Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majalah The Far Eastern Economic Review sempat menyematkan ”lencana” Lord of the Forest kepada Prajogo Pangestu dua dekade lalu. Mengendarai PT Barito Pacific Timber, bisnis lelaki asal Sungai Betung, Kalimantan Barat, itu telah merambah hutan-hutan Nusantara dari Sumatera hingga Papua.
Kini usaha kayunya telah redam. Data terakhir Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia menunjukkan namanya sudah tak terpampang di jajaran sepuluh pemain besar. ”Produksi Barito sudah jauh merosot,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Nanang Roffandi Ahmad. Wakil Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia Abbas Adhar menambahkan, ”Ia tidak seperti dahulu lagi.”
Bisnis Phang Djun Phen, nama kecil Prajogo, dimulai dari tanah kelahirannya. Setelah menamatkan SMP Nan Hua, Singkawang, Kalimantan Barat, dia sempat menjadi sopir angkutan umum, kemudian berdagang. Pertengahan 1960-an, ia berkenalan dengan Bong Sun On. Ia berguru kepada pengusaha kayu besar yang kemudian dikenal sebagai Burhan Uray itu.
Pada 1975, Prajogo diberi kepercayaan menjadi General Manager PT Nusantara Plywood, anak usaha Djajanti milik Burhan. Setelah setahun, Prajogo keluar dan mengambil alih CV Pacific Lumber milik pengusaha asal Barito Selatan. Inilah bayi yang kemudian menjadi Barito Pacific.
Mulailah ia menggarap hutan-hutan perawan. Di Kalimantan, ia membangun aliansi strategis dengan PT Sinar Barito Indah Plywood, PT Maraga Daya Woodworks, dan PT Tunggal Yudi Sawmill Plywood. Perusahaan-perusahaan ini akhirnya dikuasai Prajogo. Di Sumatera ada PT Enim Musi Lestari dan Perkebunan Hasil Musi Lestari. Lalu ia merambah ke Maluku melalui PT Mangole.
Bisnisnya makin kemilau ketika mengakuisisi 45 persen saham PT Sumalindo, anak perusahaan Astra Internasional. Ia juga menggandeng Siti Hardijanti Rukmana membangun PT Musi Hutan Persada, pengelola hutan tanaman industri. Ia juga mendirikan pabrik kertas PT Tanjungenim Lestari. Saat itu, hak pengusahaan hutan (HPH) Barito mencapai 5 juta hektare. Produksi kayu dua juta meter kubik per tahun mengukuhkannya di puncak tertinggi.
Lalu krisis ekonomi 1997 membalikkan keadaan. Rupiah yang hancur membuat utang perusahaan membengkak. Kredit US$ 50 juta ke Citibank menjadi US$ 72 juta dan total utang Barito pun menggelembung menjadi US$ 400 juta. Belum lagi utang perusahaannya yang lain, Chandra Asri, US$ 250 juta ke sindikasi bank lokal dan US$ 1,8 miliar ke kreditor asing. Di pabrik olefin itu, Prajogo memiliki 49,5 persen saham.
Untuk melunasi utangnya, kas perusahaan dikuras. Satu per satu aset anak usaha dilepas, seperti Chandra Asri dan Sumalindo. Hanya, dengan ambruknya ekonomi saat itu, nilai aset turut menciut. Saham senilai US$ 150 juta di Astra menyusut tinggal US$ 3 juta.
Yang terakhir dilepas adalah Musi Hutan dan Tanjungenim Lestari, ke Marubeni Corporation, tiga tahun lalu. Bisnis kayu Prajogo pun menemui titik balik. Luas hutan yang dikelola tinggal 1,1 juta hektare. Susahnya suplai bahan baku industri bubur kertas membuat ia melepas Tunggal Yudi setahun kemudian. Luas hutannya hanya tersisa 605 ribu hektare. Belum lagi rencana penyerahan ratusan ribu hektare HPH kepada pemerintah.
Bisnis lelaki 65 tahun itu mulai menggeliat kembali tahun lalu. Melalui right issue pada Desember 2007, terhimpun dana sampai Rp 9 triliun. Uang itu dipakai Prajogo untuk mengambil 70 persen saham Chandra Asri yang sempat lepas. ”Itu produsen bahan baku plastik terbesar di Indonesia,” kata Prajogo beralasan.
Dia juga mulai masuk ke sektor energi melalui Star Energy, kontraktor pembangkit listrik tenaga panas bumi di Wayang Windu II, Jawa Barat. Walau fokus bisnisnya mulai berbelok, Prajogo mengaku ”bisnis kayu tidak pernah good-bye”. Bahkan sudah ada rencana membangun pabrik pulp kembali. Benarkah? Menurut Nanang, di tengah kelesuan industri pengolahan hutan, tampaknya Barito perlu tenaga ekstra.
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo