ngantor ke Djajanti.

Di Mandiri, Soedjono sesekali datang jika diundang. Itu sebabnya mereka dikategorikan debitor kooperatif. ”Tapi dia tidak punya iktikad baik karena tak membayar utangnya,” kata Wiseto. Dan nama Burhan pun sirna dari bisnis perkayuan.

Sapto Pradityo, Mochtar Touwe (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus